Dari Sang Hyang Celeng sampai Rendang Demokrasi (sumber foto: Borneotribun.com)
Dari Sang Hyang Celeng sampai Rendang Demokrasi (sumber foto: Borneotribun.com)

Belum genap satu tahun kita telah babak belur disapu hantaman dari berbagai arah. Bak para artis, berita yang bombastis meletus berkali-kali di layar televisi telah meracuni segenap pemirsa seluruh penjuru negeri. Bukan adegan Stephen Chow yang selalu berhasil mengocok perut para penikmat film komedinya, melainkan para koruptor yang sedang bertanding merebutkan puncak klasemen tertinggi dalam liga korupsi.

Ditambah lagi pengesahan RUU TNI dan POLRI membuat kita diambang kembali ke masa Orde Baru. Namun dalam keriuhan yang memanas, bukan berita-berita liga korupsi dan pengesahan RUU yang menarik perhatian, melainkan juga berita tentang teror kepala babi dan hilangnya rendang Willi Salim di Palembang dalam konten masak-masak. Kedua berita tersebut menjadi berita besar, menasional, dan dikonsumsi seluruh masyarakat luas. Entah kepala babi dan rendang, apapun makanannya masyarakat kita dengan jurus “kepepet” segalanya menjadi halal dan layak dikonsumsi. Tidak ada hukum fiqih yang melarang jika sudah dalam keadaan “kepepet”.

Masyarakat kita adalah manusia “kepepet” sampai akhir menutup mata. Berita kepala babi tentu seharusnya menjadi hal yang lebih haram untuk dikonsumsi. Terlebih Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyuruh para jurnalis Tempo untuk memasak kepala babi tersebut. Kemungkinan, Hasan Nasbi juga merasa “kepepet” dengan adanya teror tersebut. Karena serba “kepepet”, pada akhirnya Hasan Nasbi menghalalkan semua cara untuk menyelesaikan masalah.

Terlepas dengan background agama apapun, kepala merupakan sebuah hal yang sangat terhormat, sekalipun kepala babi. Dalam Susastra Weda, Sang Hyang Celeng atau yang dimaksud “Celeng” adalah “babi” merupakan sosok dewa jelmaan Wisnu yang menyelamatkan bumi tenggelam ke bawah samudera karena perbuatan raksasa Hiranyaksa. Peristiwa penyelamatan tenggelamnya bumi oleh Sang Hyang Celeng tentu menjadi peristiwa heroik sepanjang masa. Namun era menuju orba sekarang ini, Sang Dewa telah kalah. Juru selamat telah tumbang di tangan manusia biasa. 

- Poster Iklan -

Berbeda tempat, berbeda penafsiran. Di Jerman pada tahun 2016, masyarakat melakukan demo dengan menggunakan rias hewan, salah satu di antaranya adalah babi. Kurang lebih 1.500 orang bertopeng menyerbu Konferensi Keamanan Munich. Masyarakat curiga bahwa konferensi tersebut bertujuan untuk memperluas konflik di dunia khususnya di Suriah.  Dalam hal ini, babi sebagai simbol kotor dan rakusnya pemerintah. Peristiwa yang terjadi kepada Tempo tentu menjadi tanda peringatan tersendiri bagi para jurnalis.

Apakah “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara” yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma akan kembali lagi menggema di belantara pemikiran kaum sastrawan dan menjadi komoditas renyah untuk selalu dibahas. Atau teror kepala babi ini bagian dari gaya komunikasi semiotik ala-ala Barthesian yang mengkodekan makna, nilai-nilai, dan kritik keras kepada Tempo agar tidak terlalu bersuara keras terhadap pemerintahan.  

Bak gayung bersambut. Yang lebih menarik perhatian masyarakat adalah berita lenyapnya Rendang Willie Salim karena ditinggal ke kamar mandi dalam acara konten masak besarnya. Sontak berita tersebut membuat heboh masyarakat Palembang. Sebagian besar masyarakat tidak terima dengan konten tersebut yang menganggap merendahkan warga Palembang.

Tidak hanya itu saja, atas hilangnya Rendang di wajan yang cukup besar tersebut, Willie Salim harus meminta maaf kepada warga Palembang karena judul video yang mengandung unsur provokatif. Kehilangan sesuatu benda atau hal bukan yang luar biasa di negeri abracadabra kita ini. Sebelum runtuhnya era Suharto, peristiwa penjarahan terjadi di area pertokoan Glodok, Jakarta Barat. Bagaimana tidak, karena serba “kepepet” akibat ulah Orba, masyarakat mengalami chaos.   

Hilangnya Rendang Willie Salim adalah cerminan masyarakat yang mengalami chaos yang hebat. Di tengah hidup yang jungkir balik ini, masyarakat dipaksa mengonsumsi berita tidak sehat tentang pemerintahan yang semakin kacau balau. Tentu peristiwa penjarahan di area pertokoan Glodok Jakarta Barat tidak pernah kita inginkan kembali lagi. Hilangnya barang-barang dan bahan makanan di Glodok dan raibnya Rendang Willi Salim menandakan bahwa kita juga sedang kehilangan demokrasi.

Mungkin hal ini terkesan mengait-ngaitkan saja. Tapi perlu kita tengok bagaimana runtutan peristiwa pemicu kerusuhan mulai dari korupsi hingga pengesahan RUU adalah bukti nyata bahwa masyarakat telah kehilangan demokrasi. Rakyat tak pernah diberi kesempatan untuk terlibat dalam membuat rancangan perundang-undangan. Yang ada rakyat disamakan seperti hewan ternak yang harus digemukkan dan dibodohkan.  

Dalam tradisi Larung Kepala Sapi yang dilakukan warga pesisir Pasuruan, persembahan kepala sapi sebagai ritual ucap rasa syukur atas melimpahnya hasil lautan. Pun demikian dengan tradisi Syuroan oleh warga lereng Gunung Semeru. Kedua tradisi tersebut menjadi contoh bahwa kepala apapun adalah simbol martabat yang tinggi dalam perspektif manapun. Sementara tubuh dari kepala persembahan adalah bagian terenak untuk dijadikan rendang. Tentu hal ini bukan menjadi hal yang mubazir, malah cenderung sangat bermanfaat bagi warga sekitar. 

Kebermanfaatan kepala babi, sapi, dan rendang tentu harus menjadi berita ciamik dari pada program MBG. Perihal masakan, juru masak atau orang yang mengolah di balik layar adalah kunci berjalannya acara masak-masak. Acara masak juga dikatakan berhasil apabila masakan yang disajikan terasa enak. Masakan yang tidak matang dan tidak enak akan memunculkan berbagai macam reaksi, mulai dari sakit perut hingga keracunan.

Pun demikian dengan demokrasi yang tak benar-benar disajikan dengan lezat karena kesalahan bumbu atau sembarangan mencampur bahan masakan, terlebih acara masak-masak yang hanya kebutuhan konten “settingan”. Acara “settingan tentu akan membawa dampak kurang sehat bagi penikmat, apalagi melibatkan masyarakat seluruh Indonesia. 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here