“The day you plant the seed is not the day you eat the fruit” (hari di mana kamu menanam benih bukanlah hari di mana kamu memakan buahnya). Begitu motto seorang ‘Waiwalu’ memulai misinya membangun Teras Baca Waiwalu untuk anak-anak di Cawalo, Palue, Kabupaten Sikka, Flores-Nusa Tenggara Timur.

Kota Maumere baru saja dilanda hujan. Bau hujan masih tercium di jalan-jalan meninggalkan becek juga bekas kaki para pejalan. Minggu, 1 Juni sore, Gramedia Maumere tampak sepi tidak seperti biasa. Satu dua orang datang sekadar melihat-lihat koleksi buku juga membeli buku di sana. Seorang gadis, cantik dan bermasker ada juga di sana. Dia adalah Yohana Silvanic Sina. Ia biasa disapa Iin. Dari depan pintu gramedia, saya menangkap keramahannya. Saya menyapa, dia tersenyum takzim. Ia baru saja membeli beberapa buku cerita anak untuk Teras Baca Waiwalu (selanjutnya TBW). Gadis cantik kelahiran Saba, 6 Maret 1999 itu tampak semangat. Gerimis yang mulai jatuh kembali tidak menyurutkan semangatnya untuk mulai berbagi cerita tentang perjuangannya bersama anak-anak di TBW untuk membumikan literasi. Saya datang membawa satu dos buku untuk didonasikan kepada TBW. Untuk alasan ini juga, saya ingin mencaritahu lebih banyak tentang TBW. Di depan Gramedia Mauemere kami bercerita dan mengabaikan gerimis juga suara kendaraan yang lalu-lalang di depan sana.

Bermula dari Keresahan dan Ingin Berdampak bagi Sesama

Iin memulai cerita dengan memberikan semacam afirmasi penting tentang literasi yang membuat saya terpukau. “Bagi saya, literasi dasar membaca dan menulis menjadi fondasi penting bagi anak-anak untuk berhasil dalam belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Hal ini dapat dimulai dari menumbuhkan minat baca dengan menghadirkan ruang baca seperti perpustakaan sekolah ataupun taman bacaan masyarakat yang ramah anak. Di TBW, saya memulainya dengan semangat ini agar anak-anak terpapar dan ketagihan untuk membaca.” Tegas perempuan yang punya hobby membaca sejak kecil ini.

- Poster Iklan -

Awalnya, ada semacam keresahan dengan problem literasi terlebih di Palue dan ingin menjadi pribadi yang berdampak untuk sesama. Palue pada umumnya pasca letusan gunung Rokatenda tahun 2013, literasi benar-benar berantakkan. Fasilitas dan buku-buku juga sangat minim ditemukan. Bahkan di sekolah-sekolah dasar, sulit untuk menemukan buku-buku yang bermutu untuk menjadi bahan bacaan bagi anak-anak. Ia terpanggil untuk mendirikan sebuah ruang baca sederhana di kampungnya, Cawalo, Desa Rokirole, Kecamatan Palue. Ruang baca itu diberi nama Teras Baca Waiwalu. Secara harafiah Waiwalu punya arti ‘masyarakat biasa’. Pemilihan nama TBW berangkat dari pengelola taman baca ini yang adalah seorang masyarakat biasa di kampungnya.

Bagi Iin Sina, motivasi awal mendirikan TBW semata-mata hanya ingin anak-anak di Palue terpapar dengan buku dan lebih akrab dengan literasi apalagi di dunia digital sekarang ketika orang sibuk dengan gadget dan mengesampingkan kegiatan membaca. Keberadaan TBW semacam oase di padang gurun manakala anak-anak kampung di pelosok Palue merasa kehausan akan ilmu pengetahuan secara khusus dalam menjangkau buku-buku bacaan.

TBW: Ruang Aman dan Menyenangkan untuk Bermimpi

TBW berada di pelosok Palue, di tengah kesunyian yang masih jauh dari hingar-bingar kemajuan dan kebisingan pembangunan dari pemerintah. Di sana berdiri kokoh sebuah ruang kecil yang menjelma menjadi jendela dunia bagi anak-anak kampung. Aktivitas di TBW setiap hari dijalankan, untuk kegiatan membaca selalu berganti tempat, sesuai keinginan anak-anak. Di lapangan, di rumah, atau di tedang (tenda) sederhana. Beberapa orang membantu mendistribusikan buku-buku. Sebagian besar pembaca adalah anak-anak SD dan SMP. Siswa SMA hanya sebagian kecil saja.

Koleksi buku-buku di TBW beragam, mulai dari dongeng anak-anak, buku pelajaran SD-SMP, komik hingga buku novel remaja. Tersedia juga buku-buku self empowerment bagi usia dewasa. Buku-buku ini didapatkan dari beragam sumber yakni, Penerbit Rabbit Hole, Gramedia, Komunitas donasi buku online, dan juga dari teman-teman donator lainnya. TBW juga mulai bekerja sama dengan sekolah-sekolah di Palue. “Saya kadang merasa terharu, ada beberapa guru yang merekomendasikan kepada siswa-siswi untuk meminjam buku di TBW mengingat minimnya stok buku di sekolah-sekolah. Saya mempersilahkan mereka untuk meminjam,” cerita alumni SMAK Frateran Maumere itu dengan mata berbinar-binar.

Respon masyarakat sangat positif dan antusias dengan keberadaan TBW. Dalam waktu singkat, TBW membawa perubahan kecil yang berarti. Anak-anak yang sebelumnya lebih banyak bermain tanpa arah kini mulai terbiasa membaca buku dan berdiskusi. Lebih dari sekadar tempat membaca, TBW menjadi ruang aman dan menyenangkan bagi anak-anak untuk belajar dan bermimpi. “Kadang di tengah-tengah kesibukan, saya yang harus pergi-pulang dari Palue ke Maumere, masyarakat kadang bertanya jika aktivitas membaca anak-anak semacam mengalami kemunduran lantaran saya tidak ada di Palue. Bahkan sampai pada titik orang tua datang untuk meminjam buku di TBW agar anak-anak bisa baca di rumah,” cerita Iin penuh antusias.

Habitus Membaca

Iin merasa sangat bahagia dengan keberadaan TBW itu sendiri. Alumni Universitas Respati Yogyakarta itu mengisahkan bahwa, anak-anak pada umumnya mulai semangat dan candu untuk membaca buku. Bahkan selepas pulang sekolah, mereka tidak langsung ke rumah tetapi singgah di TBW untuk membaca buku-buku yang ada disana hingga sore hari. Di TBW ternyata bukan hanya membaca saja tetapi ada beberapa kegiatan yang dibuat yakni, ada permainan, bernyanyi bersama, menonton film edukasi, belajar bahasa inggris tingkat dasar, dan saling cerita isi buku yang sudah dibaca. Semenjak TBW didirikan, ada banyak pengalaman yang sangat berkesan yang Iin temukan. Salah satunya adalah ketika melihat reaksi anak-anak yang sedang membaca dan berhasil diabadikan dalam foto. Iin mengaku sangat terharu bagaimana anak-anak di TBW begitu akrab dengan buku; ada yang dahinya mengkerut, marah, senyam-senyum sendiri, tanpa ekspresi, menangis. Itu semua adalah tanda bahwa mereka sungguh-sungguh menyelami isi buku, benar-benar tenggelam dalam lautan cerita-cerita.

Melihat jalannya TBW yang masih tertatih-tatih sejak berdirinya pada awal 2024 lalu, ahli Epidemiolog muda itu menaruh harapan agar TBW panjang umur, selalu eksis, dan semoga semangat membaca anak-anak tetap konsisten dan mulai pintar untuk memilih genre yang disuka dari buku-buku yang ada di TBW. “Saya juga punya harapan besar untuk membuat semacam perpustakaan berjalan, sehingga TBW tidak hanya ada di Palue tetapi dimana saya bekerja, disitu juga ada teras baca, saya akan tetap menghidupi teras baca untuk menjadi wadah bagi anak-anak untuk lebih dekat dengan dunia buku. Saya juga ingin anak-anak di TBW terpapar dengan Bahasa Inggris. TBW dan Bahasa Inggris adalah satu-kesatuan yang saling bertalian.” Harap penyuka karya-karya Paulo Coelho itu.

Saat menyinggung tentang habitus membaca, perempuan yang suka bermain musik ini begitu antusias untuk bercerita. Bagi Iin membaca itu amat sangat penting. Ia menganalogikan kalau aktivitas membaca dan menulis itu semacam bernafas dan menghembuskan nafas. Membaca juga membuat Iin mempunyai banyak pilihan hidup dan kehidupan yang dijalani lebih berorientasi sehingga tidak dijalankan begitu-begitu saja tetapi meninggalkan tapak-tapak makna juga membuatnya bisa menganalisis setiap keputusan-keputusan yang diambil.

Dalam mengolah TBW, Iin Sina juga temukan tantangan. Salah satu tantangan yakni kesulitan finansial untuk ongkos kirim buku. Untuk memenuhi hal ini, kadang perempuan manis yang sesekali menjadi bookstagram itu harus menjemur dan menjual kopra agar bisa mendapat uang demi mendatangkan buku-buku untuk kebutuhan anak-anak di TBW.

 

Manajemen Waktu

Perihal manajemen waktu untuk mengatur kegiatan di TBW dan kesibukan pribadi, Iin Sina mengaku selama ini ia sangat terbantu dengan kebiasaan baiknya yang selalu journaling untuk setiap kegiatan yang akan dijalankan sehingga setiap detail kegiatan benar-benar dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan tentunya terus berjuang untuk konsisten. Meski berprofesi di bidang kesehatan, Iin Sina tak pernah lepas dari kecintaannya pada dunia literasi. Di waktu senggang, ia masih gemar merajut, membaca, dan bermain musik_ hobi yang memperkaya jiwanya dan mendekatkannya pada dunia anak-anak.

Kepada orang-orang muda yang bergerak dalam bidang dan komunitasnya masing-masing, Iin berpesan agar bisa memberikan dampak yang positif bagi sesama dan sebisa mungkin untuk tetap membaca. Untuk masyarakat luas juga bisa memberikan kontribusi kepada TBW dengan mendukung setiap kegiatan TBW dan mendonasikan buku-buku yang dibutuhkan di TBW karena sejauh ini stok buku-buku di TBW masih terbatas sementara anak-anak punya semangat untuk membaca apalagi di pelosok Palue yang cukup susah untuk dijangkau. Kontribusi masyarakat luas bisa langsung ke akun instagram @terasbacawaiwalu atau @sina niko.

Tentang keberlanjutan TBW kedepannya, Iin sangat optimis bahwa apa yang diimulainya dengan jerih-lelah pasti akan memperoleh hasil yang memuaskan. “Seperti motto awal dibentuknya TBW ‘hari dimana kamu menanam benih bukanlah hari dimana kamu memakan buahnya’, benih semangat untuk membumikan literasi yang ditanam di TBW hari ini diharapkan berbuah kelak, karena pada akhirnya apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. Dan saya percaya TBW akan tetap eksis,” komentar penyuka lagu-lagu Taylor Swift itu dengan nada semangat.

Tidak terasa, kami menghabiskan sepersekian jam untuk membagi cerita. Hujan mulai menderas sore itu seperti derasnya semangat anak-anak di Teras Baca Waiwalu untuk terus menghidupi literasi sementara dari dalam Gramedia suara serak Nidji masih mengalun lewat lagu ‘Laskar Pelangi’.

(Rikard Diku, menulis karya jurnalistik, cerita, dan puisi. Ia bisa dijumpai via Instagram @rikard_diku).

(Yohana Silvanic Sina, Pendiri Teras Baca Waiwalu)

(Anak-anak di Teras Baca Waiwalu sedang menonton Film Edukasi dan belajar Bahasa Inggris)

(Anak-anak di Teras Baca Waiwalu sedang membaca di sebuah tedang sederhana)

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here