Mengapa Kita Butuh Kritik Sastra Anak? (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)
Mengapa Kita Butuh Kritik Sastra Anak? (Ilustrasi: Anya @jepretajaaaa)

Perlu diakui, bahkan di ruang global kritik sastra anak (children’s literature criticism) tak pernah seramai kritik sastra dewasa. Akan tetapi, ia tumbuh kukuh sejak setidaknya dekade 1960-an seiring geliat kajian Childhood Studies. Nama-nama seperti Perry Nodelman, Smiljana Narančić Kovač, hingga Peter Hunt, menorehkan teori guna menafsir teks cerita anak sebagai medan negosiasi ideologi. 

Di Australia, Margaret Meek memelopori reading path, yang menekankan pentingnya literasi visual dalam sastra anak-anak, membantu anak-anak memahami dan menafsirkan gambar di samping teks. Bahkan Meek menyatakan cara anak-anak diajari membaca menunjukkan apa yang orang dewasa pikirkan tentang literasi.

Di Afrika Selatan ada Elwyn Jenkins yang menguji proses nation-building lewat dongeng. Karya Elwyn Jenkins meneliti peran dongeng dalam proses pembangunan bangsa di Afrika Selatan pasca-apartheid. Ini melibatkan penggunaan sastra untuk menumbuhkan kohesi sosial dan identitas nasional.

Tahun 1960‐an hingga 1970‐an, pakar seperti Aidan Chambers, Perry Nodelman, dan Jacqueline Rose meletakkan fondasi teoretik tentang narasi, ilustrasi, hingga relasi kuasa antara penulis dewasa dan pembaca muda. Jurnal akademik The Lion and the Unicorn (1977) menjadi medan debat.

- Poster Iklan -

Di luar kampus, resensi berseri di The Guardian, The New York Times, maupun Bookbird (terbit sejak 1963) berperan menyaring, menyigi, memancing percakapan publik. Jurnal Children’s Literature Association Quarterly dan Children’s Literature in Education lantas memberi panggung bagi riset antardisiplin, yang meliputi kajian gender, ekologi, hingga trauma.

Dua hal yang membuat eksistensi kritik sastra anak berkelanjutan ialah:

Kesadaran bahwa sastra anak bukan sekadar sarana hiburan atau instrumen moral, melainkan ruang artistik yang memerlukan perangkat analisis yang sama tegasnya dengan sastra umum.

Tradisi membaca kritis sudah ditanamkan di sekolah, melalui klab buku, pelatihan guru, hingga rubrik resensi yang digarap serius oleh media.

Adakah kita menebar dua benih itu di sini? Rasanya belum cukup banyak benih itu kita sebar.

Di Asia, Jepang memfasilitasi dan menyediakan Kodomo Bungaku no Hihyō (kritik sastra anak) dalam jurnal yang terbit triwulan sejak 1973. Korea Selatan punya majalah Munhakdongne Children, rubrik ulasan rutin, plus penghargaan kritik terbaik saban tahun. Bahkan di India, majalah Chakmak menyiapkan satu laman panjang khusus kritik tiap terbitan, yang ditulis bukan oleh akademisi melainkan remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang dimoderasi redaksi. Dunia, dengan kata lain, bergerak merawat dan menghidupi kritik sastra anak.

Bagaimana di Indonesia? dokumen yang bisa dilacak menunjukkan bahwa pada periode 1950-an: rubrik “Taman Kanak-kanak” di majalah Si Kuncung memuat surat-surat pembaca yang sebenarnya mengandung kritik. Pasca-2010: blog pribadi, kanal YouTube BookTuber, dan Instagram mendominasi, namun lebih bersifat rekomendasi belanja daripada kritik.

Data kecil itulah yang membuat saya menyimpulkan: “Tidak ada tradisi kritik sastra anak Indonesia yang ajek dan terdokumentasi.” Saya menambahkan, sekalipun ada upaya sporadis, seperti kuliah tamu, webinar, esai media, nyaris semuanya berhenti pada pujian moral dan pesan edukatif, sedikit yang menyentuh lapisan estetika atau wacana politik teks.

Noor H Dee dan kawan-kawan, baru-baru ini membuat zine rumahpohon, berisi ulasan seputar bacaan dan fiksi anak. Menarik karena berupaya mengkritisi ranah yang jarang disentuh, bahkan oleh para penulis dan pegiat cerita anak Indonesia. Namun saya tidak tahu, apakah zine ini masih eksis, karena saya membacanya di tahun 2022. Di luar itu ada nama Setyaningsih dan Bandung Mawardi yang rajin menulis kritik sastra anak yang kritis di majalah Basis, Jawa Pos, di Kitab Cerita (buku kumpulan esai tentang anak dan pustaka), dan di laman daring lainnya.

Pelajaran dari Jepang

Satu fakta kecil di Jepang, dokumen tentang sastra anak sudah rapi sejak akhir era Meiji. Arsip mencatat akahon, buku cerita bergambar bersampul merah, muncul akhir 1860-an; lalu chirimenbon, edisi “kertas krep” berbahasa Inggris; kemudian majalah Otogi Etoki Kodomo (1904) dan Yonen Gahō (1906). Bahkan antara 1911-1915, seri Nihon-ichi no Ebanashi menerbitkan 35 judul cerita ilustrasi “terbaik di Jepang”. Catatan seperti ini mudah diakses peneliti, kritikus, dan pengajar di sana.

Di Jepang, transisi akahon ke picture-magazine terekam jelas: perubahan teknik cetak, estetika, hingga orientasi pedagogis. Denah kronologis semacam itu memungkinkan pembaca hari ini memahami mengapa gambar lebih menonjol, teks sedikit, atau mengapa moralitas ditekankan. Sedangkan kita tidak punya denah seterang itu.

Tanpa kritik yang intensif memplot peta, sastra anak kita agaknya lahir sekarang lalu hilang sekarang (juga). Buku yang laris 2010 mungkin sudah tak tercatat kecuali di rak obral daring. Akibatnya, penulis baru bisa saja menulis tanpa kesadaran genealogis, resikonya: pengulangan gagasan.

Arsip Jepang memperlihatkan bagaimana Osaka dan Tokyo bersaing menerbitkan majalah anak awal abad ke-20. Dalam konteks Indonesia, perbedaan Jawa, Sumatra, Kalimantan, atau Indonesia timur hampir tak pernah dikaji, karena kritik tidak menyediakan ruang perbincangan lintas-wilayah.

Padahal pola sebaran naskah, ilustrator, hingga tema lokal dapat membuka diskusi soal akses dan kesetaraan. Tanpa kritik, buku anak cenderung terpusat di Jakarta; daerah lain hadir hanya sebagai latar eksotis, bukan produsen utama wacana.

Katalog Nihon-ichi no Ebanashi memungkinkan generasi kini membaca kembali topik 1910-an dan menilai relevansinya. Di sini, memori publik bergantung pada adaptasi film atau trending TikTok; begitu hype lewat, teks lenyap. Kritik mestinya bertindak sebagai “ingatan kolektif”, yang menuliskan konstelasi ide, estetika, dan resepsi. Tanpa itu, setiap diskusi dimulai dari nol, seperti anak sekolah yang saban minggu kehilangan buku catatan.

Perbandingan dengan arsip Jepang di atas bukan untuk mengundang inferioritas; ia sekadar menyoroti apa yang luput bila kritik diabaikan. Dokumen akahon bukan cuma daftar judul, melainkan jejak keterlibatan penerbit, illustrator, pembaca, dan kebijakan pendidikan. Ketiadaan kritik di Indonesia berarti hilangnya jejak-jejak semacam itu, sehingga setiap kali orang bertanya “sejak kapan picture book lokal memakai format landscape?” kita terdiam, lantas menebak-nebak dari memori samar. Bahkan tak punya rujukan sama sekali.

Apa yang Kita Punya?

Kita di Indonesia juga memiliki rentang sejarah bacaan anak, sebutlah Si Kuncung yang diterbitkan pertama kali tahun 1956. Lalu hadir Kawanku, Ananda, Bobo, Mentari hingga aneka komik dan cerita bergambar (cergam), tetapi dokumentasinya terpencar, lebih mirip potongan koran lama di rak lemari kolektor daripada arsip siap teliti. Bedanya bukan semata soal kelengkapan data, melainkan absennya kultur kritik yang menandai, menimbang, dan menyambung narasi satu periode ke periode berikutnya.

Dekade 1980‐an menghadirkan sastrawan seperti Djokolelono, Arswendo Atmowiloto, Dwianto Setyawan, Murti Bunanta yang bergelut di penulisan cerita dongeng untuk anak-anak. Akhir 1980-an jelang 1990-an muncul Hilman Hariwijaya untuk serial Lupus, Gola Gong.

Tahun 2000‐an memuncak melalui ledakan perempuan penulis: Clara Ng, Ary Nilandari, Dian Kristiani, Rae Sita Patappa, Renny Yaniar, Yovita Siswati, dan Watiek Ideo. Berikutnya ada Benny Rhamdani. Helvy Tiana Rosa, Ali Muakhir, Tasaro, Iwok Abqary. Lalu lahirlah novel anak misteri/horor seperti ditulis Rizal Iwan (Creepy Case Club). Cerita anak bergambar dwibahasa (Bahasa Indonesia dan daerah) mulai menghiasi rak-rak di toko buku, seperti yang diterbitkan oleh Lingkarantarnusa, seiring Balai dan Kantor Bahasa di Indonesia yang bergerak masal menerbitkan buku-buku berkonten lokal.

Namun, seberapa sering karya‐karya itu dikuliti? Kita punya selusin esai sporadis, resensi singkat di blog, atau tugas akhir mahasiswa, tapi belum tercipta dialog lintas disiplin yang konsisten. Pameran ilustrasi mungkin lebih kerap membicarakan teknik pewarnaan ketimbang detail semiotik. Sedangkan seminar membaca buku anak lebih condong ke “nilai moral” ketimbang substansi estetika. Hasilnya: medan kritik jadi lorong sunyi. 

Saya teringat pengalaman di ruang kelas. Ketika meminta mahasiswa menganalisis novel remaja, hanya sedikit yang berani mempersoalkan narasi patriarkis atau stereotip etnis di balik adegan yang disajikan. Lebih banyak yang berkata: “Buku ini seru!” atau “Bahasanya ringan.” Sebatas itu. Padahal kritik bukan perkara mencela, melainkan memeriksa, menilai, menimbang kadar kejujuran dan kecemerlangan karya. Tanpa latihan diskursus, kita terjebak pada kesan permukaan semata.

Kendati demikian, apa hakikat kritik? Ia bukan kegiatan memanjat podium lalu garang menuding. Kritik adalah dialog yang melibatkan penulis, teks, dan pembaca saling mengangsurkan pertanyaan. Kritik menelisik lapisan makna, memaklumkan karena ia menyatakan pada khalayak, memperluas perbincangan.

Robert Penn Warren (kritikus sastra dan penulis) memandang kritik sebagai “the whole business of making sense of literature.” Bagi sastra anak, “making sense” ialah upaya menyingkap cara buku bekerja di benak pembaca yang masih “cair”. 

Konsekuensi Absennya Kritik

Di Indonesia, penerbit menyetor banyak judul buku setiap bulan, picture book, novel remaja pendek, antologi puisi sederhana, atau komik edukatif. Toko buku memajang sampul‐sampul cerah tepat di depan kasir, bersama mainan tempel, stiker, alat tulis, dan botol minum.

Di sisi lain, rubrik resensi khusus sastra anak di media besar menyusut, seminar kritik nyaris nihil, jurnal ilmiah yang membahas teknik narasi, gaya, dan ideologi di balik buku anak hanya segelintir. Kritik, yang semestinya menjadi “rem tangan” sekaligus panel kontrol, justru lenyap dari dasbor kesusastraan. Apa akibatnya?

Pertama, dan paling terasa, adalah kaburnya standar kualitas. Tanpa kritik yang ketat, lapangan sastra anak berubah menjadi pasar malam, di mana teriakan paling lantang memenangkan perhatian pengunjung.

Kedua, ketiadaan kritik juga menyembunyikan bias representasi. Buku anak terlihat polos, tetapi di dalamnya kerap tertanam pilihan ideologis: siapa yang digambarkan pintar, siapa pendiam; kota mana tampak modern, desa mana yang masuk wilayah tertinggal; warna kulit mana diasosiasikan dengan keberanian; keluarga mana dianggap “normal”.

Dalam situasi ideal, kritik akan mengangkat bias tersebut ke permukaan agar penulis berikutnya lebih awas dan pembaca lebih reflektif. Tanpa kritik, bias beranak pinak dan diterima sebagai kebenaran, cerita biasa, dinormalisasi, lalu diputar ulang oleh penerbit, diulang di kelas, tertanam dalam memori anak.

Akibat ketiga ialah penipisan arsip pengetahuan. Dunia sastra dewasa Indonesia memiliki rak “Kajian Pramoedya Ananta Toer” atau “Kritik puisi 1970‐an” misalnya, yang dapat ditelusuri mahasiswa atau peneliti sastra dengan mudah. Sastra anak hampir nihil katalog serupa. Di perpustakaan besar, koleksi analitis tentang buku anak biasanya bercampur dengan panduan pengajaran bahasa.

Ketiadaan kritik berarti minimnya catatan kontekstual: kapan metafora lokal mulai surut, bagaimana tempo penceritaan berubah setelah maraknya webtoon, mengapa ilustrasi digital menggusur cat air. Tanpa data longitudinal, riset berikutnya sulit menakar perkembangan, dan penulis berikutnya minim pijakan historis, serta referensi yang memadai.

Keempat, ekosistem penghargaan menjadi gamang. Tanpa kehadiran kritikus literer, proses kurasi sering bergeser dari analisis estetik ke kriteria pedagogis “aman dan ramah anak”. Hasilnya: buku yang memuat wacana riskan (misal, perceraian atau kemiskinan) cenderung gugur lebih awal, padahal tema semacam itu justru memperkaya kompleksitas bacaan. Jika tradisi kritik hidup, juri dapat membela karya berani dengan argumen tekstual; tanpa kritik, keputusan merapat ke zona nyaman. Ini jelas menjemukan.

Kelima, profesi “kritikus sastra anak” makin tidak terbentuk. Di ranah dewasa, reputasi kritikus di media daring memberi insentif simbolik, undangan diskusi, kontrak esai cetak, atau residensi penulis. Di sektor sastra anak, lantaran ruang publikasi terbatas, calon kritikus kehilangan alasan untuk menekuni bidang ini. Efek domino muncul: sedikit penulis kritik berarti sedikit mentor; sedikit mentor berarti sedikit talenta baru. Rantai profesi putus sebelum terbentuk.

Persoalan keenam menyentuh pendidikan tinggi. Mahasiswa sastra atau Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia jarang memperoleh mata kuliah analisis teks anak. Dosen pun kesulitan mencari referensi dalam negeri. Akibatnya, skripsi tentang sastra anak cenderung sekadar membuktikan “nilai moral positif” atau “kesesuaian kurikulum”, bukan eksperimen teori naratif atau ekokritik, misalnya. Lingkaran kembali ke muara: tanpa kritik, universitas tak meneliti; tanpa riset, kritik tak akan pernah lahir.

Ketujuh, minim kritik mengurangi daya tawar sastra anak di ruang kebijakan. Ketika pemerintah menyusun program literasi sekolah, data yang tersedia hanyalah angka, berapa buku terdistribusi, berapa perpustakaan dibangun, berapa buku hasil sayembara penulisan yang sudah terpublikasi dan dipajang di laman resmi pemerintah.

Angka tidak bicara mengenai mutu, representasi, dan relevansi sosial. Kritik seharusnya menyediakan argumen kualitatif: mengapa cerpen tentang migrasi penting untuk anak pesisir, atau bagaimana buku bergambar dapat mendukung kesehatan mental. Tanpa itu, sastra anak ditempatkan sebagai objek subsidi, bukan wacana budaya strategis diketengahkan dan jadi konsumsi bersama di ruang publik.

Terakhir, heningnya kritik melemahkan percakapan keluarga tentang membaca. Orang tua butuh panduan: buku mana yang menantang, buku mana yang klise, atau buku mana yang menawarkan perspektif baru. Tidak semua orang tua punya waktu menelusuri ratusan judul.

Di negara lain, kolom “children’s books” di koran besar memenuhi kebutuhan tersebut. Di sini, ruang itu hilang, sehingga pilihan bacaan keluarga dipengaruhi algoritma perdagangan elektronik (e‐commerce): siapa yang membayar iklan lebih besar, ia mendominasi linimasa. Orang tua, guru, dan anak, bahkan pustakawan sekolah, akhirnya mengenal literasi sebagai cabang pemasaran, bukan petualangan estetik.

Tujuh, delapan, sembilan persoalan bisa terus didaftar dipanjangkan, tetapi sampai di titik ini, pola dasarnya tampak jelas: ketiadaan kritik sastra anak bukan sekadar soal “tak ada ulasan di surat kabar, majalah, atau jurnal-jurnal ilmiah”; ia berimplikasi sistemik, mengaburkan mutu, menormalisasi bias, menipiskan arsip, menghambat riset, dan melemahkan pilihan publik. Jika dibiarkan, kita berisiko membangun tradisi baca yang dangkal: rak penuh buku warna‐warni, tapi wacana kosong.

Kita mungkin mengira anak‐anak baik‐baik saja, mereka tertawa saat membaca komik, mereka mengisi jurnal literasi di sekolah. Namun tanpa suara kritis yang menanyakan “apa isi buku itu?”, “mengapa gambar diilustrasikan seperti ini?”, “ke mana cerita menuntun imajinasi?”, proses literasi berakhir di permukaan. Dan permukaan, betapapun gemerlap, tidak pernah cukup menumbuhkan akar. Bagaimana bisa pohon tumbuh tanpa akar?

Tanpa kritik, pasar mungkin tetap ramai, lomba tetap digelar, dan rak toko tetap berwarna-warni oleh kehadiran buku anak-anak. Namun di balik gegap gempita, sastra anak berjalan tanpa lampu penunjuk: Sejarah terputus; Dialog lintas-wilayah macet; Memori kolektif tumpul.

Ketiadaan kritik sastra anak bukan sekadar kekosongan rubrik, melainkan kevakuman wacana yang membiarkan stereotip bersemayam, ideologi dominan mengakar, dan imajinasi belia dibentuk pasar tanpa penawar, apalagi wacana tanding. Membangun kritik berarti menegakkan cermin di hadapan karya, memperlihatkan struktur kuasa, merayakan keberagaman, serta menajamkan kepekaan estetika.

Jika literasi diyakini sebagai fondasi peradaban, maka kritik sastra anak adalah tiang penyangganya. Tanpanya, sastra anak berisiko hanyut sebagai arus hiburan tanpa daya gugah, alih-alih menjadi wahana transformatif yang menuntun generasi mendatang memahami dirinya, sesamanya, apalagi dunianya.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here