Perjalanan Suci dan Cinta yang Tak Abadi
Perjalanan Suci dan Cinta yang Tak Abadi

Suara dengusan kuda berderak-derak, seperti sendawa kasar dan kering dan kehausan. Aku terbangun dari tidur, meraba bekas tubuhmu di sebelah tubuhku yang masih terasa hangat. Sepertinya malam akan segera usai. Langit mulai menampakkan cahayanya. Dan kusaksikan punggungmu dari celah tenda kita yang sedikit terbuka. Kau duduk bersila sembari mendekatkan kedua tanganmu yang rapat itu ke depan dada. Tidak salah lagi, kau pasti sedang berdoa.

Aku duduk di sebelahmu, meresapi aroma tanah, pohon, dan rumput-rumput liar yang telah bercampur dengan asap sisa-sisa api unggun dan bau tahi kuda. Bunyi derik jangkrik dan binatang liar dari dalam hutan yang jauh samar-samar terdengar. Angin berdesir menyentil-nyentil kulitku, membungkusku ke dalam dingin. Anehnya, kau tidak pernah merasa terganggu sedikit pun dengan bau tahi kuda, suara jangkrik, binatang liar, termasuk hawa dingin yang kental. Saat kau sedang dalam kondisi berdoa, kau seolah pergi bersama jiwamu menuju akhirat dan meninggalkan tubuhmu di dunia. Kau beku serupa manusia batu; seperti patung. Selalu begitu.

“Kita harus melanjutkan perjalanan,” katamu seusai berdoa.

Perjalanan yang entah kapan berakhirnya.

- Poster Iklan -

Sudah hampir menyentuh satu bulan semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan kehidupanku―pekerjaanku dan keluargaku―untuk berlarung bersamamu. Kita telah berpelesir begitu jauh, rasanya, melalui hutan-hutan lebat, tempat-tempat asing, tanjakan-tanjakan terjal nan curam. Kita hanya membawa badan dan seekor kuda hitam untuk ditunggangi apabila kaki sudah lelah berjalan. Sementara untuk bertahan hidup, kita sangat bergantung pada alam dan kemurahan hati Tuhan. Namun katamu, Tuhan sangat menyukai hamba-hamba yang taat ibadah, maka kita berpuasa. 

Badanku gemetar, termasuk hati dan perutku. Mulutku kering karena air ludah sudah habis kutelan. Ketahuilah, melakukan perjalanan sambil berpuasa, itu tidak mudah. Suatu hari aku pernah mengeluh, tapi kau selalu berkata tidak apa-apa, bahwa semakin berat ujian yang kita lalui, semakin mulia kita di sisi Tuhan. Namun yang kutahu, Tuhan memperbolehkan hamba-Nya tidak berpuasa saat sedang dalam perjalanan jauh. Maka, aku diam-diam minum atau makan setiap kali ada kesempatan.

“Perjalanan kita masih panjang. Kuharap kau bisa bersabar lebih lama lagi. Nanti, jika kita telah sampai, segala lelah kita pasti akan terbayar,” ucapmu berusaha memantik semangatku supaya tidak menyerah. Lagi-lagi.

Jika di waktu-waktu lalu aku akan dengan mudah tersenyum dan mengangguk, tapi kali ini, mendengar ucapan penyemangatmu justru membuatku merasa ingin sekali menyerah. Aku semakin tidak yakin dengan perjalanan yang kau sebut sebagai perjalanan penyucian diri sekaligus perjalanan menuju cinta abadi ini. Mungkin bagimu demikian, tapi bagiku, perjalanan ini seperti perjalanan menuju neraka. Karena aku semakin sering berbohong. Berbohong perihal berpuasa salah satunya. Aku tidak hanya berbohong padamu, tapi juga pada Tuhan dan diriku sendiri. Kebohongan demi kebohongan yang kubuat terus bertambah setiap harinya. Penyesalan demi penyesalan terus melahap diriku dari dalam. Aku menyesal dengan keputusanku saat itu. Kini aku ragu. Aku takut.

“Aku paham tentang kegelisahanmu. Perjalanan ini memang tidak mudah. Tapi, tolong ingatlah, bahwa semakin berat ujian kita, maka semakin mulia kita di sisi Tuhan.”

Tidak. Kau tidak pernah paham perasaanku. Kau tidak benar-benar berusaha mengerti diriku. Selain itu, aku sebenarnya tidak berharap menjadi manusia suci. Aku ini seorang pendosa. Dan aku malu kepada Tuhan karena terlalu sering merengek dan meminta. Aku sungguh tidak berharap menjadi manusia suci. Aku hanya berharap Tuhan tidak marah dan mengampuni diri yang berlumuran dosa ini. Itu saja sudah seperti hujan berkah bagiku.

Ah, aku merindukan kehidupanku. Aku merindukan diriku. Aku juga merindukan keluargaku dan teman-temanku. Apa kabar mereka sekarang? Sejak memutuskan pergi dari rumah, aku tidak pernah bertukar kabar dengan mereka. Segala bentuk komunikasi terputus begitu saja di udara.

“Kau melamun,” katamu menepuk bahu kiriku. Lalu menggamit tanganku dan menggiringnya. “Ayo menyeberang.”

Kita berjalan bersisihan, menyeberangi jalan yang tak begitu padat kendaraan. Sementara aku menunduk dalam-dalam, menghindari setiap pasang mata yang memandang aneh ke arah kita. Pasti mereka melihat pasangan berpenampilan lusuh sedang berjalan kaki ditemani seekor kuda, melintas di wilayah mereka. Itulah kita.

Kau mengeratkan genggaman tanganmu seolah paham dengan ketidaknyamananku.

“Tenanglah … Jangan hiraukan tatapan mereka,” katamu setengah berbisik.

Aku menelan ludah, menyembunyikan kepala. Sungguh. Aku ingin perjalanan ini segera berakhir.

“Tunggu di sini sebentar.” Kau menyerahkan tali pengikat kuda ke dalam genggamanku sebelum pergi menuju warung. Beberapa menit berlalu, kau pun kembali. Kau menggiring kudamu dan mengikatkan talinya ke tiang. “Kita perlu mengisi perut terlebih dahulu. Karena perjalanan kita berikutnya akan cukup menguras tenaga,” katamu.

Kita duduk bersebelahan. Dua porsi makanan yang tak kuketahui nama makanannya apa, mendarat di meja kita lengkap dengan dua gelas air putih penuh.

“Bagaimana caramu membeli makanan ini?” tanyaku penasaran.

“Hanya dengan melakukan pekerjaan kecil, ya, mudah saja,” jawabmu santai. Lalu menyantap makanan setelah berdoa. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Segera makan makananmu sebelum dingin.”

Aku pun mulai melahap makanan itu. Meskipun lidahku sudah buta akan rasa, tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan makanan. Aku berusaha menikmatinya. 

“Ke mana perjalanan kita berikutnya?” tanyaku.

“Kita akan pergi mendaki. Nanti juga kau akan tahu.”

Mendaki. Otakku sudah bisa membayangkan kata kerja itu. Namun setidaknya, perjalanan mendaki kita sebelumnya bisa menjadi gambaran bagiku mengenai lika-liku sebuah perjalanan. Meski aku selalu butuh waktu untuk menyiapkan mental.

“Setelah itu, ke mana lagi?” 

“Tidak ada kata lagi. Ini adalah perjalanan terakhir kita,” katamu sedikit terdengar rendah dan ragu. Namun, aku tidak menghiraukan itu. Karena selama ini pun, aku melalui perjalanan kita dengan dihantui oleh perasaan ragu. 

Selesai makan, kita meninggalkan desa dengan menunggang kuda. 

“Hiya! Hiya!” serumu menggertak, membuat kuda yang kita tunggangi berlari. Meskipun kita sudah semakin jauh meninggalkan desa, tapi dapat kurasakan tatapan mereka di belakang sana masih memantau ke mana arah kuda kita akan pergi. Kau tak peduli dan terus memacu kuda supaya tetap berlari. Sementara aku justru merasa gelisah. Keberanian yang sudah aku kumpulkan di warung tadi, tertinggal di sana.

Kita sudah jauh dari desa dan masuk kawasan Hutan Suci. Itulah nama hutan yang kudengar darimu. Hutan terakhir kita. Entah sudah berapa lama kudamu membawa kita menyelam ke dalam. Semakin ke dalam, pohon-pohon dan daun-daun yang tumbuh semakin lebat. Kurasakan, batu-batu penunggu sedang menatap tajam ke arah kita. Desir angin dan gesekan ranting dan daun-daun pohon seakan sedang membicarakan kita. Lagi-lagi aku menelan ludah. Sebenarnya kita akan pergi ke mana? tanyaku dalam hati. Di tengah kegelisahanku, kecepatan pacu kudamu melambat. Kita berhenti di depan dua batu ukuran raksasa yang menyambut seperti gerbang. Di balik batu itu, terdapat jalan setapak yang dinaungi pohon-pohon besar dan pencahayaan remang-remang.

“Kau percaya padaku, kan?” tanyamu tiba-tiba.

Lidahku kelu. Kepalaku ribut sendiri. Begitu pula hatiku.

“Kita turun di sini. Dan kita akan masuk ke dalam dengan berjalan kaki.”

“Kudanya?” tanyaku gelisah.

“Kita akan meninggalkan kuda di sini.”

Aku menatap mata kuda itu cemas. 

“Tidak banyak waktu lagi. Ayo, bergegas.”

Kau berjalan lebih dulu, sementara aku masih bergeming. 

Perjalanan ini menjadi tanda tanya besar dalam benakku: Mengapa aku melakukan perjalanan ini? Untuk apa aku melakukan ini? Meskipun kau selalu berkata bahwa perjalanan kita ini adalah perjalanan penyucian diri sekaligus perjalanan menuju cinta abadi, tapi aku tidak pernah berharap menjadi manusia suci. Aku ini pendosa. Dan apakah cinta kita akan abadi setelah perjalanan ini usai? Sedangkan cinta itu sendiri sudah hilang entah ke mana. Aku tak lagi mencintai perjalanan ini. Mungkin hanya kamu yang menikmatinya. Tapi aku tidak. Aku merindukan kehidupanku, diriku, keluargaku, dan teman-temanku. Aku ingin kembali.

Maka, keputusanku sudah bulat. “Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ini lagi.” Kalimat itu akhirnya lolos dari mulutku.

Detik itu juga langkah kakimu terhenti. Angin berdesir meniup rambutku dan daun-daun kering. Ranting-ranting pohon ikut bergoyang pelan. Kau tak kunjung berbalik badan dan membiarkan keheningan berkuasa sebentar. 

“Dan maaf, cinta kita takkan bisa abadi,” kataku lagi.

Kau menunduk, masih memunggungiku.

“Ya, aku mengerti,” katamu samar. “Pergilah.”

“Bagaimana dengan dirimu?”

“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”

Setelah mengatakan itu, punggungmu menjauh dan kau tak pernah menatapku lagi.

***

- Cetak Buku dan PDF-

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here