Paya Nie: Di antara gambut, tragedi dan kekerasan (sumber foto: Margin Kiri)
Paya Nie: Di antara gambut, tragedi dan kekerasan (sumber foto: Margin Kiri)

Allah hai dô dô da idang
Seulayang blang ka putôh taloe
Beurijang rayek muda seudang
Tajak bantu prang tabila nanggroe

// Allah hai dô dô da idang //
// Layang-layang di sawah telah putus talinya //
// Cepatlah besar anakku, oh, Banta Seudang! //
// Ikut bantu berperang untuk membela bangsa //
*terjemahan dalam bahasa indonesia

Saya akan mulai tulisan ini dengan satu pertanyaan: Apa yang terlintas di pikiran pembaca ketika membaca sepotong syair di atas? Tergantung seberapa jauh pembaca memahami syair itu, mungkin resensi ini, atau bahkan buku yang saya maksud, akan membawa nuansa yang lain: harga diri. Bukan tentang harga diri sebagai bangsa Indonesia, tentunya. Bukan itu tujuan tulisan ini.

Pembaca tak perlu khawatir akan bahasan-bahasan membosankan dan pidato-pidato omong kosong soal itu. Saya akan mengantarkan pembaca pelan-pelan untuk menikmati setiap batang binyeut (sebutan untuk tanaman Lembang dalam bahasa Aceh) di atas rawa gambut Paya Nie beserta cerita-cerita yang timbul dari dalam air gambut.

- Poster Iklan -

***

Apabila pembaca belum tau, syair sebelumnya adalah potongan dari lagu pengantar tidur “do da idi”. Dinyanyikan ibu-ibu Aceh untuk meninabobokan anaknya dalam buai ayunan. Lagu ini berisi pesan dan kerelaan dari seorang ibu yang mempersiapkan anaknya untuk ikut dan berjuang di perang Aceh melawan penjajahan.

Saya memberikan awalan berupa potongan syair di atas bukan tanpa sebab. Justru dari lagu itu, dan memang harus dari lagu itu, resensi buku ini di awali. Lagu yang terukir di dinding di dalam bunker pulau Paya Nie.

***

Novel Paya Nie mengambil latar dalam perang bangsa Aceh, melalui milisinya yang kemudian dinamakan GAM (baca: Gerakan Aceh Merdeka), melawan tentara negara induk (Indonesia) untuk memperjuangkan kemerdekaan. Penulis mengambil sudut pandang yang tidak biasa: dari diri empat orang perempuan pembuat tikar anyam binyeut. Ubiet, Mawa Aisyah, Cuda Aminah dan Kak Limah.

Penulis menjelaskan situasi perang di Aceh melalui cerita dan pengalaman keempat orang tersebut sebagai subjek hidup yang memiliki masa lalu, emosi, tragedi dan cinta. Melalui cara itu, pembaca dapat terbawa dan seolah-olah hidup di dalam cerita.

Cerita latar dari masing-masing tokoh menunjukkan bagaimana orang Aceh pada saat itu hidup. Budaya dan keyakinan yang kental mengiringi setiap konflik dan hidup masyarakat kampung Salamanga, kampung yang menjadi latar lokasi novel ini.

Penulis mencoba memperlihatkan bagaimana perempuan menjalani hidupnya di antara dua kondisi: patriarki dan perang. Kedua kondisi yang selalu memposisikan perempuan dalam situasi yang paling tidak menguntungkan. Dan, jangan salah, kedua kondisi tadi tidak selamanya berdiri sendiri. Di dalam novel ini, keduanya saling berkait kelindan.

Pembaca bisa membayangkan, bagaimana rasanya menjadi perempuan di dalam kondisi itu. Di satu sisi, budaya patriarki yang muncul dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun emosional, dibungkus dalam sajian tingkah-tingkah menyebalkan dari tokoh Mail yang juga sekaligus penjahat kelamin.

Di sisi lain, kondisi perang yang menyebabkan pemberlakuan jam malam, memunculkan kekhawatiran dan, secara otomatis, tuduhan yang bisa berubah menjadi ancaman nyata sewaktu-waktu: dituduh sebagai mata-mata dan anggota GAM. Alahai, pembaca. Dituduh mata-mata saat itu hanya berarti satu: Mati ditembak atau diperkosa!

Dalam cerita-cerita latar keempat tokoh, penulis seperti memberikan lukisan melalui deskripsi detail setiap kejadian. Dan sialnya, hal itu tidak saja dapat memberikan ilustrasi keindahan, tetapi juga malapetakanya.

Pembaca bisa membayangkan, dalam runutan cerita yang berawalan sederhana, dengan penjelasan latar situasi dan lokasi yang sangat mendetail, bisa berubah secara signifikan dalam tragedi-tragedi yang muncul setelahnya. Penulis membawa pembacanya untuk benar-benar menyaksikan apa yang terjadi saat itu.

Namun, disela-sela cerita kehidupan sehari-hari masyarakat Salamanga dan tragedi yang mengitarinya, penulis juga menyisipkan mitos dan legenda masyarakat Aceh. Contohnya soal Paya Nie. Nama rawa gambut sekaligus judul novel ini. Melalui penceritaan penulis yang menggunakan mitos lokal untuk memberikan latar dan konteks, yang juga tidak memisahkan secara putus dari cerita utamanya, memberikan nuansa tegang nan sakral. Benar-benar memosisikan pembaca di dalam cerita sebagai orang kampung Salamanga.

Contoh lainnya adalah Peurabon. Ilmu kuno yang dipercaya dapat membuat penggunanya menjadi tidak bisa dilihat. Berbeda memang dengan mitos Paya Nie, ilmu ini diceritakan oleh penulis dalam kaitannya dengan kelakuan Mail si penjahat kelamin. Tanpa perlu memberikan konteks tambahan, saya yakin pembaca bisa mengerti keterkaitan ilmu Peruabon dengan seorang penjahat kelamin, ya.

Yang satu itu memang agak susah saya lupakan. Bagi saya, kalau harus menyimpulkan perasaan yang timbul dari diri saya saat membaca novel ini, paling tidak ada dua: satu soal gambaran kehidupan kampung yang dekat dengan rawa, yang mana membawa semacam rasa nostalgic; dan, dua, perasaan muak dan marah terhadap cerita Mail. Bukan saja karena tingkah laku Mail, tetapi juga cerita yang seturut dengan itu dan melibatkan Mail di dalamnya.

Saya tidak akan membocorkan ceritanya di sini. Saya rasa pembaca mesti merasakan sendiri emosi yang muncul. Tetapi saya akan memberikan satu clue: Tentara. Satu clue itu dapat menjelaskan motivasi yang muncul dari latar cerita novel ini, yaitu perang antara GAM dan negara induk.

Dan berkaitan dengan itu juga, saya merasa penulis terlalu baik hati dan menahan diri. Entah untuk menghindari nuansa tendensius atau yang lain. Yang pasti, hal itu cukup mengganggu bagi saya setelah seluruh sajian cerita dan detail yang diberikan sebelumnya.

Penulis seperti mencoba untuk menyapu gambarannya sendiri tentang Tentara melalui satu tokoh bernama Eka Kurnia. Bagi saya, langkah ini justru terasa sebagai sebuah kompromi naratif yang sayangnya menggerus keganasan cerita yang telah dibangun dengan susah payah.

Akhirnya, biarkanlah pembaca sendiri yang menilai bagaimana luka dan harapan dirajut dalam kisah Paya Nie.

***

Wahé aneuek bek taduek lé
Beudöh saré tabila bansa
Bèk tatakot keu darah ilé
Adak pih maté poma ka rèla

// Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali
// Berdiri bersama pertahankan bangsa
// Jangan pernah takut walaupun darah harus mengalir
// Sekiranya engkau mati, ibu telah rela

Identitas Buku

Novel Paya Nie (sumber foto: Margin Kiri)
Novel Paya Nie (sumber foto: Margin Kiri)

Judul: Paya Nie
Penulis: Ida Fitri
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2024
Halaman: viii + 196 hlm

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here