Setiap masuk bulan Suro, orang-orang di kampung saya mulai berubah. Bukan berubah jadi werewolf atau tokoh wayang, tapi berubah menjadi sesosok yang lebih kalem, lebih hati-hati,
dan sedikit lebih rajin ngaji. Bahkan yang biasanya doanya pendek, di bulan Suro doanya bisa panjang kayak benang kusut. Ya, beginilah cara masyarakat Jawa menyambut bulan yang
katanya angker dan mistis tapi sebenarnya penuh makna.

Bagi sebagian orang, Suro itu bulan “jangan nikah”, “jangan keluar malam”, “jangan ada euforia” atau “jangan macam-macam”. Tapi kalau ditilik lebih dalam, Suro bukan soal
pantangan, tapi soal perenungan. Orang Jawa itu pinter, mereka tahu bahwa hidup butuh jeda. Dan Suro adalah jeda, momen buat tarik napas, nunduk sebentar sambil mikir: “Aku hidup
udah bener belum, ya?”.

Tradisi Suronan di masyarakat Jawa memang punya banyak versi. Ada yang gelar kirab pusaka, ada yang ikut tapa bisu, makan bubur suro, ada juga yang lebih suka merayakannya
dengan berdoa bersama dan memberi santunan kepada anak-anak yatim. Saya ingat betul, waktu kecil ikut duduk di teras mushola, melihat deretan anak-anak yang dipanggil satu per
satu untuk menerima amplop. Bukan jumlahnya yang membuat saya terenyuh, tapi cara mereka menerimanya. Dengan senyum malu-malu, dan mata yang menatap penuh harap.

Santunan anak yatim di bulan Suro bukan sekadar rutinitas. Ia adalah bentuk kecil dari solidaritas sosial yang makin hari makin langka. Di tengah masyarakat yang kadang terlalu sibuk membandingkan pencapaian, tradisi ini mengajarkan kita untuk berbagi tanpa pamrih, tanpa perlu bikin konten, tanpa harus menunggu viral. Lucunya, tradisi ini sering dianggap "biasa saja" oleh sebagian orang. Padahal justru di sinilah letak istimewanya. Ia tak ribut tapi menggerakkan, tak viral tapi menyentuh.

- Poster Iklan -

Di kampung saya, tradisi santunan anak yatim di tanggal 10 Suro juga dibarengi dengan bikin bubur Suro. Kalau kamu belum pernah coba, bubur ini bukan sembarang bubur. Warnanya
putih, rasanya gurih, dan yang paling penting kita bisa saling tukar bubur yang kita buat. Biasanya tiap rumah bikin bubur Suro versi mereka sendiri, lalu dibawa ke mushola setelah maghrib. Tiap rumah bikin lima porsi bubur Suro, dikemas cantik pakai cup atau wadah yang dibuat sendiri dari daun pisang yang dibentuk seperti mangkuk. Setelah santunan anak yatim, bubur-bubur itu dibagikan, ditukar antar warga, dan dinikmati bersama keluarga di rumah. Rasanya beda-beda tapi penuh makna, tanda syukur, doa keselamatan, dan niat baik untuk berbagi rezeki.

Saya selalu suka momen ini, ada rasa hangat yang nggak bisa ditiru sama konten viral mana pun. Bayangkan, satu malam, satu mushola kecil, puluhan bubur Suro dengan rasa dan rupa
berbeda, datang dari hati yang ingin berbagi. Tanpa disuruh, tanpa kompetisi dan tanpa embel-embel lomba. Yang dapat santunan pulang bawa amplop dan bubur, yang datang bawa
bubur pulang bawa rasa tenang. Karena di bulan yang katanya penuh larangan ini, kita justru belajar satu hal penting yaitu berbagi nggak harus nunggu kaya tapi cukup nunggu niat.

Tahun demi tahun, tradisi ini tetap hidup. Anak-anak yang dulu menerima amplop, kini menjadi bagian dari yang menyiapkan bubur dan ikut membagikan. Orang-orang yang dulu cuma datang untuk menyaksikan, kini hadir untuk berpartisipasi. Tradisi ini tumbuh bersama waktu, menyatu dengan perubahan, tapi tetap menjaga ruhnya, ketulusan.

Barangkali, yang kita butuhkan bukan sekadar melestarikan tradisi, tapi menghidupkan kembali makna di baliknya. Karena Suronan bukan tentang mistis. Ia tentang menyucikan. Dan santunan bukan soal sedekah tahunan, tapi latihan empati yang seharusnya terus dirawat. Suronan adalah pengingat bahwa kita pernah punya budaya yang mengajarkan diam, bukan hanya bicara. Memberi, bukan hanya menuntut. Dan hadir, bukan sekadar eksis.

Yuk, kita lestarikan tradisi lokal yang diam-diam mengajarkan banyak hal ini. Karena kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Jangan sampai ia perlahan hilang, tergantikan oleh budaya instan yang hanya merayakan apa yang tampak. Padahal, yang tak tampak seringkali lebih dalam, lebih menyentuh, lebih membekas. Dan barangkali dalam semangkuk bubur sederhana itu, Tuhan menyisipkan pelajaran bahwa rezeki yang kita bagi tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya sedang berjalan, mencari jalan pulang lewat hati-hati yang diam-diam belajar memberi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here