Pernahkah mendengar obrolan di meja café seperti ini: “Bro, kapan daftar CPNS?” atau “Cari kerja tuh yang aman, di kantor, gajinya tetap.” Dulu, jalur karier macam itu memang idaman. Bekerja kantoran atau menjadi pegawai negeri ibaratnya tiket emas menuju kehidupan yang “aman dan terjamin”.
Tapi, kita coba lihat sekarang. Kian banyak anak muda Indonesia yang sepertinya menimpali, “Makasih, tapi nggak dulu.” Mereka ogah terkungkung dalam struktur kaku dan peran yang itu-itu saja. Sebaliknya, mereka nekat ‘membabat alas’, membuat jalan sendiri sebagai freelancer, content creator, owner bisnis online, atau keliling dunia sebagai digital nomad.
Fenomena ini, jika ditinjau dari perspektif seorang filsuf Prancis berkacamata tebal bernama Jean-Paul Sartre, bukan sekadar tren, tapi sebuah pernyataan eksistensial. Tanpa sadar, para content creator dan freelancer ini sedang mempraktikkan filosofi Sartre: mereka menciptakan “diri mereka” lewat pilihan dan karya sehari-hari, bukan pasrah pada pilihan mainstream yang sudah tersedia.
Sartre memiliki satu mantra: “eksistensi mendahului esensi.” Bingung? Gampangnya begini. Bayangkan sebuah pisau. Sebelum dibuat, si pembuat sudah tahu esensinya: untuk memotong. Pisau diciptakan dengan tujuan yang jelas.
Nah, kata Sartre, manusia itu kebalikannya. Kita “dilempar” ke dunia begitu saja (eksistensi), tanpa ada buku manual, tanpa ada default setting atau tujuan yang terpasang dari pabrik. Kita ada dulu, baru setelah itu kita sendiri yang pusing-pusing menentukan kita ini hendak jadi apa (esensi). Tidak ada yang namanya “bawaan manusia” yang baku. Kita bebas mau jadi apa saja, dan esensi terbentuk dari setiap pilihan dan keputusan yang diambil.
Anak muda yang memilih jadi freelance graphic designer alih-alih ikut management trainee sedang melakukan ini. Dia tidak menerima “esensi” sebagai “pegawai/karyawan”, tapi ingin menciptakan esensinya sendiri sebagai “kreator independen”.
Sartre juga menyatakan, “manusia dikutuk untuk bebas.” Mungkin kedengarannya menyeramkan (atau bahkan tragis?). Namun, sebenarnya maksud dari pernyataan ini sungguh mendalam. Ini berarti bahwa, tidak seperti benda mati atau hewan yang hidup berdasarkan insting, kita sebagai manusia tidak memiliki ‘skrip’ atau panduan hidup yang sudah jadi sejak lahir. Kita tidak diciptakan dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan eksternal.
Karena ketiadaan ‘skrip’ inilah, kita ‘wajib’ memilih. Setiap detik dalam hidup kita adalah serangkaian pilihan. Mulai dari pilihan untuk bangun dari tempat tidur, apa yang akan kita makan, hingga keputusan tentang karier tertentu. Bahkan, pilihan untuk berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa pun, itu sejatinya juga pilihan. Kita tidak dapat menghindar dari keharusan untuk memilih ini. Tiada jalan untuk kabur dari kebebasan, sebuah kondisi eksistensial yang melekat pada keberadaan kita sebagai manusia.
Kebebasan ini mirip seperti saat kita membuka aplikasi ojek online dan dihadapkan pada ratusan menu makanan. Bebas sih, tapi pusingnya itu lho! “Kutukan” ini adalah tanggung jawab raksasa yang datang bersama kebebasan. Setiap pilihan—mulai dari memilih proyek, menentukan tarif, hingga memutuskan mau kerja dari kafe mana hari ini—turut membentuk siapa diri kita.
Lebih berat lagi, Sartre bilang setiap pilihan kita seakan menjadi standar bagi seluruh umat manusia. Saat kita memilih menjadi podcaster yang berintegritas, kita seolah berkata pada dunia, “Beginilah cara seorang manusia seharusnya hidup!” Tanggung jawab inilah yang mungkin juga membuat kita cemas.
Para wirausahawan kreatif dan digital nomad di Indonesia adalah potret nyata dari pergulatan ini. Mereka merangkul kebebasan radikalnya, bergelut dengan tanggung jawab untuk “menciptakan diri sendiri”, dan pastinya sering merasakan cemas dan galau di tengah jalan. Mereka adalah para eksistensialis di zaman ‘now’.
Jadi, lain kali jika kita melihat seorang teman pusing tujuh keliling mencari klien atau puyeng memikirkan ide konten, jangan hanya melihatnya sebagai “kerja serabutan”. Lihat sajalah dia sebagai seorang pahlawan eksistensial yang berani menulis kisahnya sendiri, kata demi kata, pilihan demi pilihan. Dan jika kamu sendiri sedang berada di jalur itu, ingat kata Sartre: kamu sedang menjalankan tugas paling fundamental sebagai manusia—menjadi bebas dan menciptakan makna.