Prolog: Yang Tak Bisa Ditebus Waktu
Mereka berkata, jika kau cukup diam dan menempelkan telinga ke tanah yang dingin di utara lembah tua, kau akan mendengar gema yang bukan berasal dari dunia ini. Bukan suara burung malam, bukan desir angin atau gemuruh sungai, melainkan sesuatu yang lebih tua—lebih berat. Suara dari masa yang telah berlalu.
Di sanalah Alexandria berdiri.
Atau dulu, pernah berdiri.
Kerajaan yang tak mengenal kalah. Yang temboknya dibangun dari batu hitam dan darah musuh. Yang panjinya membuat langit meredup dan hatimu kehilangan nyali bahkan sebelum pertempuran dimulai. Para penulis puisi menyanjungnya. Para raja menjauhinya. Dan para penyair kini… hanya bisa berbisik:
“Alexandria”.
Kebesaran yang terlampau tinggi hingga langit pun lelah menopangnya. Kekuasaan yang terlalu pekat hingga sejarah sendiri enggan menyimpannya dalam terang.
Kini, tak ada yang tahu pasti apakah istana obsidiannya benar-benar pernah ada, atau apakah nama Raja Vaelion hanya mitos yang dikisahkan pengelana tua untuk menakuti anak-anak.
Tapi tanah ini masih mengingat.
Dan angin masih menyimpan cerita.
Tentang sebuah kerajaan…
yang tinggal nama.
***
Alexandria, dalam masa kejayaannya, adalah jantung dunia. Tak ada peta yang lengkap tanpa namanya. Tak ada raja yang berani naik takhta tanpa mengirimkan utusan untuk meminta pengakuan dari Kaisar Vaelion—penguasa ketujuh belas, pembangun menara perak, pewaris darah hitam dari Leluhur Timur.
Bersama para Jenderal Bayangan dan para Pendeta Sinar Terakhir, Vaelion mengatur dunia dari singgasananya yang tinggi. Ia memegang kitab-kitab tua yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang darahnya pernah dibakar api azimat. Di tangannya, sihir adalah hukum, dan hukum adalah kehendaknya.
Namun segala hal yang terlalu tinggi, lambat laun akan patah oleh bobotnya sendiri.
Rakyat Alexandria mulai melihat retak yang halus. Pada awalnya hanya jalan-jalan yang tak diperbaiki, ladang yang dibiarkan kering. Lalu giliran senyuman para penjaga yang berubah menjadi cemas. Dan akhirnya, suara-suara yang dulu berbisik di pojok kota mulai berbicara lantang.
“Kerajaan ini terlalu besar,” kata mereka.
“Dan apa yang terlalu besar akan menelan dirinya sendiri.”
Raja Vaelion, semakin tua dan kaku, memilih mengasingkan diri dalam Menara Sembilan Jendela. Ia hanya ditemani para peramal yang sudah kehilangan penglihatan demi membaca naskah masa depan. Hanya sedikit yang tahu bahwa di balik kejayaannya, raja menyimpan ketakutan yang tak bisa ia katakan bahkan pada bayangannya sendiri: bahwa ia akan menjadi yang terakhir.
Pangeran Elad melihat tanda-tandanya lebih awal. Ia mengunjungi pinggiran, menyamar sebagai rakyat jelata. Ia melihat anak-anak bermain di lumpur, dan para ibu menyembunyikan nasi dari pajak. Ia tahu, Alexandria tidak dibenci, tapi juga tidak dicintai. Ia… ditakuti. Dan ketakutan tak pernah bertahan lama.
Dalam perjalanannya ke barat, Elad mendengar tentang seorang perempuan tua bernama Irlana. Ia tinggal di perbatasan kabut, mengumpulkan pengungsi dan pecundang perang, membangun sebuah aliansi tanpa nama. Mereka tidak menggunakan panji. Tidak mengaku sebagai kerajaan. Tapi di antara mereka beredar simbol: cakar hitam dalam lingkaran putih. Bagi mereka yang tahu sejarah, itu lambang keluarga yang dibantai oleh pasukan Alexandria tiga dekade lalu.
Maka, ketika Elad kembali dan memperingatkan ayahnya, Vaelion hanya tersenyum pahit. “Setiap kejayaan memiliki bayangannya sendiri. Tak ada gunanya memperingatkanku tentang malam, anakku. Aku yang menciptakannya.”
***
Kekalahan pertama bukan dalam medan perang, tapi dalam keyakinan.
Pasukan Alexandria yang dulu pulang dengan kepala musuh tergantung di tombak, kini pulang tanpa sorak, hanya dengan kabar: kota itu hilang. Bukan direbut, bukan dibakar, tapi menghilang. Tanpa jejak. Tanpa bangkai. Tanpa panji.
“Kita sedang dilenyapkan dari sejarah,” kata Jenderal Tavros, satu-satunya yang masih setia.
“Mereka tidak ingin menang, mereka ingin membuat kita seolah tak pernah ada.”
Vaelion memandangi kota dari jendela tertinggi. Ia tahu apa yang dimaksud Tavros. Ini bukan sekadar perang. Ini adalah upacara penghapusan. Dan tak ada sihir di dunia yang bisa melawan lupa.
Ia memanggil para pendeta untuk mencari dalam kitab kuno—tidak untuk kemenangan, tapi untuk cara mengakhiri segalanya dengan kehormatan. Ia tidak ingin kerajaannya jatuh. Ia ingin menguburnya sendiri.
Tapi waktu, seperti musuh yang paling sabar, telah lebih dulu datang.
***
Pada fajar yang dingin, tanpa seremoni, tanpa suara genderang, Raja Vaelion lenyap dari kamarnya.
Hanya satu jejak yang tertinggal: lingkaran darah kecil di lantai marmer putih, dan mahkota yang diletakkan di atas bantal hitam. Tak ada yang tahu apakah ia dibunuh, menghilang dalam sihir, atau mengakhiri hidupnya sendiri dalam ritus kuno. Tapi satu hal pasti: Alexandria kini tak punya raja.
Dan dalam kekosongan itulah, gerbang kehancuran benar-benar terbuka.
Aliansi Irlana menyerbu dari tiga penjuru. Mereka tidak membakar, tidak menjarah. Mereka hanya menghapus. Perpustakaan dilemparkan ke jurang. Monumen dijatuhkan dan dihancurkan jadi abu. Nama-nama digores dari dinding. Lagu-lagu dilarang dinyanyikan. Mereka seperti bayangan yang datang bukan untuk merenggut nyawa, tapi untuk memadamkan ingatan.
Elad, dalam keputusasaan dan cinta yang tak bisa dijelaskan pada siapa pun, berdiri di tangga utama istana, membawa mahkota ayahnya.
“Dulu kami ingin dikenang sebagai abadi. Tapi keabadian adalah beban. Hari ini, kami memilih untuk berakhir.”
Dan ia menghancurkan mahkota itu dengan pukulan palu. Tindakan yang menggema lebih keras dari seribu perang.
***
Bertahun-tahun berlalu.
Hutan tumbuh menelan reruntuhan. Jalan-jalan batu dililit akar dan lumut. Tidak ada satu pun peta yang mencantumkan nama Alexandria lagi. Di sekolah-sekolah, tidak ada pelajaran tentang kerajaan itu. Dan di istana-istana baru yang muncul, tidak ada yang berani menyebutnya.
Namun sesekali, ketika seorang pengelana tersesat terlalu jauh ke utara, dan mendengar desau angin aneh di celah pohon mati, mereka menceritakan suara-suara yang terdengar seperti… barisan pasukan. Atau nyanyian para pendeta.
Atau mungkin hanya angin.
***
Tapi ada yang tetap hidup. Cerita.
Anak-anak masih menggambar menara gelap dalam buku kosong mereka. Orang tua kadang mengancam anaknya dengan kisah raja sihir dari utara. Dan para penyair… masih membisikkan satu nama dalam puisi rahasia mereka:
Alexandria.
Kerajaan yang terlalu besar untuk dikenang.
Terlalu dalam untuk benar-benar hilang.
Kini, ia tak lagi ada.
Tapi ia belum pernah benar-benar pergi.
Karena selama masih ada yang bertanya,
“Apakah kau pernah dengar tentang negeri yang tidak bisa mati?”
Selama itu pula…
Alexandria tetap hidup.
Sebagai kerajaan yang tinggal nama.
***
Penutup
Dan jika suatu hari kau berjalan terlalu jauh dari jalan utama, melewati padang rumput yang sepi dan hutan yang tak bertuan, lalu menemukan batu besar berlumut dengan pahatan samar yang nyaris hilang dimakan waktu—cakar hitam dalam lingkaran putih—berhentilah sejenak.
Duduklah di sana.
Tempelkan telingamu ke tanah.
Dan dengarkan.
Mungkin yang kau dengar bukan sekadar desir angin.
Mungkin yang kau dengar adalah denyut yang masih tersisa—gema dari takhta yang telah lama kosong, bisikan dari sejarah yang menolak diam.
Karena ada kerajaan yang runtuh oleh pedang.
Ada yang lenyap oleh waktu.
Dan ada pula…
yang hanya bisa dikalahkan jika kita berhenti mengingatnya.
Alexandria bukan lagi tempat.
Ia adalah cerita.
Dan selama cerita itu masih dibisikkan,
maka ia belum benar-benar musnah.
~ Tamat ~