The truest colour of sisterhood, persaudaraan sejati tidak hanya terlihat dalam tawa dan kebahagiaan, tetapi diuji dalam duka dan ketidakpastian. Saat ayah terbaring lemah di masa senjanya, bukan warisan atau harta yang menjadi ujian, melainkan seberapa erat kita tetap bergandengan tangan, saling menguatkan, dan menjaga satu sama lain. Karena di hadapan perpisahan, hanya kasih dan kebersamaan persaudaraan yang akan tetap abadi. Itulah yang harus dihadapi oleh tiga perempuan di film His Three Daughters.
Katie, Rachel, dan Christina harus berkumpul kembali di apartemen ayahnya demi merawat sang ayah yang kini hanya bisa berbaring di atas ranjang dengan berbagai selang penyokong kehidupan. Katie, sebagai anak sulung kini membagi perhatiannya selain pada kehidupan pribadinya, tapi juga pada ayah dan saudari bungsunya, Christina. Katie merasa kehidupan Christina seharusnya bisa lebih baik daripada menjadi pecandu ganja. Hidup dengan normal, menikah dengan lelaki yang tepat, dan membangun keluarga yang harmonis. Berkat ekspektasi yang digulingkan realitas, cekcok sudah menjadi hal lumrah di antara kakak beradik itu.
Di sisi lain, Rachel sebagai saudari tengah berusaha menengahi perang dingin di antara dua saudaranya. Rachel memahami sudut pandang Katie sebagai anak sulung yang ingin kehidupan adiknya tidak membuat orang lain khawatir. Pun Rachel bisa menempatkan diri untuk mengerti ketidakstabilan kondisi mental yang sedang Christina hadapi. Rachel yang dipandang oleh saudarinya sebagai sosok perempuan yang memiliki keluarga kecil bahagia dan minim huru-hara itu sudah akrab jika pundaknya menjadi sandaran bagi dua saudarinya. Begitu pula telinganya dengan tulus mendengar curahan hati demi batin tidak muram lagi. Namun siapa yang menjadi sandaran untuk Rachel? Telinga siapa yang bisa mendengar keluhan hatinya?
Alur yang stabil dengan latar bernuansa hangat, His Three Daughters telah menyajikan cerita tentang sisterhood yang sangat relatable dengan penonton. Digambarkan dengan karakter yang berbeda-beda, Katie, Rachel, dan Christina sudah sangat mewakili karakter sisterhood yang unik dengan ikatan batin yang kuat. His Three Daughters berusaha melukiskan kenyataan bahwa banyak tantangan yang dihadapi dalam persaudaraan. Tawa dan duka pun tak bisa terelakkan. Hal itu telah berhasil menyentuh perasaan penonton, bahwa semakin banyak suka dan cinta yang dibangun di dalam hubungan keluarga, semakin besar pula duka yang tidak bisa dihindari.
Tajuk His Three Daughters sangat tergambar dalam adegan ketika tiga bersaudara itu menyaksikan ayahnya yang telah sekian lama tidak beranjak dari ranjang, akhirnya duduk di sofa ruang tengah. Sembari di kelilingi tiga putrinya, sang ayah bercerita panjang lebar tentang betapa bersyukurnya ia memiliki tiga putri. Baik Katie, Rachel, dan Christina memiliki posisi istimewa di hati sang ayah.
Dengan kalimat metaforanya yang indah, sang ayah mengatakan betapa hidupnya akan hampa tanpa kehadiran tiga putrinya. Panjang lebar sang ayah mengukir kembali memori yang telah lapuk, tanpa ia sadari, tiga putrinya tengah menangis tersedu-sedu. Di sofa cokelat tua yang sepanjang hidupnya selalu sang ayah sandari, Katie, Rachel, dan Christina merangkul tubuh ayahnya dengan tumpahan air mata kehilangan.
Film His Three Daughters garapan Azazel Jacobs telah menyuguhkan alur cerita yang sangat nyata. Tentang ikatan batin yang kuat di antara tiga saudara perempuan, yang mana dengan gamblang menggambarkan naik turunnya sebuah hubungan saudara. Dengan latar tempat yang mayoritas diambil di lingkungan apartemen, aroma hangatnya kekeluargaan tercium kuat layaknya menembus layar sinema. Dialognya banyak menyajikan metafora yang mampu menyayat hati sekaligus memberi kepuasan tersendiri saat menontonnya. Mata akan dimanjakan dengan pemilihan warna cokelat hangat pada sinematografi dan akting para aktor yang menakjubkan.
Film His Three Daughters semakin melekat dengan kehidupan nyata karena dialog-dialog penuh makna telah menuntun alur cerita dengan apik. Tidak ditemukan definisi rasa bosan saat menonton His Three Daughters karena adegan demi adegan dikemas dengan emosi yang kuat. Tidak heran jika telah melewati beberapa menit dari durasinya, penonton akan sulit lepas dari tenangnya kehangatan keluarga yang dijanjikan. Sulit untuk tidak menyebutkan bahwa film His Three Daughters telah mampu melibatkan berbagai macam emosi penonton, mulai dari senang, sedih, khawatir, hingga marah.
Puncaknya pada penghujung film, hati penonton akan digerus dengan kejutan alur yang tidak terbayangkan sebelumnya. Siap-siap menghabiskan tisu satu kotak penuh karena air mata akan terpaksa tumpah ruah tak terbendung. Mata sembab setelah menonton film ini adalah kenang-kenangan yang sangat berharga. Karena dari rasa sedih sekaligus rasa puas yang ditumpahkan melalui air mata, pelajaran luar biasa dapat dipetik dari film ini. Bahwa sampai akhir hayat, keluarga adalah harta paling berharga yang dimiliki. Tidak ada urgensi lain yang harus dipelihara selain hubungan saudara. Setidaknya, sekali seumur hidup harus menonton His Three Daughters.
IDENTITAS FILM
Judul: His Three Daughters
Tayang perdana: 2023
Durasi: 101 menit
Penulis: Azazel Jacobs
Sutradara: Azazel Jacobs
Aktor: Carrie Coon, Natasha Lyonne, dan Elizabeth Olsen