Menurut editor Harvard Political Review (2012), puisi merupakan bagian melekat dari tugas penulis pidato. Seperti yang diungkapkan oleh Ben Stein, penulis pidato untuk Robert Nixon, bahwa kemampuan untuk mengubah prosa menjadi puisi merupakan ciri khas dari penulisan pidato yang baik. penggunaan bahasa puitis yang disengaja, citra yang kaya, dan ekspresi metaforis dapat secara signifikan meningkatkan seni menulis pidato.
Perangkat puitis tidak hanya dekoratif tetapi berfungsi memikat audiens, meningkatkan daya ingatan, dan menyuntikkan kedalaman emosional ke dalam pesan. Dengan memilih kata dan frasa terpilih, penulis pidato memanfaatkan kekuatan irama dan ritme untuk menjalin relasi yang tak tergantikan antara pembicara dan audiens, melampaui batas-batas komunikasi biasa. Dalam konteks penulisan pidato yang disebutkan Ben Stein, “Kemampuan untuk membuat prosaik puitis” berarti kemahiran untuk mengambil ide-ide, fakta, atau konsep yang biasa dan sederhana, lalu menyajikannya dengan cara yang indah, berirama, dan memiliki kekuatan emosional seperti puisi. Jadi menulis dan membaca puisi itu (keputusan) politis?
Saya tengah getol berburu buku-buku puisi anak terbitan era 80-90an, yang dikategorikan sebagai Proyek/Bagian Proyek Penyediaan Buku Bacaan anak-anak Sekolah Dasar. Atau lebih dikenal sebagai buku-buku Inpres. Perburuan buku puisi anak-anak Indonesia didasari sedikitnya buku puisi anak-anak terbitan dalam negeri, yang berkualitas bagus di toko-toko buku, belakangan ini.
Kegelisahan saya terhadap minimnya buku-buku puisi anak rupanya tak terjadi hari ini saja. Pada pengantar buku Puisi Anita Lukisan Lini karya Anita Marta, terbit pada Desember 1980, penyunting Susianna Darmawi dan Korrie Layun Rampan, menulis begini: Puisi karya anak-anak, baik kumpulan puisi pribadi maupun puisi antologi bersama sangat langka diterbitkan di Indonesia. Baru pada tahun 1979 yang lalu untuk pertama kalinya diterbitkan antologi puisi dan lukisan karya anak-anak se Indonesia dalam rangka Tahun Internasional Anak-anak: Puisiku Duniaku (Penerbit Indira, disusun oleh Eka Budianta dan Susianna Darmawi) dengan kata sambutan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Surono.
Sebagai lanjutan dari penerbitan ini, kami menyusun pula puisi Anita Marta (SMP Kelas 1) Jakarta, yang ditulis tahun 1977-1980, kemudian dilengkapi pula dengan lukisan Lini, yang juga masih duduk di SMP, Surabaya. Buku puisi ini diberi nama Puisi Anita, Lukisan Lini, Jakata-Jakarta, yang diterbitkan atas biaya Anita Marta. Penerbitan puisi dan lukisan ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.
Di akhir pengantar, tertulis, Jakarta 27 November 1980. Buku puisi anak itu diterbitkan pertama kali oleh CV CYPRESS, Desember 1980, sebelum diakuisisi dan menjadi milik Depdikbud. Di sampul buku tertulis: (Buku) milik Dep. P dan K tidak diperdagangkan Inpres no 6 tahun 1980.
Dalam sebuah sesi interviu antara Matthew Zapruder dengan Travis Nichols, yang dipublikasikan di laman Poetry Society of America, terang terungkap formulasi penciptaan puisi ala William Butler Yeats, “We make out of the quarrels with others, rhetoric, but out of the quarrels with ourselves, poetry.” Retorika terlahir dari pertengkaran dengan orang lain, sementara puisi hadir dari perkelahian dengan diri sendiri.
Matthew Zapruder, seorang penyair, editor, dan profesor yang terkenal di Saint Mary’s College of California, Amerika Serikat. Lahir pada tahun 1967 di Washington, DC, karya-karyanya antara lain Come On All You Ghosts, Sun Bear, dan Father’s Day telah mendapatkan pengakuan bergengsi, termasuk May Sarton Poetry Prize dan penghargaan William Carlos Williams. Di luar karya kreatifnya, tulisan-tulisan kritis Zapruder, khususnya bukunya Why Poetry, berkontribusi signifikan pada diskusi kontemporer tentang relevansi dan aksesibilitas puisi dalam masyarakat modern.
Dalam bukunya Why Poetry?, Matthew Zapruder menentang anggapan umum bahwa puisi adalah teka-teki rumit dengan makna tersembunyi. Ia justru meyakini bahwa esensi puisi terletak pada kemampuannya menciptakan ruang bagi pembaca untuk membangun koneksi-koneksi baru—mirip keadaan seseorang bermimpi— rima tidak hanya menghubungkan bunyi, tetapi juga konsep-konsep yang sebelumnya tak terbayangkan bisa saling bersanding. Jelas, saya ada di sisi Zapruder dengan argumentasi yang dikonstruknya.
Pernyataan Zapruder membuka ruang bagi pembaca untuk merasakan puisi sebagai pengalaman personal dan membebaskan, sebab makna tidak harus disamakan dengan kode tersembunyi. Hal ini mengundang pembaca melihat puisi sebagai persemukaan dinamis antara suara dan ide, yang secara alami memfasilitasi penafsiran kreatif setiap pembacanya. Lalu, siapa pula yang menyulut opini awal kalau puisi harus pelik untuk sekadar dipahami?
Salah satu fenomena kegiatan berpuisi di kelas yang saya persoalkan adalah kebiasaan Guru-guru (Bahasa Indonesia khususnya), yang langsung menjejalkan materi-materi puisi kepada murid, tanpa mengajak mereka mendalami siapa penyairnya? Bagaimana proses kreatif yang dilakukan hingga puisi tersebut tercipta? Konteks dan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya bagaimana ketika puisi itu dilahirkan? Atau minimal cosplay sehari jadi penyair N.H Dini, Chairil Anwar, Toeti Heraty, Ratna Ayu Budhiarti, Lala Bohang, K. Usman, dan Korrie Layun Rampan, misalnya, saat mereka masih anak-anak dan bersekolah layaknya para murid? Daya imajinasi murid belum dipompa habis-habisan untuk mengeksplorasi dan menjelajahi proses pengkaryaan puisi para penulisnya. Tentu bisa diprediksi betapa kering kerontangnya kondisi pengajaran puisi di sekolah kita hari-hari ini.
Saya teringat puisi-puisi K. Usman yang dikumpulkan dalam buku Puisi Rumah Kami, diterbitkan oleh CV Danau Singkarak, 1984, dengan perancang kulit (sampul) ilustrasi dalam Ipe Maruf. Sama seperti buku Puisi Anita Lukisan Lini Jakarta-Jakarta, kumpulan puisi ini dilabeli dengan tulisan dalam kotak persegi di kanan atas buku: Milik Dep. P dan K Tidak Diperdagangkan Inpres No 6 Tahun 1980. Tak ada diksi rumit di sana. Bahkan puisi-puisi dalam buku ini memiliki tokoh bernama Mega. Mega yang lembut hati, cerdas, serta mudah terharu mewakili pertikaian diri anak-anak menyaksikan benda-benda di sekeliling rumahnya memberi manfaat pada diri dan keluarganya.
Pagar Bambu
Rumah kami sangat sederhana
Pagar bambu di sekelilingnya
Kata Ayah, pagar itu untuk keamanan
Juga berguna sebagai hiasan
Pagar bambu, kuning dan kukuh
Bambu disebut juga buluh
Bambu tumbuh di dalam kebunku
Bambu melindungi rumahku
…
Tanaman Penting di Sekeliling Rumah
Cabai, kunyit, dan serai
Ditanam ibu di belakang rumah
Singkong, ketela, pepaya
Ditanam Ayah di kebun tengah
Sekali seminggu Ayah ke kota
Menjual hasil jerih payah
Kadang aku ikut bersamanya
Bila sedang tidak sekolah
Di dalam tubuh kami
Mengalir darah petani
Sejak dulu hingga kini
Puisi Rumah Kami
Rumah kami dikelilingi kebun
Sekitarnya hijau rimbun
Di sini Ayah. Ibu, Adik, aku, dan si Mangku
Kucing yatim piatu, hidup rukun
Rumah kami sederhana saja
Sekitarnya pohon-pohon berbuah
Sekitarnya bunga-bunga merekah
Di atasnya burung-burung terbang merdeka
Rumah kami beratap rumbia
Rumah kami berdinding papan
Di sini kami bahagia
Kekuatan puisi-puisi K. Usman adalah konsistensi pada perimaan. Permainan bunyi yang mengesankan anak-anak. Selain itu penghormatan pada benda-benda dan lingkungan sekitar menjadikan puisi-puisinya menyeru pembaca mensyukuri hal-hal sederhana dan kecil yang kerap diabaikan.
Puisi dan anak-anak acapkali diasumsikan berada dalam dua kutub yang bertolak belakang. Puisi serius, sementara anak-anak bersemayam di dunia dolan, kelakar, dan main-main. Asumsi itu menegasikan sejarah hadirnya anak-anak, yang hidup bersama senandung buaian sejak dalam rahim ibu mereka. Komunikasi pertama yang dibangun bayi dalam rahim adalah dengan ibunya.
Tak ada ibu yang tak menyanyikan buaian melodius untuk janinnya. Kedekatan bayi dengan syair lagu dan musik, adalah cinta awal bayi pada kehidupan. Seiring bertambahnya usia anak-anak, pelajaran sastra di sekolah, utamanya genre puisi, kerap kali dijauhi guru-guru Bahasa Indonesia, dengan alasan tidak kompeten membuat puisi. Puisi menjadi bentuk sastra yang minim dipajankan, dibandingkan prosa maupun drama. Akibatnya, anak-anak menjauhi puisi, hingga cinta pertama dan potensi alamiah anak-anak dalam mengapresiasi puisi, lenyap secara berkelanjutan.
Kondisi ini diiyakan oleh Noor H. Dee, seorang penulis cerita anak yang menulis cerita anak bergambar fenomenal, Siapa yang Kentut dan kumpulan puisi anak Jus Puisi. “Jus Puisi tidak terjual selaris buku Siapa yang Kentut.” Tukasnya pada satu sesi diskusi di Toko buku BookbyIbuk, Malang, Februari 2025. Minat terhadap buku-buku puisi anak, menciutkan penerbit untuk mempublikasikan lebih banyak buku-buku puisi untuk anak. Di deretan panjang rak toko buku, pun di perpustakaan sekolah, buku puisi adalah buku yang tak banyak dijamah anak-anak. Pustakawan dan guru-guru Bahasa Indonesia di sekolah tidak pernah merekomendasikan puisi sebagai bacaan utama untuk anak-anak.
Saya tak yakin akan dengan mudah menemukan murid SD dan SMP hafal satu saja puisi yang disukainya yang tersedia di perpustakaan sekolah. Ini berbeda dengan puisi karya A.A Milne yang diakrabi anak-anak usia SD di Inggris, berjudul Now We Are Six.
Now We Are Six
When I was One,
I had just begun.
When I was Two,
I was nearly new.
When I was Three
I was hardly me.
When I was Four,
I as not much more.
When I was Five,
I was just alive.
But now I am Six,
I’m as clever as clever,
So I think I’ll be six now for ever and ever
A.A. Milne adalah seorang penulis Inggris yang hidup antara tahun 1882 hingga 1956. Ia dikenal luas karena karya Winnie the Pooh, yang terinspirasi dari koleksi boneka binatang putranya, Christopher Robin Milne. Puisi ini bertutur tentang seorang anak, yang menceritakan usia lima tahunnya telah berlalu, sekarang ia berusia enam tahun dengan pengalaman baru yang berbeda. Perimaannya menggoda. Tak heran jika puisi ini cepat disukai anak-anak karena bunyi persajakannya memikat dan mudah diingat.
Jika anak-anak kita tidak lagi mahir menyimak konflik batin sendiri, lalu kehilangan kemampuan mengekspresikan gagasan dan perasaan, ditambah lagi puisi yang menggemakan suara mereka menghilang, bukankah ini saatnya menyusun daftar panjang rekomendasi puisi anak untuk mereka? Atau paling tidak meneroka daftar pendek rekomendasi puisi anak, di tengah situasi serba efisien(si) ini. Itu keputusan politik, tanpa perlu menunggu pengesahan DPR.
[…] tarik abadi sastra anak-anak bagi pembaca dewasa menunjukkan bahwa batas-batas antara kepekaan anak-anak dan orang dewasa lebih […]