Mengintip Ketidakadilan Gender dalam Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” (sumber foto: rumahbuku.net)
Mengintip Ketidakadilan Gender dalam Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” (sumber foto: rumahbuku.net)

Fenomena mengenai perempuan dan standarisasi yang mengikat kedua kaki mereka, selalu menjadi hal menarik untuk diceritakan di dalam karya sastra. Beberapa penulis di Indonesia kerap mengangkat isu-isu mengenai perempuan di dalam karyanya. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai macam tujuan, seperti menyampaikan suara ketidakadilan para perempuan, media kritik, atau sekadar menyadarkan masyarakat bahwa isu-isu mengenai budaya patriarki bukan hal yang main-main.

Beberapa novel populer yang di dalamnya memuat isu-isu perempuan, di antaranya adalah novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” karya Dian Purnomo, “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, “Gadis Kretek” karya Ratih Kumala, “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” karya Muhiddin M. Dahlan, dan karya lainnya. Novel-novel tersebut telah menghiasi dunia sastra dengan isu perempuan di dalamnya. Para penulis menggambarkan bagaimana eksistensi perempuan saat ini, atau beberapa tahun silam. Hingga saat ini, novel-novel populer yang berisikan isu perempuan tidak pernah luput dari pandangan.

Salah satu novel yang membahas perihal perempuan ialah “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma. Novel tersebut dicetak pada Juni 2021, cetakan kedua pada September 2021 dan cetakan ketiga pada Januari 2022. Novel dengan jumlah halaman yang cukup sedikit yaitu hanya 164 halaman, tetapi mampu menyampaikan dan menggambarkan eksistensi perempuan di dalam rumah tangga. Novel yang terbit di Gramedia Pustaka Utama tersebut, termasuk ke dalam golongan novel populer dan banyak digemari oleh masyarakat dikarenakan ceritanya yang terasa nyata.

Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” menceritakan tentang Amara dan Baron serta kehidupan dalam rumah tangga yang penuh lika-liku. Kehidupan rumah tangga Amara dan Baron tidak luput dari campur tangan keluarga bahkan masyarakat. Ketika sudah menikah, mereka dituntut untuk segera memiliki anak.

- Poster Iklan -

Namun, setelah rumah tangga tersebut dikaruniai seorang anak, maka perjuangan tidak berhenti begitu saja. Banyak hal yang lebih kompleks setelah hadirnya seorang anak dalam rumah tangga Amara dan Baron. Konflik yang dihadirkan dalam novel tersebut tidak hanya berkutat perihal rumah tangga, tetapi bagaimana kedudukan perempuan dalam rumah tangga tersebut.

Kelebihan dari novel “Lebih Senyap dari Bisikan” terbilang cukup banyak. Dimulai dari penokohan yang digambarkan dengan sangat kompleks, alur yang jelas dan tidak bertele-tele, serta pesan-pesan bermanfaat yang disampaikan dengan jelas. Novel tersebut ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas, tidak heran novel ini sangat populer. Cerita yang dihadirkan pun sesuai dengan selera masyarakat, karena gambaran kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan fakta.

Kekurangan novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, yaitu pada beberapa bagian cerita yang terkesan menggantung. Ketika mendekati akhir cerita, penulis terkesan terburu-buru ingin mengakhiri cerita. Sehingga hal tersebut agak mengganggu pembaca. Namun, secara keseluruhan novel ini tetap bisa dinikmati dengan baik sebagai hiburan atau media pengetahuan. Semua pesan yang ingin disampaikan penulis melalui novel tersebut juga sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, khususnya yang hendak berumah tangga.

Novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma mencoba menguak kedudukan perempuan setelah menjadi seorang istri. Fenomena mengenai perempuan di dalam novel tersebut jika ditelisik menggunakan kacamata feminisme, memuat hal yang luar biasa. Sosok perempuan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, memuat isu-isu yang kerap disuarakan dalam feminisme. Melalui karyanya, penulis hendak menyampaikan keresahan yang dialami oleh para perempuan.

Dalam novel tersebut, kuasa tubuh perempuan seolah masih diatur oleh masyarakat. Setelah menikah, perempuan dituntut untuk segera memiliki anak. Perempuan diposisikan sebagai mesin penghasil anak, tanpa mempertimbahkan persiapan yang matang. Perempuan dianggap belum sempurna jika belum mempunyai anak. Selain itu, jika belum mempunyai anak maka yang akan diburu oleh masyarakat adalah perempuan. Seolah satu-satunya permasalahan terdapat pada tubuh perempuan. 

Perempuan dipaksa untuk menjaga tubuh, pola makan, pikiran, tidak boleh banyak bekerja, agar bisa memiliki anak. Namun, laki-laki tidak pernah dipaksa untuk begitu menjaga tubuhnya demi mempunyai anak. Pada novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma, tokoh Amara sebagai perempuan lebih banyak mendapatkan pertanyaan mengenai “Sudah hamil atau belum?” daripada Baron sebagai tokoh laki-laki yang tidak pernah mendapatkan pertanyaan “Sudah berhasil menghamili atau belum?” (Halaman 15).

Selain itu, tubuh perempuan seolah dibuat untuk memenuhi kepuasan laki-laki. Perempuan dituntut untuk menjaga bentuk tubuh demi memenuhi kebutuhan laki-laki. Dalam novel tersebut juga digambarkan bagaimana tokoh Amara diposisikan sebagai objek atas tubuhnya, bahkan setelah melahirkan ia harus tetap memiliki tubuh yang sempurna demi memuaskan suami. Hal tersebut disampaikan dalam kutipan; “Kita rapetin ya, biar Bapak senang,” dokter terkekeh sendiri. (Halaman 54).

Bentuk ketidakadilan lainnya, perempuan selalu diposisikan sebagai makhluk kedua, setelah laki-laki. Perempuan selalu dianggap makhluk lemah, dan bergantung kepada laki-laki. Bahkan, dalam rumah tangga yang menganut budaya patriarki banyak yang tidak melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan karena menganggap laki-laki yang memiliki hak tersebut sebagai makhluk superior. 

Hal tersebut juga tergambarkan dalam novel “Lebih Senyap dari Bisikan” karya Andina Dwifatma. Di dalam novel tersebut, tokoh perempuan Amara kerap kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut selalu dilakukan oleh Baron secara sepihak, tanpa melibatkan Amara. Perempuan dalam novel tersebut digambarkan sebagai makhluk yang tunduk, dan tidak memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya.

Saat ini, kebebasan bagi perempuan masih diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Melalui karya sastra seperti novel, isu-isu mengenai perempuan dapat tersampaikan dengan mudah kepada masyarakat. Hal tersebut juga dapat membantu setiap perjuangan para feminis dalam menyatakan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Masyarakat juga perlu memahami betapa pentingnya memandang perempuan sebagai subjek atas dirinya sendiri, bukan sebagai objek pelengkap laki-laki.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here