Di tepi Sungai Barito, Kalimantan, tinggal seorang anak laki-laki bernama Aandau. Ia berumur tiga belas tahun dan berasal dari suku Dayak Bakumpai. Andau tinggal di rumah lanting – rumah yang mengapung di atas sungai bersama keluarga dan warga desa lainnya. Setiap pagi, rumahnya seperti ikut berenang pelan bersama air sungai barito, membuatnya merasa seolah sedang tinggal di dunia yang bisa bergerak.
Setiap sore, ia duduk di teras rumah menikmati senja sambil mendengarkan kisah dari neneknya. Kisah favoritnya adalah tentang burung enggang, burung besar yang dianggap sakral oleh suku Dayak. Burung ini dipercaya menjadi penjaga hutan.
“Burung enggang itu bukan sekedar burung” kata Ida—ibu andau, sambil menatap langit senja.
“ Dia itu penjaga kita, penjaga hutan” ibu menghirup dalam aroma segar sungai bercampur dengan suara burung yang terdengar jelas.
Andau selalu membayangkan bisa melihat burung enggang dari dekat. Ia membayangkan bulunya yang indah, paruh besar yang melengkung, dan suara kepaknya yang gagah saat terbang di antara pohon-pohon tinggi di dalam hutan. Membayangkan saja sudah mampu membuat jantung andau berdegup kencang.
Sejak dulu, burung enggang sudah dianggap spesial oleh suku Dayak. Bagi mereka, burung ini bukan sekedar burung biasa. Burung enggang dipercaya sebagai simbol kebanggaan dan kehormatan, layaknya pahlawan bagi hutan. Ia juga dianggap sebagai penjaga alam yang melindungi pepohonan, hewan-hewan, dan orang-orang dayak di tanah Kalimantan.
Suatu hari, andau dan dua sahabatnya, Bayu dan Dayu, mereka berencana menangkap ikan. Mereka membawa bubu-alat perangkap ikan tradisional dan bekal singkong rebus yang dibalut dengan daun pisang.
Ketiganya menaiki sampan kecil milik Bayu, karena hanya dia yang diberi izin untuk membawa perahu kecil oleh orang tua mereka. Biasanya perahu kecil yang hilir mudik di sungai barito terbuat dari kayu meranti, jenis kayu yang berasal dari pohon keras di daerah tropis.
Awalnya mereka menyusuri badan sungai barito dan kini mulai menyusuri anak Sungai, terlihat masih asri tertutup rimbunnya hutan kalimantan dan ditumbuhi berbagai macam flora khas pulau Kalimantan, kini keberadaannya mulai langka dan jarang ditemui dimana-mana.
Setelah menemukan titik tempat untuk menangkap ikan, mereka pun menepikan perahunya, kemudian mengikat tali ke batang pohon besar disana. Andau langsung memasang perangkap ikan ditempat ikan sering berenang lewat.
Andau melihat buah kasturi tergeletak di tanah, jatuh dari pohonnya. Warnanya ungu tua, wangi manisnya tercium sampai ke hidung. Pelan-pelan ia mulai memungutnya bersama Dayu. Sedangkan Bayu sibuk memetik buah kapulasan, buah rambutan hutan khas Kalimantan yang memiliki warna merah pekat. Tiba-tiba….
“Andau lihat itu…enggang!” Bayu berteriak dan menunjuk ke salah satu dahan pohom.
“Beneran Bay?! ” Andau bergegas mendatangi Bayu yang setia bertengger di atas pohon seolah sudah akrab dengan pohon itu.
Andau kepalang penasaran segera ikut naik ke atas pohon kapulasan setelah sampai diatas pohon ia mengamati dahan pohon yang tadi ditunjuk oleh Bayu, tetapi nihil tidak ada apa-apa disana.
“ Mana…? gak ada apa-apa, kamu bohongin aku ya?” Andau tampak kesal dengan Bayu karena setelah ia naik, tidak mendapati keberadaan burung itu sejauh matanya menatap.
“ Serius, tadi ada” Bayu berkata dengan matanya yang tampak membulat dan dahinya berkerut karena tidak terima dikatakan sebagai pembohong oleh Andau, enak saja pikirnya karena benar tadi ia melihat wujud asli burung enggang.
Andau pun memilih turun dari pohon itu, tanpa melanjutkan bicara dengan Bayu. Tepat sebelum kakinya menginjak tanah basah karena berada di daerah rawa-rawa, terdengar suara kepakan sayap yang tampaknya berasal dari suara kepakan burung besar di dalam hutam sunyi yang di penuhi dengan pohon tinggi dan jenis yang beragam.
Whuushhh
Andau spontan menoleh ke arah Bayu, seolah keduanya memiliki telepati mereka berdua kompak bergegas turun dan pergi mendatangi sumber suara.
“ Pelan-pelan dong, tungguin aku” Bayu tampak jengkel ia melihat Dayu yang sedang menarik nafas sambil memegang lutut sebagai tumpuan.
“ Sabar dong, susah ini loh” Dayu kesulitan membenarkan posisi tas anyam miliknya karena terlalu berat.
“ Kenapa sih kamu ikut” Bayu berjalan mendekati Dayu kemudian mengambil alih tas Dayu.
“ Kenapa sih kalian ngikutin burung itu” sekarang Dayu ikut emosi. Mereka terus saja berdebat kecil, sampai Andau menegur mereka karena suara mereka terdengar jelas ditengah hutan yang sepi.
“ Diem dong, hilang nih burungnya karena kalian” Andau kini juga terbawa emosi mendengar pertengkaran temannya.
“ Ada ga Dau burungnya?” Bayu mendekati andau dan meletakkan tangannya di bahu apong.
“ Gak ada nih, kayanya udah hilang” Andau kini menoleh ke arah Bayu kemudian melihat dahan pohon lagi.
“ Aduhh, padahal aku pengen banget ngeliat langsung, pulang nih? ” Bayu menyayangkan kesempatan emas mereka untuk bertemu burung enggang.
“Kalian liat ini deh….” Dayu tiba-tiba bersuara.
“ Ada apa Yu” andau dan bayu reflek menoleh ke arah dayu.
Mereka pun mendekati Dayu yang berada di dekat salah satu pohon besar disana, saat mendekati Dayu keduanya melihat sebuah bulu yang berwarna hitam pekat yang berkilau.
“ Ini… bulu burung enggang!” Andau sontak sedikit berteriak setelah melihat bulu itu beberapa menit.
Tiba-tiba, terdengar nyaring suara pria paruh baya dari balik pohon besar tempat mereka berdiri.
“ Hahaha, banyak nih untung” pria itu tampak girang ketika melihat banyak ikan yang timbul di permukaan sungai.
“ Eh Dau siapa tuh?” Bayu menujuk pria di atas perahu kecil disana
“ Gak tau aku, kayanya orang kampung sebelah” Andau menoleh ke arah Bayu kemudian beralih ke arah pria yang tadi menangkap ikan.
“ Bukannya, gak boleh ya nangkap ikan pake setrum listrik?” Dayu bertanya kepada kedua temannya masih memandangi pria itu.
Ketika mereka tengah asyik mengamati kegiatan orang menangkap ikan, tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon tempat mereka bersembunyi. Ya, itu kepakan sayap burung enggang yang sedari tadi mereka cari, seolah burung itu sengaja mendatangi mereka untuk memberitahu perbuatan manusia yang telah melanggar hukum adat yang dijaga ketat oleh masyarakat suku dayak.
“ Andau liat burung enggang itu” Dayu menunjuk burung enggang yang saat ini berada di atas kepala mereka.
“ Kenapa dia diem di atas situ ya?” Bayu bertanya kepada kedua temannya. Andau diam ia teringat kata-kata ibunya ‘dia itu penjaga hutan’.
“ Sepertinya burung itu mau ngasih tau kita tentang perbuatan orang itu deh” Andau menerka-nerka sebab kemunculan burung enggang sambil menunjuk pria di atas perahu.
Selang beberapa menit, burung enggang yang tadi bertengger di atas pohon mulai turun mendekati merek bertiga. Mereka bertiga menatap kagum ke arah burung enggang itu tidak berani menyentuh. Burung enggang itu mulai bergerak perlahan seolah memberitahu arah pulang kepada apong dan temannya.
Setelah sepuluh menit menjadikan burung enggang sebagai pemandu jalan, akhirnya mereka sampai di tempat perahu mereka berada, burung enggang pergi menuju arah matahari tenggelam, burung itu tampak gagah ketika terbang membelah langit. Mereka bertiga juga pulang ke rumah lanting milik andau, sepanjang jalan pulang mereka menatap takjub alam yang telah tersedia di tanah mereka, sangat indah.
“ Andau, darimana aja kamu?” ibu Andau tampak khawatir ketika baru saja melihat sang anak turun dari perahu milik Bayu.
“ Kami tadi ngeliat orang nangkep ikan pake setrum listrik bu ” Andau menjawab.
“ Ya allah, nak” ibu Andau hanya bisa memeluk erat sang anak, ia khawatir karena tidak biasanya sang anak pulang larut.
“ Gimana keadaan kalian Dayu, Bayu?” ibu Dayu dan Bayu secara bergantian mengecek keadaan anak-anaknya. Ya Bayu dan Dayu adalah kembar tidak identik.
Ditengah suasana haru mereka suara seorang pria paruh baya terdengar mengudara memecah kebisingan disana, membuat semua orang menoleh kearah sumber suara, seolah dunia juga ikut diam mendengarkannya.
“ Apa maksud kamu, kalau ada orang yang menangkap ikan menggunakan setrum listrik?” Tue—ayah andau bertanya kepada sang anak
“ Tadi kami nyari ikan kaya biasa, terus kami liat burung enggang dan ngikutin tapi malah ngeliat orang nangkap ikan pake setrum listrik. Sampai akhirnya kami diantar pulang sama burung enggang ”
Ayah Andau yang mendengar cerita anaknya itu bergegas pergi untuk ke kediaman ulu kampung—tetua kampung yang menentukan hukum adat di desa mereka. Akhirnya, orang yang menangkap ikan menggunakan cara yang dilarang oleh aturan adat, dihukum sesuai peraturan yang berlaku.
Setelah kejadian hari itu, Andau sering duduk di teras rumah lantingnya sambil menatap hutan dari kejauhan. Ia tahu, bahwa burung enggang tidak hanya datang untuk memperlihatkan keindahannya, ia datang sebagai pengingat.
Kini, setiap melihat Sungai mengalir tenang dan hutan yang tetap hijau. Andau tersenyum. Di dalam hatinya, ia berjanji : “Aku akan penjaga rimba, seperti enggang