Lembar-lembar Daun Dadap dan Sisi Lain Malam Pergantian Tahun
Lembar-lembar Daun Dadap dan Sisi Lain Malam Pergantian Tahun

Jantung Jakarta selalu berdetak cepat tanpa henti, bahkan ketika langitnya secara perlahan telah menarik selimutnya yang hitam menandakan aktivitas sudah seharusnya melambat, Jakarta masih saja riuh oleh berbagai macam hal. Terlebih di malam menyambut pergantian tahun.

Di tengah denyut jantung Jakarta yang hingar itu, terlihat seorang lelaki kurus tinggi dengan kokoh membopong sesosok tubuh mungil dengan kedua legam tangannya. Langkahnya begitu pasti tanpa ragu. Berbeda dengan sosok yang mengikutinya.

Tampak di belakangnya dalam hitungan jarak dua langkah, seorang perempuan mengikuti dengan panik. Mereka adalah sepasang suami istri, Pardi dan Murni, dan mereka kini menuju sebuah Rumah Sakit megah berlantai empat yang selama ini selalu membuat gentar hati mereka untuk membawa Zahra, sosok kecil yang tengah dibopong oleh Pardi ke sana. Tetapi kini rasa gentar itu mereka hanguskan.

Sekitar dua puluh menit sebelumnya, Murni dengan panik keluar dari sekat ruangan bawah kolong jembatan yang selama ini mereka tinggali. 

- Poster Iklan -

Murni keluar karena Zahra, yang semula tenang dalam sakitnya, tiba-tiba kejang dan panasnya meninggi. Tumbukan daun dadap, ramuan tradisional untuk menurunkan panas di kening Zahra berjatuhan oleh gerak Zahra yang tak beraturan.

“Zahra,” tenggorokan Murni tercekat. Kata-katanya patah di tengah. Pardi, yang tengah memilah barang bekas hasil mulungnya hari itu, tak perlu penjelasan lebih lanjut. Dengan melihat kepanikan istrinya itu dia sudah tahu, ada sesuatu yang telah terjadi terhadap putri mereka yang baru berusia empat bulan itu.

Sudah memasuki hari ketiga ini Murni dan Pardi mendapati Zahra, anak mereka, panas tinggi. Di bawah kolong jembatan yang sudah menjadi tempat mereka dan yang lainnya berlindung sebagai tempat tinggal dalam sekat-sekat seadanya, Zahra dibaringkan di lantai beralaskan kardus dengan kening dibaluri tumbukan daun dadap, ramuan tradisional sebagai obat penurun panas yang daunnya  mereka petik dari pohon dadap yang tumbuh di sebuah kantor pemerintah Dinas Sosial ketika Pardi melakukan aktivitasnya memulung rongsokan untuk dijual.

Tiba di hadapan bangunan yang berdiri angkuh seakan tengah memandang mereka dengan bengis itu langkah Pardi tak lagi setangguh tadi, mereka sejenak mematung. Seperti tak tahu harus melakukan apa selanjutnya. Tetapi rintih-nyeri Zahra yang berada dalam dekapan Pardi kembali menyadarkan mereka, bahwa mereka harus melakukan sesuatu secepatnya.

Pardi dan Murni mencoba tak peduli dengan keadaan sekitar yang memperhatikan mereka dengan tatapan aneh. Seakan mereka salah alamat. Mata mereka seakan mengatakan bukan tempat mereka di sini. Karena mereka berpakaian dengan pakaian dekil dan kumal, terlalu kontras dengan kemewahan bangunan dan pengunjung Rumah Sakit tersebut.

“Anak kami sakit, dan kami butuh bantuan!” Murni meminta kepada salah satu petugas dengan ucapan yang begitu tergesa. Petugas tadi segera memanggil beberapa petugas lain dan memberi instruksi dengan cepat. Zahra dibawa dengan tandu dan langsung ditangani di ruang IGD. Murni dan Pardi sangat bersyukur, ternyata petugas di sini sangat baik tanpa memandang status sosial mereka. Tetapi, ternyata rasa syukur terlalu cepat menghinggapi pikiran mereka.

“Pak, silakan ke ruang sebelah, temui petugas di sana!” Seorang petugas perempuan berpakaian putih teduh memberi informasi kepada Pardi. Pardi Mengikuti instruksi. Suara gema batuk beberapa orang yang ada di sana membuat Pardi semakin tenggelam dalam rasa tak nyaman.

“Apakah Bapak menggunakan umum atau BPJS?.” Seorang petugas di balik sekat kaca bertanya setelah sebelumnya berbasa-basi. “ Pardi panik. Tetapi dia mencoba menjelaskan sebisanya. “Saya tidak punya BPJS, bahkan BPJS yang dibiayai pemerintah pun tidak punya. Kami sekeluarga penghuni kolong jembatan yang tidak terdaftar dalam catatan kependudukan.” Pardi menjelaskan.

“Jadi, Anda akan membayar biaya pengobatan anak Anda dengan biaya tarif umum?” Petugas itu bertanya lagi. Tetapi Pardi tahu, petugas itu hanya menjalankan formalitas sebuah birokrasi. Pardi tahu, hanya dengan melihat penampilan mereka, petugas itu sudah bisa menebak kemampuan keuangannya.

“Anak Bapak harus segera ditangani, kami harus memastikan akan seperti apa Bapak membayar biaya pengobatannya. Selama belum ada kesepakatan ini, kami tak bisa melakukan tindakan selanjutnya, maaf.” Petugas di balik kaca pembatas itu berkata sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dadanya, sebuah gestur permintaan maaf dan keinginan untuk dimaklumi.

“Saya akan membayarnya dengan tarif umum!” Pardi memberi pernyataan kepada si petugas, suaranya terdengar sedikit lebih cepat dan keras dari yang seharusnya karena emosinya mulai meninggi. Dia hanya ingin anaknya segera ditangani. “Baik, kalau begitu, boleh saya lihat KTP Bapak. Untuk pencatatan administrasi.” Pardi semakin mendidih ketika si petugas meminta tanda pengenalnya. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa dia adalah penghuni kolong jembatan yang tidak terdaftar.

“Tak bisakah langsung ditangani saja!” Pardi mulai sedikit berteriak dan itu mengundang perhatian lebih banyak orang lagi, termasuk pihak keamanan. 

“Ini adalah estimasi perhitungan biaya dari tindakan yang akan kami ambil.” Petugas itu memperlihatkan sebuah kertas kecil tulisan tangan. “Apakah Bapak bisa menyediakan setengahnya saja dulu sekarang?” Petugas itu melanjutkan.

Deretan angka yang tertera membuat Pardi terperangah, tetapi… “Secepatnya saya berikan!” Kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya ingin anaknya selamat.

Selepas berkata begitu, Pardi menemui Murni yang tengah menjaga Zahra. “Jaga anak kita, aku akan kembali secepatnya. Pardi pergi membelah gelap, segelap tujuannya yang tak tahu harus apa dan ke mana?

Sementara itu, Zahra kembali kejang seakan tak memberi restu untuk kepergian sang ayah. Murni berteriak meminta belas kasihan agar segera diberi tindakan. “Bukankah ini tempat menyembuhkan manusia, TOLOOONG.” Murni seakan melolong. Petugas memang berdatangan, tetapi hanya sebatas memberi penanganan seadanya tanpa menggunakan fasilitas yang seharusnya.

Kejangnya Zahra berakhir selang sepuluh menit berikutnya. Suhu tubuhnya turun. Badan Zahra terkulai layu, untuk kemudian kaku. Zahra damai dalam pelukan ibunya, tetapi tidak dengan Murni. Murni menangis terisak hingga sesak.

Semua orang yang ada di sana mulai berbisik-bisik, beberapa mengeluarkan smartphone dan mulai merekam, yang lainnya memasang wajah prihatin dan belasungkawa, termasuk juga petugas kesehatan yang tak memberikan pertolongan itu. Murni menggendong Zahra dalam dekapnya. Tak dia pedulikan semua mereka yang hadir di sana.

Murni keluar dengan Zahra masih dalam peluknya. Dia menuju sebuah pohon besar yang terdapat di halaman samping dengan pencahayaan yang tak sempurna. Murni duduk di bawah pohon tersebut dan menyandarkan tubuhnya. Mencoba melepaskan segalanya, namun gagal.

Di arah pintu masuk IGD tadi Pardi muncul. Tangannya memegangi pahanya yang berlumuran darah. Langkahnya terpincang-pincang. Murni memanggilnya. Pardi menghampiri ke arah asal suara. “Mur… !” Pardi memanggil. Murni mengiyakan. “Bagaimana anak kita?” Pardi bertanya. Murni tak menjawab, hanya meminta Pardi mendekat saja. Pardi merasa perutnya dijatuhi oleh benda berat ketika melihat putrinya damai dalam diam. 

Rupanya, paha Pardi terkena tembak. Dia berniat merampas tas tangan seorang pengunjung yang sedang menikmati acara menuju pergantian tahun, namun nahas. Pasangan wanita yang coba dia rampas tasnya itu ternyata seorang tentara yang sedang tidak bertugas dan tengah menikmati acara pergantian tahun. Lelaki itu melepaskan tembakan ke arah Pardi. Beruntung dia masih bisa lolos.

Pardi melihat sesosok mungil itu tengah diam dalam pangkuan Murni. Wajahnya tenang. Sehelai daun tempat Murni dan Zahra berteduh melayang jatuh dan mendarat lembut di kening Zahra yang hanya tinggal raga. Ternyata itu adalah daun dadap. Pardi mendekat. Mereka duduk bersama di bawah jenis pohon yang selama ini daunnya selalu mereka gunakan untuk meredakan panas Zahra. 

Helai-helai lainnya menyusul berjatuhan di atas pangkuan mereka. Murni mengumpulkan helai demi helai tersebut dan menaburkannya dengan lembut di atas tubuh mungil Zahra. Dan bertepatan dengan itu, dari kejauhan terdengar suara teriakan orang-orang beramai-ramai dengan serentak.

“10…! 9…! 8…! Rupanya mereka tengah menghitung mundur. Murni dan Pardi mendengar suara mereka dengan perasaan sakit. “4…! 3…!” Hitungan itu telah mendekati akhir. “2…! 1…!” Serentak dan mengentak, suara terompet dan tabuhan bergema, kemudian disusul desing kembang api meluncur ke udara dalam jumlah tak terhingga. Angkasa dipenuhi dengan cahaya dan suara. Seluruh orang-orang terdengar begitu gembira.

Mereka kembali mengumpulkan helai-helai daun dadap dan menebarkannya di tubuh Zahra. 

Sambil memeluk tubuh Zahra, mereka menatap angkasa. Cahaya penuh warna membias pada sepasang mata mereka. Sorak kegembiraan mereka yang tengah merayakan pergantian tahun bergema di kedua telinga mereka. Tetapi, mereka hanya bisa diam dalam duka.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here