Nama yang Tidak Dipanggil

Di palung sunyi tempat kata dilahirkan,
namaku tertinggal—seperti mantra yang patah di lidah nenek moyang.
Ia dipahat di nisan silsilah, tapi tak pernah tumbuh dalam mulut siapa-siapa,
seperti pohon kamaloka yang rindangnya hanya dikenang oleh angin.

Orang-orang memanggilku dengan nama-nama pinjaman:
ada yang mencocokkan aku dengan cuaca,
ada yang menyematkan gelar dari luka mereka sendiri.
Namun tak satu pun serupa dengan aku yang berjalan di balik bayang sendiri.

Kupanggil diriku dalam mimpi—dengan suara setipis asap dupa,
namun gema itu pun teredam dinding purba
yang dibangun dari kesunyian para leluhur
yang lupa menurunkan bahasa untuk menjadi diri sendiri.

Aku ini seperti benih yang tercecer dari keranjang takdir,
terlempar di tanah yang tak pernah kutahu namanya,
dan tumbuh tanpa tahu ke arah mana matahari menghadap.
Apakah ini yang disebut takdir, atau hanya kelupaan semesta?

- Poster Iklan -

Jika kelak aku mati dan tak satu pun nama dikenang,
setidaknya biarlah sunyi mencatat desir langkahku
seperti daun yang jatuh dalam rimba yang tak bernama—
sepi, tapi tak pernah sia-sia.

Banyumas, 2025

 

Rumah yang Tak Lagi Memanggil

Telah kutempuh ribuan tapak sunyi
untuk kembali ke rahim dinding-dinding tua,
namun rumah itu kini menjelma candikala—
gelap separuh, asing seluruhnya.

Pintu-pintu telah hilang dari rangka ingatan,
tinggallah jendela terbuka ke arah yang tak kukenal.
Angin di dalamnya bukan lagi angin ibuku,
melainkan desir dari mantra yang lupa lidah siapa pengucapnya.

Aku berdiri di ambang yang tak bernama,
mengetuk langit-langit yang dulu menyanyikan masa kecilku.
Namun gentengnya tak lagi menggaungkan suaraku—
ia menjadi sunyi yang telah lama menutup telinga.

Rumah ini,
ibarat altar yang kehilangan dewa penjaganya.
Langit-langitnya retak oleh doa yang tertunda,
lantainya dingin oleh langkah yang tak pernah kembali.

Dan aku,
tinggal bayang-bayang yang terlambat pulang
mencari wajahku di cermin warisan
yang dipenuhi embun waktu dan debu nasab yang tak diakui.

Tak kutemukan pintu,
hanya kenangan yang mengelupas dari tembok—
seperti kulit tua yang enggan menyebut namaku
sebagai anak kandungnya.

Banyumas, 2025

 

Tubuh yang Dipinjamkan

Tubuh ini,
bukan rumah yang kutata sendiri.
Ia seperti warisan tua dari leluhur yang tak kukenal namanya,
dibalut kulit yang tidak pernah kuhuni sepenuhnya,
bagai jubah padma yang jatuh di altar, tapi tak pernah dipuja.

Kadang aku berjalan di dalamnya
seperti tamu dalam pura yang asing—
setiap lengkung tulang dan ruas jari
menyisakan pertanyaan:
apakah aku penghuni, atau sekadar penumpang sementara?

Kulitku adalah aksara purba
yang tak bisa kubaca dengan mata batinku.
Sementara jiwaku—liar dan lentik seperti cahaya purnama
yang jatuh di atas bayang,
menari mencari dahan,
tapi tak pernah menetap.

Setiap pagi aku mencermin
dengan nadi yang diam-diam menjerit,
membaca diriku dalam cermin retak
yang memantulkan rupa, tapi tidak makna.

Orang-orang menyapaku dengan nama yang mereka pahami,
padahal aku telah menanggalkan nama itu
di suatu simpang waktu antara kelahiran dan kesadaran.
Mereka memakuku dalam bentuk,
padahal aku: desir,
aku: embun yang belum sempat menetap di rerumputan sunyi.

Tubuh ini dipinjamkan padaku
tapi tidak dengan petunjuk penggunaannya.
Dan aku hanya bisa mencintainya perlahan—
seperti mencintai luka
yang sabar menunggu air untuk berubah menjadi sungai.

Banyumas, 2025

 

Bahasa yang Tak Pernah Lahir

Di leherku,
menggantung aksara yang belum jadi suara.
Seperti biji lontar yang tak sempat ditanam,
begitulah aku tumbuh:
tak berakar, tak berbunga, hanya bayang bahasa yang patah.

Lidahku belajar dari desir angin
yang memanggil hujan dengan isak samar.
Tapi siapa yang bisa mengucap luka
jika setiap kata adalah cermin
yang hanya menampilkan wajah orang lain?

Aku mencoba menyulam namaku
dari huruf-huruf purba di naskah yang hilang.
Tapi tiap kali kujahit,
jarumku menusuk ke dalam dada
seolah makna hanya bisa lahir dari perih yang tak selesai.

Mereka bilang, suara adalah rumah.
Namun aku tinggal di lorong sunyi
yang tak mengenal gema.
Setiap percakapan jadi padang gurun,
dan aku hanyalah pasir yang ditinggal oase.

Kadang kurindu berkata,
tapi siapa sudi mendengar suara
yang belum sempat jadi bahasa?
Maka kupilih diam
dan menjelma kidung
yang hanya bisa dibaca
oleh langit paling sepi di matamu.

Banyumas, 2025

 

Aku yang Menjadi Bayanganku Sendiri

Telah jauh kutempuh lorong-lorong sunyi
dengan langkah yang tak pernah benar-benar tahu ke mana pulang.
Di cermin pagi, kutemukan wajah yang bukan milikku,
hanya sepasang mata yang terus menyimpan hujan
dari musim yang tak sempat diberi nama.

Aku pernah menyangka: identitas adalah rumah,
nyaman dan utuh seperti peluk ibu dalam tembang Jawa.
Tapi dunia tak ramah bagi mereka
yang memilih menjadi tanya daripada jawaban.
Lalu aku pun berlari,
memanggul bayangan sendiri seperti peziarah tanpa peta.

Bayanganku—
ia menemaniku lebih setia dari nama,
lebih jujur dari tutur yang ditabalkan leluhur.
Kami pernah saling menolak,
seperti dua musim yang enggan bersua dalam satu langit.
Namun, malam yang panjang mengajari kami:
diri bukan tentang menang,
melainkan tentang menerima retak-retak yang tak bisa disemenkan waktu.

Kini, aku duduk bersamanya
di pelataran jiwa yang tak lagi ribut mencari arti.
Tak ada upacara, tak ada mantra,
hanya diam yang berpendar lembut seperti dupa yang terbakar setengah.
Bayanganku menatapku,
dan aku tak lagi gentar—
karena untuk pertama kalinya,
aku bukan orang asing bagi diriku sendiri.

Banyumas, 2025

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here