“Pendidikan tidak hanya tentang mengajarkan masa lalu, tetapi juga tentang membentuk masa depan.” Pernyataan ini mencerminkan dilema besar yang dihadapi sistem pendidikan saat ini. Di satu sisi, ada nilai-nilai fundamental yang telah teruji oleh waktu dan tetap relevan, sementara di sisi lain, ada tuntutan perubahan yang dipicu oleh perkembangan teknologi, ekonomi, dan dinamika sosial.
Dalam era yang ditandai oleh revolusi digital, perubahan kurikulum yang cepat, serta kecenderungan untuk mengutamakan keterampilan praktis dibandingkan dengan pendidikan berbasis refleksi dan teori, muncul pertanyaan mendasar, apa yang seharusnya tetap bertahan dalam pendidikan? Apakah kita harus terus beradaptasi dengan perubahan tanpa mempertahankan nilai-nilai inti yang telah membentuk manusia selama berabad-abad?
Krisis Refleksi dalam Pedagogi Modern
Salah satu kekhawatiran utama yang diangkat oleh Luri adalah bahwa pedagogi modern telah mengalami krisis refleksi. Pendidikan hari ini semakin terjebak dalam obsesi terhadap metode, model, dan strategi instruksional, sementara pertanyaan fundamental seperti mengapa kita mengajar? dan apa yang sebenarnya harus diajarkan? justru semakin jarang dibahas.
Seiring berkembangnya sistem pendidikan berbasis kompetensi dan target capaian yang terukur, pendidikan semakin berorientasi pada hasil jangka pendek yang dapat diukur dengan angka, nilai ujian, indeks prestasi, dan statistik kelulusan. Hal ini menimbulkan paradoks, apakah tujuan pendidikan hanya sebatas mencetak individu yang dapat mengisi pasar tenaga kerja, ataukah ia memiliki misi yang lebih luas dalam membentuk pemikiran, karakter, dan kesadaran sosial?
Para pendukung pendekatan pragmatis mungkin berargumen bahwa dunia saat ini membutuhkan individu yang siap kerja, fleksibel, dan memiliki keterampilan adaptif. Namun, jika pendidikan hanya dipandang sebagai pabrik tenaga kerja tanpa mempertimbangkan aspek filosofis dan humanistiknya, kita akan menghadapi generasi yang mungkin mahir secara teknis tetapi dangkal dalam pemikiran kritis dan tidak memiliki daya refleksi terhadap dunia di sekitarnya.
Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi instrumen ekonomi, tetapi juga alat untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi. Oleh karena itu, kita perlu mempertanyakan kembali apakah sistem pendidikan kita saat ini masih memberikan ruang yang cukup untuk refleksi filosofis, atau justru telah menjadi mesin produksi tanpa jiwa yang mengejar efektivitas semata.
Antara Kekayaan Verbal dan Kemiskinan Kognitif
Luri (2022) menyoroti bahwa salah satu aspek fundamental yang tetap bertahan dalam pendidikan adalah bahasa. Dalam sistem pendidikan tradisional, bahasa dipandang sebagai medium utama dalam menyampaikan pengetahuan, membentuk pola pikir, dan mengembangkan pemahaman konseptual. Namun, dalam era digital, muncul kecenderungan untuk menggantikan teks dengan elemen visual, mengganti diskusi mendalam dengan komunikasi yang lebih ringkas, dan mengurangi fokus pada keterampilan berbahasa dengan asumsi bahwa teknologi dapat mengisi kekosongan ini.
Namun, studi dalam psikologi kognitif menunjukkan bahwa kapasitas berpikir seseorang sangat dipengaruhi oleh kekayaan bahasanya. Individu dengan kosakata yang luas dan pemahaman mendalam terhadap struktur bahasa memiliki kemampuan berpikir yang lebih kompleks dibandingkan mereka yang memiliki keterbatasan linguistik. Dengan kata lain, jika bahasa mengalami kemunduran, maka pemikiran kritis pun akan melemah.
Sayangnya, banyak sistem pendidikan modern yang gagal menyadari pentingnya pembelajaran bahasa yang kuat. Ketika pembelajaran didorong untuk menjadi lebih “menyenangkan” dan “tidak membosankan,” kita justru melihat degradasi dalam kemampuan literasi siswa. Kekayaan verbal bukanlah sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang bagaimana individu dapat memahami dan menginterpretasikan dunia.
Di tengah derasnya arus komunikasi berbasis multimedia dan konsumsi informasi instan, pendidikan harus tetap mempertahankan bahasa sebagai pilar utama dalam pembelajaran. Tanpa bahasa yang kaya, siswa hanya akan menjadi penerima informasi pasif yang kurang mampu menganalisis secara kritis dan menyusun argumen yang kuat.
Antara Alat Pembebasan dan Perangkap Ketergantungan
Salah satu tantangan terbesar pendidikan saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan teknologi secara bermakna. Teknologi sering kali dipandang sebagai solusi ajaib yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, memperluas akses terhadap informasi, dan memungkinkan personalisasi pendidikan. Namun, Luri mempertanyakan apakah sekolah benar-benar memiliki wacana yang cukup kuat untuk mengendalikan teknologi, atau justru hanya menjadi konsumen pasif tanpa strategi yang jelas.
Pendidikan berbasis teknologi memiliki risiko besar jika tidak disertai dengan pengawasan dan pemahaman yang mendalam. Banyak siswa saat ini menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar daripada membaca buku, dan banyak guru yang mulai menggantikan metode pengajaran tradisional dengan pendekatan berbasis teknologi tanpa mempertimbangkan efektivitasnya dalam membangun pemahaman konseptual yang mendalam.
Teknologi harus digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan sebagai pengganti proses pembelajaran yang seharusnya berbasis interaksi manusia, refleksi kritis, dan pemahaman mendalam. Jika kita tidak berhati-hati, pendidikan yang terlalu bergantung pada teknologi justru dapat melahirkan generasi yang lebih rentan terhadap disinformasi, lebih pasif dalam berpikir, dan lebih sulit untuk mendalami konsep yang kompleks.
Kemana Kita Menuju?
Sistem pendidikan yang baik bukanlah yang sekadar responsif terhadap perubahan, tetapi yang mampu membedakan antara inovasi yang membawa manfaat sejati dan tren sesaat yang dapat menggerus nilai-nilai fundamental dalam pembelajaran.
Pendidikan harus menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan inovasi, antara refleksi dan adaptasi. Jika kita kehilangan unsur permanen dalam pendidikan yakni pemikiran kritis, bahasa yang kaya, dan kebijakan teknologi yang cerdas, maka kita berisiko kehilangan arah dalam membentuk generasi mendatang.
Pertanyaan yang harus kita renungkan bukanlah seberapa cepat kita bisa berubah, tetapi seberapa bijak kita dalam memilih apa yang harus kita pertahankan dan apa yang perlu kita perbarui?