“ …, aku pun masih percaya bahwa hatilah yang dapat menguasai kepala….“
— Profesor Shim, Almond, Sohn Won-Pyung hal. 213
Dunia bagi Yunjae adalah dunia yang ‘tenang’. Dunia dengan keheningan emosi yang sulit diekspresikan; baik dari raut wajah ataupun dengan nada suara. Ia hanya perlu memahami lawan dan berusaha meniru layaknya seperti orang normal. Begitu ibu mengajarkannya dalam menjalankan hari-hari.
“Tidak masalah kalau kau tidak paham hal-hal yang rumit, yang terpenting adalah memahami prinsip dasarnya dulu. Dengan begitu, kau tetap termasuk kategori anak normal,“ ujar ibu.
Bukan tanpa alasan Yunjae menghadapi dunia tanpa rasa dan keheningan emosi. Hanya saja ‘almond’ di kepalanya berbeda dengan orang pada umumnya. Yup, setiap orang memiliki dua almond dalam kepalanya. Letaknya jauh terbenam kokoh di antara belakang telinga hingga kepala. Namanya amigdala, secara bentuk serta ukuran seperti almond.
Pada orang normal, sinar merah akan masuk ke almond jika mendapat rangsangan dari luar sehingga dapat merasakan rasa takut, kesal, senang, dan benci. Namun, almond di kepala Yunjae tidak berfungsi dengan baik.
Alexitimia.
Begitu istilah kedokteran menyebutkan kondisi almond milik Yunjae. Kondisi ketidakmampuan mengungkapkan emosi serta merasakannya. Oleh karena itu Yunjae tidak bisa merasakan dengan jelas apa itu bahagia, sedih, cinta dan rasa takut. Selain itu, ia juga tidak bisa membaca emosi orang lain sehingga tidak tahu bagaimana merespon emosi tersebut.
Bagi Yunjae emosi hanyalah sebuah tulisan yang samar-samar.
Jungkir Balik Dunia Yunjae
Nenek menyebut Yunjae sebagai monster. Monster yang menggemaskan di dunia. Bagi nenek tak ada yang salah dari panggilan tersebut karena Yunjae adalah anak istimewa dan monster bukanlah sesuatu yang berarti buruk.
Insiden tragis suatu hari di malam natal, tepat di hari ulang tahun Yunjae merampas kompas kehidupan Yunjae sejenak. Bagi orang normal peristiwa yang merenggut nyawa nenek dan membuat ibu tertidur lama berbulan – bulan di rumah sakit tentu menyimpan ragam emosi dan traumatik yang mengerikan.
Tapi tidak dengan Yunjae – seperti biasa ia menghadapi kondisi tersebut dengan tenang. Namun, sejatinya peristiwa tersebut menghadirkan ragam pertanyaan di kepala Yunjae dan ingatan tentang kalimat ibu serta nenek yang ‘menghantui’ langkah – langkah sendirinya.
Jika biasanya ia memiliki ibu dan nenek sebagai kompas dalam menjalani kehidupan sesuai norma yang berlaku, seperti kalau orang lain tertawa, ikutlah tersenyum.
Kali ini, keheningan emosi pun diikuti oleh keheningan hari – harinya ; tanpa suara nenek dan ibu.
Namun, hari -hari Yunjae yang tidak selamanya tenang, tiba-tiba ketenangan tersebut terusik dengan kemunculan Gon. Seorang monster lain yang sangat kontras dari dirinya dan membuat perlahan – lahan secara tak sengaja emosinya bertumbuh.
Gon adalah anak yang mengajariku tentang penderitaan, rasa berdosa, dan rasa sakit.
Almond dan Kisah yang Mengasah Sisi Simpati dan Empati dalam Bertumbuh
Semua itu berbeda, jadi mungkin saja ‘ reaksi tidak normal’ yang kulakukan bisa menjadi jawaban yang benar bagi orang lain. – Almond by Sohn Won-Pyong halaman 58.
Kepiawaian Sohn Won – Pyung menyajikan cerita apik dan penuh emosi juga turut menarik perhatian dua anggota Bangtan Boys atau dikenal dengan BTS yaitu Kim Nam-joon (RM) dan Min Yoon-gi (Suga) yang kedapatan membaca novel Almond pada acara reality show In the Soop 2020 lalu.
Novel Almond karya penulis asal Korea, Sohn Won- Pyung, tidak saja memberi pengetahuan tentang alexithymia atau ketidakmampuan mengungkapkan suatu emosi kepada pembaca tapi membawa isu kesehatan mental yang relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Disajikan dengan bahasa yang ringan dan padat namun terperinci dengan jelas, penulis berhasil mengacak emosi pembaca dalam menyelami konflik emosi. Meskipun fokus utama kisah novel ini pada tokoh Yunjae yang mengalami ketidakmampuan mengungkapkan suatu emosi atau Alexithymia, namun kehadiran ‘monster lain’ bernama Gon menyadarkan sebuah kenyataan dari perjuangan menyedihkan dalam bertumbuh.
Kekuatan narasi yang dihadirkan melalui sudut pandang karakter utama mengaduk emosi saya sebagai pembaca dengan munculnya air di sudut dua mata saya. Membaca kisah Yunjae membawa kita pada perjalanan dalam memahami sebuah hubungan yang lebih humanis dalam kehidupan sosial masyarakat.
Menyelami rangkaian kisah di Almond membuka hubungan antar manusia perlu dirangkul, didengarkan dan percaya sebagaimana yang dilakukan Yunjae pada Gon yang percaya bahwa temannya itu adalah anak baik.
“Karena Gon anak yang baik.”
Sekalipun dalam ingatan Yunjae, Gon adalah orang yang memukulnya, melawan guru dan melempar barang – barang.
Biasanya orang – orang tidak peduli atas kemalangan orang lain dengan alasan terlalu jauh. Namun, mereka juga tidak melakukan hal apapun atas kemalangan yang terjadi di hadapan mereka dengan alasan rasa takut yang begitu besar. Kebanyakan orang tidak melakukan apapun ketika merasakannya dan dengan mudah melupakan rasa simpatinya.
Bagiku, itu bukanlah sikap yang benar.
Aku tidak ingin hidup seperti itu.
(Almond – Sohn Won-Pyung halaman. 207)
****

Judul: Almond
Penulis: Sohn – Won – Pyung
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2019
Tebal Buku: 220 halaman