Perang Memantapkan Kematian, Kematian Memantapkan Rindu, Rindu Memantapkan Penyesalan
Perang Memantapkan Kematian, Kematian Memantapkan Rindu, Rindu Memantapkan Penyesalan

Pening. Pening kepalaku terasa, akibat hantaman peluru manjanik yang telak menghantam dahi. Di tengah tanah tandus Acre, baik kawan dan lawanku masih mempertaruhkan nyawa. Di tengah peperangan ganas itu, terasa ganjil mengapa tak kutangkap barang satu suara pun saat ini. 

Langit rasa-rasanya tertutup embun malam sehingga tak dapat kulihat sesuatu apa pun. Oh, pening, pening kepalaku terasa.

Tanganku sudah tak lagi menggenggam busur, tetapi dapat kurasa sesuatu yang lain memenuhi telapak. Seperti rumput. Mengapa ada rumput di tanganku apabila ia tak pernah nyata di Acre yang tandus?

Teramat penasaran aku jadinya. Namun, kini, bahkan nyaris tak dapat kubuat dada ini bergerak naik. Lantas bagaimana caranya agar aku dapat melihat rupa rumput itu?

- Poster Iklan -

Hingga tak lama kuteringat sesuatu. Emir pernah bilang dia menyelipkan rumput dari halaman rumah kami pada saku celanaku sebelum berangkat ke Acre, semata agar aku tidak terlalu rindu dengan rumah. Apakah benar rumput tersebut sempat terselip di Baktar¹-ku, lantas kukeluarkan sebelum peluru manjanik itu mendarat di puncak kepala? Entah, aku lupa, saat itu mata ini tengah fokus membidik mata kuda komandan lawan. 

Ah. Terlalu banyak pasang mata milik musuh yang diri ini tatap, hingga perlahan kulupa rupa mata Emir di tengah Acre yang tandus. Mata Isra. Bahkan Anne² dan Baba³. Dan betapa kurang ajar kusebut nama mereka satu persatu, hanya ketika seluruh nafas telah nyaris jadi milik malam belaka. Kini rinduku kepada mereka mengeras dan mengambang seolah-olah bisa mencium wajah bulan; bulan yang senang mengaso di telaga dekat rumah kami. 

Sebelum diri ini ditawari merengkuh tanggung jawab untuk memperjuangan Utsmani, kami senang ke telaga itu setiap pertengahan bulan—yang kumaksud dengan “kami” adalah dengan Emir, dengan Isra; anak dan istriku. Isra suka suasana malam yang tenang di bawah pohon gülibrişim⁴ tua, sedang Emir cuma ingin main air, membuatku selalu kebagian tugas menahan anak itu agar kakinya tak dicelupkan ke telaga.

Kemudian, manakala Emir telah nyenyak tidur dan menemukan mimpi indah di pangkuan annenya, Isra akan mulai menceritakan kepadaku perihal perkembangannya dalam belajar melukis. Ya, dia sangat senang melukis, terutama terhadap komponen-komponen alam. “Aku menemukan ketenangan sentuhan sejuk Tuhan lagi setiap kali memandang ujung-ujung daun di pagi hari. Dan kuharap dapat kuabadikan ia sebagai bentuk penghargaan kepadaNya,” ujar Isra suatu waktu.

Isra tidak pernah sadar bahwa seperti itulah caranya mengatakan hal-hal yang ia sukai, dan cara mengatakannya itu merupakan satu di antara tak terhingganya alasan aku mengaguminya—demi Tuhan, Isra, tidakkah kamu mengerti bahwasanya kamu adalah bagian dari alam yang paling indah?

Terlepas dari itu, hal yang paling diri ini suka dari wanita itu ialah pada bagian di mana ketika ia tidur kerap menendang, seperti kaki janin yang menyepak dinding rahim ibu; tiba-tiba kentut manakala tengah berdua saja; atau tak sengaja bersin sangat keras hingga ingusnya berakhir di pakaianku.

Aku selalu kagum dengan manusia bernama Isra itu. Menggenggam fakta bahwa dia tidak sempurna, maka justru itulah keistimewaannya. Hingga terkadang aku ingin jadi pelukis juga, mengabadikan wujud istimewa Isra dalam secarik perkamen dan menyimpannya kemana pun aku pergi. Namun, kemampuan melukisku bahkan tak lebih baik dari goresan Emir pada dinding rumah kami sewaktu dia berumur tiga tahun.

Satu hal yang sering menggangguku di antara kebahagiaan-kebahagiaan tersebut adalah pertanyaan bahwa apakah aku berhasil meyakinkan Isra untuk merasa cukup selama ini? Apa aku telah menjadi suami sekaligus ayah yang baik bagi keluargaku? 

Aku berusaha menjadikan Anne dan Baba sebagai pedomanku dalam membersamai Isra dan Emir dalam beberapa aspek—alih-alih menuntun mereka, sebab kata Baba kami bertiga semestinya belajar bersama dalam barisan yang sejajar.

Anne dan Baba adalah orang yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap membaca, salah satunya terkait filsafat. Baba senang membaca tafsir-tafsir Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Yang jadi masalah adalah Ibnu Rusyd mengkritik Neoplatonisme Ibnu Sina, sehingga Anne acap kali memperdebatkan hal tersebut kepadanya—sebab Anne merasa telah memahami Ibnu Sina lebih dari dia memahami putranya sendiri. 

Namun, kedua filsuf tersebut memiliki kiblat yang sama dalam ilmu kedokteran. Maka itulah alasan Anne dan Baba  bersama. Mereka bekerja sebagai tabibe⁵ dan tabib⁶ di satu tempat, hingga suatu waktu tanpa sadar obrolan berembus begitu saja di antara mereka ketika tengah mengobati Gureba⁷ dengan keluhan tifus. Membuat pasien malang itu nyaris mendapat resep obat yang salah lantaran Anne terlalu sibuk tersipu. 

Kisah cinta mereka tak seperti sebuah puisi dengan larik-larik erotis. Tahu-tahu saja mereka menikah, lalu tahu-tahu Anne jadi sering mengomel atas kebiasaan-kebiasaan buruk Baba sebagaimana kebanyakan istri, hingga kadang kala diri ini kena getahnya pula—sejak rentang waktu umur enam tahun sampai dua puluhan. 

Namun, satu hal yang kukagumi dari Anne dan Baba adalah cara mereka dapat saling memahami satu sama lain. Baba mengerti kapan waktunya membercandai kerut-kerut pada wajah Anne, dan kapan dia harus menghiburnya untuk meyakinkan bahwa kerutan tersebut tak pernah mampu menggerus kecantikannya. Karena Anne akan selamanya cantik dengan segala hal yang tersusun di hati dan pikirannya. Kemudian, malam harinya Anne akan memasakkan kaldu yang enak sambil bersenandung—bagian kesukaanku.

Kebiasaan tersebut bahkan tak lekang ketika mereka memiliki cucu. Untungnya Emir sama saja dengan diri ini, yang sesungguhnya cukup menikmati sembarang masakan asal ada kaldunya.

Ini mengingatkan diriku bahwa Isra selalu bilang bahwa Emir adalah duplikatku. Katanya, Emir makan sepertiku, bicara sepertiku, juga dialiri jiwa penuh penasaran akan segala hal—dia bahkan berkeinginan belajar memanah; yang tak kuperbolehkan sebelum dia menginjak usia dua belas tahun. Namun, kubilang pada Isra bahwa semua manusia makan dan bicara, sementara rasa penasaran ada untuk membuat manusia tetap hidup. 

“Dan itulah yang Emir katakan kepadaku sewaktu kubilang dia mirip babanya,” jawab Isra kemudian sambil tersenyum manis. 

Kepalaku tiba-tiba terasa pening lagi. Oh, Tuhan! Diri ini memiliki cinta kasih keluarga yang tidak semua orang bisa miliki, meski sama sekali tak tahu apakah sudah cukup membahagiakan mereka. 

Entah aku masih bernapas atau tidak saat ini. Namun, kudapati bahwa aku bisa menangis. Air mataku telah berjatuhan seperti anak panah yang menusuk-nusuk jiwaku sendiri—jiwa yang sebelumnya sempat nyaris lepas. 

Aku sama sekali tak menyesal meninggalkan ladang tembakauku untuk memperjuangkan Utsmani bersama golongan Mamluk⁸ dan mati oleh peluru manjanik Eropa. Bukan kematian yang terlalu menyedihkan. Satu hal yang kusesali adalah tidak banyak memberi kenangan mengesankan sebagai seorang baba bagi Emir, mencium kening Isra, dan makan kaldu di rumah orang tuaku. 

Tiba-tiba tanganku yang kosong terangkat, pandangan ini sedikit jelas terasa dan entah mengapa aku berusaha menggapai sesuatu yang terus mengeras di atas kepala. Kenangan. 

Kemudian, tatkala kenangan itu telah berada di genggamanku, kurasai bahwa teksturnya serupa rumput pemberian Emir yang telah mengering di tangan kanan. Lalu ia tumbuh, tumbuh menjadi pohon gülibrişim tua di dekat rumahku. Ia tampak memancarkan cahaya, dari akar hingga ke bunga. Apakah sensasi ini yang dirasakan Osman Ghazi ketika dia memimpikan sebuah pohon tumbuh dalam tubuh dan menjulang menutupi badan bumi? Mungkin.

Namun, pohonku tak sebesar itu. Ia hanya cukup memayungi aku, Isra, dan Emir. Tapi tak ada Isra dan Emir di sampingku. Mereka justru tinggal di ujung-ujung daun itu, melambai ramah. Bersama Baba, bersama Anne—pula Baba dan Anne lain, mertuaku, yang kudapat dari menikahi Isra; pula kenalan-kenalan terbaik dalam hidupku. Apakah aku memang telah menjadi manusia yang baik selama ini hingga mereka tersenyum ke arahku? Entah. Pening, pening kepalaku terasa.

Untuk sesaat, akhirnya telinga ini kembali berfungsi, aku sedikit mendengar teriakan-teriakan. Baik kawan maupun lawanku menyebut nama Tuhan dan anne mereka masing-masing. Seraya saling menghunus, saling menyakiti, saling menjangkiti bulir-bulir darah agar mengalir pada jengkal-jengkal kulit. Memperjuangkan substansi kebenaran menurut mereka masing-masing. Begitu pula aku sebelumnya. 

Aku memperjuangkan Utsmani, itu benar. Namun, apa yang sesungguhnya mau kulakukan dengan angkat senjata, adalah agar diri ini dapat berguna untuk memberi perlindungan bagi keluargaku. Seharusnya demikian.

Aku tidak bisa seperti Anne dan Baba yang seorang tabib dan mampu mengobati luka-luka Emir maupun Isra. Jadi aku ingin mencoba melalui mencari jalur lain. Maka, ketika Perang Salib berada pada ambang letupnya, aku takut suatu saat Utsmani diambil alih Eropa hingga keselamatan keluargaku terancam, kuterima tawaran untuk menjadi bagian kavaleri Sanjak Bey⁹ daerah tempatku tinggal, setelah secara tak sengaja dia melihat kemampuanku membidik seekor elang. 

Meski sesungguhnya aku tak pernah terpikir untuk memanah orang, sebab memanah kulakukan sebagai hobi belaka sejak umur tujuh tahun lantaran bosan ditinggal Anne dan Baba yang sibuk jadi juru selamat bagi orang sakit. Bahkan tak pernah kuanggap kemampuan tersebut sebagai suatu hal yang spesial.

Namun, kini usai pembunuhan demi pembunuhan yang kulakukan dengan kian entengnya dari bulan ke bulan, aku malah nyaris kehilangan diriku di Acre yang tandus. Bahkan baru kuingat kembali Emir dan Isra dan orang tuaku ketika peluru manjanik itu mencium kening, lantas membikin pening. Betapa malunya aku. 

Tanganku turun, sejengkal demi sejengkal, mulai tak kuasa menopang pohon  gülibrişim yang kian rimbun daunnya itu. Di ujung daun mereka masih tersenyum ke arahku, sedang aku teramat malu untuk membalasnya. 

Aku telah gagal dan akan mati, barangkali dimakan gagak dan menjadi kotoran nanti.  

Ke mana kiranya aku harus menitipkan pohon ini sebelum aku benar-benar mati?

Pandanganku buram lagi. Kepalaku kian pening hingga menghasilkan suara denging; kusebut-sebut nama Tuhan sebagaimana kusebut-sebut rindu. Pohon itu terasa semakin berat dan semakin berat, seberat rinduku kepada mereka semua. Lalu, sebuah pendar cahaya muncul. Tapi bukan cahaya obor, atau cahaya yang akan dapat dilihat melalui hasil pantulan cahaya bulan di atas telaga. Sama sekali tak pernah diri ini lihat cahaya semacam itu sebelumnya. 

“Titipkanlah pohon itu kepadaku,” ujar cahaya itu. Aku tidak tahu di mana letak mulutnya, tetapi dia benar-benar berujar. Dengan suara yang sejuk serupa angin sore. Serupa suara nyanyian tidur seorang anne

Kemudian tiba-tiba aku ingat cahaya apa itu—atau mungkin aku hanya sok tahu saja, karena cuma satu makhluk hidup yang kutahu tercipta melalui cahaya. Sebuah kemungkinan yang membuat pandanganku kian meremang, tetapi pada saat yang sama tubuh jadi ringan. Seolah benar-benar tak menanggung beban apa pun lagi. 

“Ya … baiklah, baiklah. Akan kutitipkan kepadamu,” ucap diri ini dan melantunkan kalimat terakhir seorang yang beragama, sebelum kudapati mendekatnya cahaya itu sebagai pemandangan terakhir. 

“Kepada nur¹⁰.” []

 

Lampung, 5 Januari 2025

 

***

Catatan Kaki

[¹] Baju zirah Kekaisaran Ottoman; baju rantai dengan pelat zirah (zirah baktar atau zirh gomlek)

[²] Bahasa Turki; ‘ibu’

[³] Bahasa Turki; ‘ayah’

[⁴] pohon sutra Persia; pohon sutra merah muda; atau pohon mimosa, adalah spesies pohon dalam keluarga Fabaceae, asli Asia barat daya dan timur

[⁵] Sebutan untuk dokter pria pada masa itu

[⁶] Sebutan untuk dokter wanita pada masa itu

[⁷] Tunawisma yang dapat menikmati pusat pengobatan gratis

[⁸] sekelompok budak belian yang berasal dari Kaukasus dan dimiliki oleh khalifah Islam yang berkuasa. Gelar ini diberikan kepada budak-budak berkulit putih yang berasal dari wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki

[⁹] (سنجاق بك , lit.  ‘penguasa standar’) adalah gelar yang diberikan di Kekaisaran Ottoman kepada seorang bey (perwira tinggi, tetapi biasanya bukan pasha) yang ditunjuk untuk komando militer dan administratif sebuah distrik

[¹⁰] Bahasa Arab; ‘cahaya’

- Cetak Buku dan PDF-

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here