
Apa jadinya jika kalian menjumpai sebuah karya yang tersusun atas 282 halaman tanpa huruf E—huruf yang bisa diucapkan biasa maupun taling (é)? Huruf yang harus diucapkan pakai mulut yang agak sungging dan suara madya-buka. Itulah yang saya jumpai saat membaca novel CADL karya Triskaidekaman. Karya yang ditulis untuk menjadi jawaban atas tantangan di Quora (informasi didasarkan pada halaman awal novel).
Awalnya, saya tahu novel ini dari bercakap-cakap santai di warung kopi. Saya bersama kawan-kawan saat itu sedang membahas buku yang enak untuk dibaca, dan salah satu kawan saya memberi rekomendasi untuk mencicipi novel CADL karya Triskaidekaman. Eh ternyata, saya pernah ketemu novel itu ketika jajan buku di Gramedia Surabaya—novel bersampul kuning dengan gambar pisang yang sudah dikupas. Namun saat itu, saya masih mengabaikan novel tersebut dan memilih untuk tidak membelinya.
Nah, setelah saya mendapat rekomendasi bahwa novel ini punya sisi unik, rasa abai yang tadinya ada di hati saya langsung dijungkirbalikkan menjadi hasrat untuk menjamah dengan kuat. Saya antusias menyimak sinopsis yang kawan saya paparkan, dan dari situ, saya bulatkan niat untuk meminjam novelnya.
Seperti orang yang condong gandrung baca tulisan ilmiah dan opini pada umumnya, jujur saya agak kurang paham saat membaca bagian awalnya. Prolognya bagai alur mimpi saya saat demam—acak dan cukup membuat otak berputar kocak. Namun, ketika sudah sampai pada seperempat bagian, saya mulai bisa menangkap isi kisahnya.
Jadi, secara keseluruhan, novel ini berisi kisah distopia tentang suatu negeri yang bernama Wiranacita, negeri yang punya makanan pokok pisang dan dipimpin diktator yang sangat anti pada huruf E, namanya Zaliman Yang Mulia. Dia mengumumkan maklumat konyol yang melarang warga Wiranacita untuk memakai huruf E dalam aktivitas lisan maupun baca tulis.
Buku-buku yang punya huruf E mulai dimusnahkan. Aturan bicara mulai dibatasi. Jika ada yang tidak patuh, dia akan dihukum, mulai dari cabut gigi hingga cabut nyawa. Suatu contoh kasus politik bahasa yang menunjukkan bahwa tirani sangat paranoid pada narasi-narasi miring akan karya sastra.
Aturan-aturan konyol itu didasarkan pada masa lalu suram Zaliman yang tak diizinkan menjadi bahan konsumsi orang. Di lain sisi, ada seseorang yang semakin dilarang malah semakin penasaran dengan masalah itu. Walaupun bahaya dan ancaman hukuman kian parak padanya.
Setelah membaca bagian konfliknya, saya jadi kepikiran tentang postingan seseorang di Kaskus yang menghina presiden saat ini. Persis seperti yang diprediksi Mbak Triska, dia yang dulu mengkritik penguasa habis-habisan, kini malah jadi sohib pemerintahan. Hmmm, saya rasa kalian bisa menebak siapa orangnya.
Bagi saya, daya tarik di novel CADL tidak hanya ada pada jalan konfliknya, tapi juga pada kisah di balik layarnya.
Jika kalian buka bagian Maklumat Tiga, kalian akan menjumpai 4 tautan yang apabila ditinjau dari namanya, berisi daftar buku-buku yang dilarang Zaliman. Namun, jika kalian tik di peramban, kalian akan jumpai kisah di balik penulisan novel CADL ini. Mulai dari tantangan di Quora hingga wabah Covid-19 yang menghambat laju pemublikasian karya Mbak Triska. Bagian ini cukup membuat saya ternganga dengan cara Mbak Triska menyelipkan behind the scene proses penulisan di sela-sela karyanya.
Daya tarik lainnya ada pada sajian narasinya. Layaknya juru tulis lipogram lain yang menghilangkan satu huruf khusus, Mbak Triska otomatis akan dipaksa untuk menghilangkan kata-kata yang mengandung huruf E dan menggantinya menjadi diksi atau padanan lain yang layak dimasukkan dalam novelnya.
Cara menulis seperti ini saya pikir jadi cara brilian untuk melatih kita dalam mengolah kosakata. Pun sama pada saya saat baca buku ini yang nyambi mengunjungi laman KBBI supaya tahu kosakata-kosakata arkais dan unik yang jarang saya jumpai. Hal inilah yang membuat saya jadi makin tahu soal kosakata baru.
Sisi lain yang tak kalah memunculkan daya tarik adalah nama-nama tokoh di novel CADL ini yang menggunakan kata-kata kasar, jorok, dan sarat akan umpatan. Mulai dari tokoh utamanya yang punya nama Lamin Lanjarjati, Jingan Cukimarno, Jahanam Jadahayati, Gundulmu, Bangsat Riana Bolotwati, Zakaria (sebenarnya bagus, tapi masih ada unsur joroknya), hingga nama yang ditulis dengan simbol khusus yang tidak terdapat di papan ketik manapun (manasuka kalian mengucapkannya).
Walaupun banyak daya tariknya, novel ini juga cukup mengundang tanda tanya. Saya dibuat ingin tahu pada cara warga Wiranacita mengucapkan angka 4, 6, 8, dan 9. Ini karena, angka-angka yang saya jumpai diucapkan memakai alfabet hanya angka satu, dua, tiga, lima, tujuh, dan nol. Apakah warga Wiranacita mengucapkan 10.000 dengan “satu puluh ribu?” Saya juga kurang paham. Kalau kalian ingin tahu lebih banyak soal novel ini, silakan baca sendiri untuk menemukan keunikannya.