Senja itu tak terasa telah sampai pada suatu perempatan jalan raya yang menghubungkan antara jalan luar kota menuju dalam kota. Secara bergantian setiap pengendara melajukan kendaraannya sesuai dengan kedipan lampu traffic light yang terpasang dengan angkuh dan berdiri di sisi kanan dan kiri jalan.
Begitu lampu hijau menyala, diikuti dengan raungan bunyi knalpot kendaraan yang seolah berlomba cepat saling mendahului satu dengan yang lainnya. Kendaraan itu saling berhimpitan antara yang satu dengan yang lainnya. Begitu melaju, tak kurang dari dua puluh meter, tiap kendaraan melaju dengan kencang seolah telah kerasukan makhluk ghaib yang berubah menjadi beringas. Semua saling mendahului tanpa memerhatikan resiko para pengendara yang lain.
Saling mendahului dengan gerakan zigzag yang sangat berbahaya kerap dilakukan, bahkan digemari oleh para pengendara yang sedang diburu waktu. Seolah berburu waktu sangat membenarkan aksi mempercepat kendaraan mereka. Tindakan saling mendahului seperti itu sangat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Semuanya seolah tak lagi peduli. Yang penting bisa mendahului dengan cepat dan bisa sampai ke lokasi tujuan dengan cepat.
Perlombaan kecepatan di jalan raya rupanya juga terjadi di mana-mana, bahkan di luar urusan jalan raya. Perlombaan kecepatan ini terjadi hampir di semua sektor dalam kehidupan. Peradaban dunia semakin tua dan kita membayangkan urusan kepatutan dan urusan sopan santun akan semakin tebal sifatnya dan akan menjadi perilaku setiap umat manusia di manapun berada. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Peradaban dunia yang semakin tua ini malah memacu orang untuk terus berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya. Meskipun hal ini mengganggu dan mengancam kehidupan orang lain, tetapi karena dianggap sebuah kebiasaan, hal ini jadi normal dalam kehidupan yang semakin diburu waktu dengan kecepatan tinggi.
Kini, dalam urusan apapun telah terlihat dengan gamblang bahwa semuanya harus serba cepat. Siapa yang lambat akan tertinggal jauh oleh yang lain. Dan rupanya ini juga mengimbas ke urusan tenggang rasa. Meninggalkan teman cukup jauh bahkan dengan sedikit mengganggu dianggaplah tidak apa-apa. Dianggap biasa saja karena memang keadaan dunia saat ini dianggap begitulah adanya. Jika dipikir-pikir benar juga, ya. Tak apalah meninggalkan teman demi mendapatkan kecepatan dan kemudahan. Apalagi tanpa ada persaingan yang ketat.
Lalu muncul pertanyaan, benarkah demikian yang harus dijalani oleh seorang anak manusia dalam menjalani kehidupan? Jika dipikir dengan mendalam tentulah tidak demikian. Manusia diciptakan untuk saling membantu satu sama lain. Tapi, kok, serius sekali, ya. Kita kembali ke urusan jalan raya saja.
Dunia modern seolah telah mengisbatkan kecepatan. Semua hal dipaksa dengan cara bergegas. Tak bisa dengan santai, pelan, dan bahkan hati-hati. Semuanya serba cepat dan instan. Karena ukurannya adalah cepat sampai. Siapa yang cepat sampai itulah yang dianggap berhasil mengendarai kendaraan dalam kehidupan ini.
Setelah di perempatan jalan lampu merah tadi, pada suatu siang saya harus menunaikan tugas dengan menjemput anak saya yang sedang menjalani kehidupan belajarnya di sekolah. Dalam perjalanan di jalan raya itu, saya terkaget-kaget. Saya harus berkonsentrasi tinggi mengemudi kendaraan agar tidak tersenggol dan menyenggol kendaraan lain yang melaju di kanan kiri saya. Kendaraan-kendaraan tersebut sungguhlah berjalan dengan sangat cepat dan beberapa kali tahu-tahu mendadak berhenti di depan saya. Ini sangat mengagetkan dan memaksa saya mendadak menginjak pedal rem untuk menghentikan kendaraan hingga bannya berdecit.
Kehidupan di jalan raya yang sangat keras sebenarnya juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari lainnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Sebenarnya semuanya juga berlomba-lomba saling berkejaran. Saling berebut jalan untuk menunjukkan “keberadaan”. Karena jika mampu menunjukkan keberadaanya maka ia telah merasa menjadi “ada” dan berdaya. Entah itu akan mengganggu orang lain atau akan mencelakai orang lain, itu adalah hal kedua. Yang pertama dan penting adalah saya harus terlihat lebih dulu. Itulah mazhab baru dalam “kehidupan yang dianggap modern” ini. Semua serba cepat untuk mendahului, karena ukuran kesuksesan itu adalah tercepat meskipun substansinya belum memadai dengan baik apalagi menuju kesempurnaan.
Sebenarnya realitas di jalan raya ini saya pun telah menyadarinya dengan baik dan sempurna bahwa hal itu telah menjadi keniscayaan. Namun entah mengapa saya tetaplah kaget dan selalu bertanya-tanya. Kok bisa demikian, ya? Lalu bagaimana dengan perubahan di jalan raya? Jawabannya marilah kita renungkan bersama.
[…] Gerakan Sosial […]