‘‘Di negeri ini, kursi empuk bisa diduduki berkali-kali oleh para petinggi yang berkuasa, tapi kursi kerja untuk rakyat kecil makin sulit dicari. Fenomena teranyar di negara +62: pejabat rangkap jabatan, rakyat rangkap gelisah.’’
Jabatan Jadi Kursi Empuk, Bukan Cuma Sekali Duduk
Di negeri ini, kursi empuk jabatan bukan hanya sekadar diduduki sekali. Bahkan, rangkap jabatan kini rasanya sudah seperti membagi kue ke saudara sendiri. Kalau si A dinilai patuh dan setia pada atasan, maka dia bisa diangkat jadi direktur di perusahaan A, rangkap pula jadi menteri B. Etis? Biar rakyat yang menilai.
Contohnya banyak, dan bukan lagi rahasia. Lihat saja Erick Thohir—Menteri BUMN, merangkap jadi Ketua Pengawas Danantara (jika merujuk ke kabar terbaru) dan juga Ketua Umum PSSI. Atau Taufik Hidayat, mantan atlet kebanggaan yang sekarang menduduki kursi Wakil Menteri Kemenpora, merangkap pula Wakil Ketua Harian PBSI, sekaligus Komisaris PLN. Belum lagi Giring Ganesha, yang katanya Wamen Kebudayaan tapi juga duduk manis jadi Komisaris di PT Garuda Maintenance.
Dilansir dari Detik Bali pada 11 Juli 202, setidaknya ada 30 Wakil Menteri di kabinet sekarang yang rangkap jabatan sebagai Komisaris di berbagai BUMN. Pertanyaan pun muncul: apakah rangkap jabatan ini sungguh untuk efisiensi, atau sekadar politik balas budi? Di tengah gembar-gembor penghematan anggaran, para pejabat justru makin gemar menumpuk jabatan, seolah satu gaji saja belum cukup untuk menutup biaya hidup mereka—padahal rakyat di bawah saling sikut berebut lowongan kerja yang makin langka.
Ironisnya, beberapa nama bahkan memegang posisi yang tidak selaras dengan kompetensi aslinya. Tapi toh jabatan tetap dibagi-bagi, kursi tetap diserahkan. Sementara itu, anak-anak muda yang capek melamar kerja kadang hanya bisa bergurau getir, “Kabur dulu deh, kerja di luar negeri aja, di sini udah susah.”
Rangkap jabatan seakan sah-sah saja, sementara rakyat kecil harus rangkap cemas setiap tanggal tua datang. Kalau sudah begini, rakyat cuma bisa bilang: “Selamat menikmati kue, Pak/Bu. Semoga kami yang di bawah nggak kebagian remah-remahnya saja.”
Sementara Rakyat Bawah Sibuk Rangkap Kerja Sampingan
Di sisi lain, rakyat biasa justru sibuk rangkap kerja—bukan rangkap jabatan, tapi rangkap gelisah. Pagi sampai sore jadi buruh pabrik, malam jadi ojek online, kadang weekend ngamen konten di media sosial demi nambah receh buat bayar cicilan. Ironisnya, masih ada anggota DPR dari Fraksi PKB yang dengan santainya bilang SDM kita nggak kompeten, lowongan kerja banyak tapi nggak terserap (Kompas.com,12 Juli 2025)
Lucunya, di media sosial banyak diaspora Indonesia yang justru sukses meniti karier di luar negeri—mulai dari riset, teknologi, sampai seni. Jadi, pertanyaannya: benarkah SDM kita yang nggak kompeten? Atau pemerintah dan korporasi yang ogah repot menciptakan peluang kerja dengan syarat yang wajar dan ekosistem yang mendukung?
Andai rakyat jelata seperti kami bisa langsung bicara di depan Bapak DPR yang terhormat itu, mungkin kalimatnya begini:
“Lah, Bapak-bapak berdasi di atas juga banyak kok yang nggak kompeten, tapi tetap aja rangkap jabatan sana-sini, dapat fasilitas segunung.”
Jadi kalau rakyat bawah rangkap kerja demi bertahan hidup, ya mohon dimaklumi—karena ‘kursi rangkap’ versi rakyat, isinya cuma keringat, bukan gaji double.
Kenapa Bisa Begini?
Fenomena rangkap jabatan ini bukan muncul dalam semalam, bukan sekadar salah satu dua orang. Ia lahir dari sistem birokrasi dan politik yang permisif. Banyak celah dalam regulasi yang memungkinkan satu orang menduduki banyak kursi sekaligus tanpa sanksi moral yang berarti.
Belum lagi, kontrol publik kadang lemah. Kritik datang, tapi sering mentok jadi bahan debat di media sosial. Sementara di ruang rapat para pejabat, semua tetap nyaman di kursinya. Isu etika publik pun kadang cuma jadi formalitas — seolah tidak penting selama kepentingan elite tetap berjalan mulus.
Budaya “asal nyaman di elite, rakyat disuruh legowo” juga membuat fenomena ini bertahan. Rakyat bawah yang mengeluh hanya dianggap angin lalu. Sementara para petinggi bisa saling bagi kursi seolah membagi kue di ruang makan keluarga besar.
Kalau rakyat mempertanyakan? Biasanya dijawab dengan dalih “demi efisiensi”, “demi keberlanjutan program”, atau “karena kompetensi yang sulit dicari”. Padahal yang terjadi: jabatan jadi barang rebutan, loyalitas dibarter kursi, dan rakyat disuruh sabar — lagi, dan lagi.
Penutup
Pada akhirnya, rangkap jabatan di level elite dan rangkap gelisah di level rakyat kecil adalah gambaran paling jujur tentang ketimpangan negeri ini. Di kursi empuk kekuasaan, satu orang bisa pegang beberapa jabatan dengan gaji dan fasilitas berlapis. Sementara di luar sana, rakyat harus banting tulang siang malam—jadi buruh di pagi hari, ojek online di sore hari, jualan online di malam hari—semua demi satu hal: bertahan hidup.
Ironinya, di saat para petinggi pamer jabatan sambil sesumbar soal efisiensi anggaran, rakyat disuruh irit, disuruh maklum, disuruh legowo. Kita sering dengar jargon: “Kerja, kerja, kerja!”—sayangnya yang pegang kerjaan cuma segelintir orang, yang rangkap kerjaan justru rakyatnya.
Tapi, kalau diangkat lagi, rakyat kecil tetap cuma bisa teriak di media sosial, bikin meme, bikin satire, bikin hashtag. Ujungnya? Hilang ditelan algoritma. Sementara kursi-kursi nyaman itu tetap terisi orang-orang yang itu-itu lagi—asal dekat dengan lingkaran, asal setia sama atasan.
Kalau ditanya, “Lalu apa solusinya?” — saya juga tidak punya jawaban pasti. Yang jelas, rakyat tidak butuh janji manis. Tidak butuh jabatan yang dibagi-bagi seperti kue syukuran. Rakyat cuma butuh satu hal sederhana: lapangan kerja nyata yang bisa diakses tanpa harus kenal orang dalam.
Karena kalau kursi elite bisa dirangkap berkali-kali, masa iya kursi kerja buat kami harus rebutan sampai berdarah-darah?