Tulisan ini akan dimulai dengan petikan yang sering dikutip dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Di sinilah letak pentingnya tinjauan kritis pada dua karya sastranya, Cerita dari Blora dan Cerita dari Digul.
Kedua karya ini secara fisik berbentuk buku merupakan kumpulan cerita. Cerita yang dirangkai sebagai potret mendalam tentang realitas sosial dan politik Indonesia pada masanya. Kritik perbandingan terhadap kedua karya ini menjadi penting, tidak hanya untuk memahami aspek historis dan sosial yang disuguhkan, tetapi juga untuk menelaah estetika sastra yang digunakan Pramoedya untuk menyuarakan ketidakadilan dan perjuangan manusia.
Bagaimana kedua karya ini saling berkaitan dalam menggambarkan perlawanan terhadap penindasan? Jawaban pertanyaan inilah yang akan coba dibahas dalam analisis ini. Kedua karya ini, meskipun berangkat dari latar peristiwa-peristiwa unik yang berbeda, memiliki benang merah yang kuat untuk menggambarkan realitas masyarakat di masa Hindia Belanda. Kalimat-kalimat yang dirangkai dengan apik pada kedua buku ini setajam dua bilah pedang yang memberikan kritik yang tajam terhadap ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat.
[…] bisa merebut kembali hak asuh anaknya. Margaretha menikah dengan John MacLeod, seorang komandan di Hindia Belanda (Indonesia), tetapi pernikahan mereka hancur setelah putra mereka meninggal akibat sifilis. Ia […]