Konon, danau dan empat kiara itu sudah ada sejak jutaan tahun lalu—melebihi kepurbaan manusia pertama dan bahkan hewan-hewan melata. 

“Danau itu turun begitu saja dari langit,” kata Kakeknya. “Saat danau itu sudah siap, barulah hewan-hewan dan manusia diciptakan,” lanjut Kakeknya sambil berdiang di atas jojodog1 di dekat perapian—dengan jari-jari yang sibuk menggulung tembakau. Mulut keriputnya itu terus bergerak bahkan saat dia tidak sedang bercerita—seperti seekor mujair yang sedang berjemur di permukaan kolam saat pagi. “Dan dari empat kiara itulah semua pohon-pohon di dunia tercipta,” kata Kakeknya lagi. Saat dia mendengar dongeng itu untuk kali pertama, dia segera meneruskan cerita itu kepada teman-temannya—dengan gaya yang juga sama seperti Kakeknya. Bedanya, dia mengganti jojodog dengan sebuah batu pipih dan mulutnya tidak seperti seekor mujair.

Di tepi danau yang penuh dengan batu itu—yang besar dan kecil, yang hitam dan abu-abu, yang dari celah-celahnya tumbuh rumput-rumput hijau itu, dia dan teman-temannya mengaso memandang danau yang berombak di dekat kaki dan pohon yang bergoyang di ujung mata.

“Ya, aku juga pernah mendengarnya,” balas salah seorang temannya.

- Poster Iklan -

Dia hanya sebentar menjadi seorang pendongeng. Setelah cerita kakeknya habis, teman-temannya segera merebut posisinya dan percakapan pun terus melantur ke mana-mana: mulai dari bagaimana batu-batu ada, bagaimana ikan-ikan tercipta, dan bagaimana pohon-pohon tumbuh. Dan setelah mereka merasa capek dengan dongeng-dongeng itu, mereka pun mulai memancing ikan, mencuci beras, dan menyalakan api.

Dan kini, dia adalah seorang laki-laki tua yang sendiri di tepi danau itu.

Lalu sekali lagi laki-laki tua itu memandang air yang berombak di dekat kakinya dan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di ujung matanya itu—adegan dia dan teman-temannya pada masa lampau tergambar kembali di depan matanya. Laki-laki tua itu bahkan bisa mencium bau seekor nila yang pernah dikipasinya dengan pelepah bambu.

Danau itu terletak di tengah hutan, terkurung oleh empat kiara di masing-masing mata anginnya—tempat bagi semua hewan mencari minum dan mendinginkan badan. Dan dari danau itu jugalah orang-orang Tegalsawah mengaliri sawah dan rumah mereka. Sementara hutan yang tumbuh di sekelilingnya adalah tempat di mana matahari hilang dan hujan lenyap—menjelma mata air yang tumbuh di bawah akar-akar pohon; tempat di mana hewan-hewan bersarang dan mencari makan; tempat di mana orang-orang Tegalsawah berburu dan meramu.

“Jangan kalian dengar omongan laki-laki gila itu,” kata anak-anak dari teman-temannya bercerita di tepi danau dulu pada anak-anak mereka—setiap kali laki-laki tua itu bercerita tentang danau dan hutan. “Otak dan imannya sudah oleng,” kata mereka lagi. Mereka sengaja meninggikan suaranya agar laki-laki tua itu bisa mendengarnya. “Sama seperti panu dan pilek, kegilaan dan kekafiran juga bisa menular.”

Karena itu, di tepi danau yang pernah merekam masa silamnya itu, laki-laki tua itu kemudian memandang baju dan celananya, memandang bayangannya di air, lalu menyanggah tuduhan itu keras-keras.

“Cih! Persetan dengan semua orang!” hardiknya, terdengar seperti menantang siapa pun—termasuk bayang-bayang kematian yang sudah berulang kali melintas di depan matanya.

Tidak, dia tidak pernah merasa akan mati karena teman-temannya yang suka mendongeng dulu sudah banyak yang meninggal. Laki-laki tua itu selalu merasa sehat dan segar. Dia hanya merasa tidak disukai oleh semua orang. 

Sejak lima tahun belakangan, laki-laki tua itu memang mulai berhadapan dengan semua orang. Pertama-tama dia berhadapan dengan orang-orang PT, kemudian dengan tokoh-tokoh desa dan kampung, dan barulah dengan semua orang. Hanya ada segelintir orang Tegalsawah yang sepihak dengannya, dan itu pun sembunyi-sembunyi. 

“Mula-mula mereka hanya akan mencuri empat kiara, tapi kemudian hutan dan danau, tegal dan sawah, hingga akhirnya seluruh Tegalsawah,” kata lelaki tua itu kepada segelintir orang itu.

Sebelum beranjak dari tepi danau, laki-laki tua itu masih sempat mencuci wajah serta tangan dan kakinya. Dan sampai saat itu, dia merasa danau itu masih sebening dan sedingin dulu. 

“Selama danau masih bisa memantulkan langit dan pepohonan, semuanya akan baik-baik saja,” kata Kakeknya. “Dan untuk itu, semua harus tetap ada di tempatnya.” 

Dan tak lama kemudian, laki-laki tua itu mulai meninggalkan tepi danau itu; hamparan batu tempat dia dan teman-temannya mendongeng itu. Dan dengan lagak seorang musafir yang telah kehabisan tenaga, laki-laki tua itu mulai berjalan—mengambil arah di mana matahari akan hilang dan hari akan berakhir. Dan kakinya yang telanjang itu pun mulai tercucuki oleh ranggasan ranting dan terbasahi oleh kobakan lumpur.

“Seandainya Kakek masih ada,” katanya saat butir-butir air mulai membasuh punggungnya. Dia terus berjalan memasuki hutan—menuju salah satu pohon kiara. Dan selama itu pula, laki-laki tua itu terus mengibaskan tangan dan kakinya—mengusir setiap nyamuk dan serangga yang berusaha mengerubungi tubuhnya. 

“Seandainya Kakek masih ada,” katanya lagi. 

Di bawah pohon dadap yang terus menguarkan bau getah dan menjadi tanda perempatan jalan, laki-laki tua itu beristirahat. Sama seperti dirinya, pohon dadap itu tampak ringkih dengan bekas sabetan di sekujur tubuhnya.

Tapi sekarang Kakek sudah tidak ada dan kau hanya seorang saja, pikirnya. 

Laki-laki tua itu tidak ingat sejak kapan dia mulai suka bicara sendiri. Mungkin sejak Kakeknya meninggal atau sejak teman-temannya meninggalkannya. Tapi laki-laki tua itu masih ingat, dulu dia suka mewuruk anak-anak di sebuah tajug di seberang rumahnya—sebelum orang-orang membangun masjid yang lebih besar dan orang tua anak-anak itu memindahkan mereka ke situ. 

Dan seiring laki-laki tua itu melangkah, bau getah dadap itu pun berangsur hilang—ditukar dengan bau humus yang semakin menyengat. 

Dan kemudian, pohon kiara sebesar lumbung padi itu pun terlihat; daun-daunnya yang lebat menyembunyikan langit dari mata laki-laki tua itu. Dan pada remang-remang itu, laki-laki tua itu masih bisa melihat seutas tali rafia yang terikat di pohon itu—yang menjadi tanda bahwa pohon itu bukan lagi milik dia dan orang-orang Tegalsawah.

“Andai saja Kakek masih ada,” kata laki-laki tua itu. “Aku pasti tidak akan sesepi begini.”

Tapi Kakek tidak ada dan kau hanya seorang diri, Lelaki Tua, pikirnya.

Saat itulah, dia mulai meloloskan sebuah carangka2 dari punggungnya—membuka ikatannya, memandangi isinya, dan barulah kemudian mengeluarkan lima ekor ular sinuk.

“Bersaranglah di sini, Ular-ular baik,” katanya sambil mengorek sebuah lubang yang terdapat di pangkal kiara yang terbentuk oleh akar-akarnya yang silang-menyilang itu—dengan parangnya. “Lalu patuklah setiap orang yang bermaksud buruk pada rumahmu,” katanya lagi. Satu per satu, ular-ular yang kepalanya sedikit pipih dan sisiknya berwarna legam itu kemudian menggelosor ke lubang. Setelah itu, barulah laki-laki tua itu mengusapkan parangnya itu pada akar-akar kiara, lalu memasukannya kembali ke sarungnya.

“Bagaimana perasaanmu sekarang, Pohon?” kata laki-laki tua itu sambil mengusap akar-akar kiara itu. “Sejak kecil aku sudah mendengar dan menyaksikan kemurahanmu,” katanya lirih.

Laki-laki tua itu terus mengusap akar-akar pohon itu seperti mengusap tangan Kakeknya saat dia akan menghadapi kematian; seperti mengusap nisan ayah-ibunya pada hari pertama syawal. Dan saat dia mengusapi akar-akar kiara itulah, seekor ular tiba-tiba mematuk kelingking kanannya. 

Laki-laki tua itu menjerit, dan berbarengan dengan itu, menarik tangannya dari akar-akar kiara itu. Dan sesaat kemudian, dia merasa kelingkingnya seperti terbakar. Laki-laki tua itu ingin segera menghisap kelingkinya dan menguras seluruh racun dari tubuhnya, tapi gusi dan bibirnya sedang terluka. Dia juga ingin tetap mengelus akar-akar kiara itu, tapi tangannya mulai kram dan tubuhnya mulai menggigil.

“Tidak, kau tidak salah, Ular Kecil,” kata laki-laki tua itu sambil merobek bajunya, lalu mulai membungkus jari kelingking yang tiba-tiba memiliki dua mata itu. “Akulah yang tidak berhati-hati.”

“Ayolah, Kepala. Ayolah, Tangan,” katanya lagi sambil mendekap tangan kanannya itu. “Kepala dan tangan macam apa kalian ini?”

Dan dia merasa kepala dan matanya bukan miliknya lagi. 

“Bertahalah sebentar lagi, Kepala. Bertahanlah sebentar lagi, Mata,” katanya. Dan tanpa membawa carangka-nya, laki-laki tua itu pun mulai berjalan—dia tampak seperti sedang memanggul sebuah balok kayu di pundaknya. Dan setelah tiga puluh langkah, laki-laki tua itu akhirnya ambruk.

“Seandainya Kakek ada di sini,” katanya di sela-sela kesadarannya itu.

Tapi Kakek tidak ada di sini, pikirnya. Jadi mulailah merangkak, Laki-laki Tua!

“Ayo, bertahanlah sebentar lagi, Tangan! Bertahanlah sebentar lagi, Kaki!” katanya pada tangan dan kakinya. “Masih ada hutan dan danau yang harus kalian jaga.”

Tapi tangan dan kakinya menolak perintah itu, dan laki-laki tua itu pun kemudian tertidur di sana. Nyamuk dan serangga kemudian mulai mengerubungi tangan dan kakinya yang telanjang itu. 

Saat laki-laki tua itu bangun, jari kelingkingnya itu sudah sebesar jempol kaki dan dia merasa kelingkingnya itu adalah sebuah jam yang terus berdenyut setiap saat; dia merasa jantungnya sudah pindah ke situ. Dan dia masih tak berdaya sedikit pun.

Tapi besok orang-orang akan mulai menggergaji kiara-kiara itu, Laki-laki Tua. Kau sudah tidak punya banyak waktu, pikirnya. 

Saat itulah, laki-laki tua itu menemukan sebuah kayu sebesar betis di samping tubuhnya. Tapi di mana parangnya? pikirnya. Kayu itu terlalu panjang untuk sebuah tongkat; untuk dipasang di ketiaknya.

Sial! Parang itu pasti jatuh saat aku terhunyung-hunyung tadi, pikirnya. Dan dengan sisa-sisa tenaganya, laki-laki tua itu kemudian berusaha bangkit, mendekap kayu itu dengan tangan kirinya, lalu menekannya ke tanah dengan kaki kanannya.

“Sial!” hardiknya, terdengar sangat putus asa. 

Saat masih muda, mudah baginya untuk mematahkan kayu sebesar itu. Dia hanya perlu menyimpannya di atas tanah yang tidak rata, lalu kakinyalah yang akan menuntaskannya. 

Dan untuk pertama kalinya, laki-laki tua itu merasa sangat kecewa dengan dirinya sendiri.

Seandainya tadi aku membawa temulawak dan daun jambu, pikirnya. Tapi kau tidak membawanya, Laki-laki Tua. Kau bahkan tidak pernah menyimpannya di carangka atau di saku celanamu. Begitu juga di rumah dan di halamanmu: kau tidak pernah menganggapnya penting. Jadi berhentilah berpikir tentang yang tidak kau punya, pikirnya lagi.

Dan laki-laki tua itu pun berusaha untuk mulai merangkak, tapi tangan dan kakinya masih saja kram dan menggigil.

Tidak! Tidak ada apa pun yang bisa kukerjakan, pikirnya.

Dan untuk sekali lagi, kepala dan mata laki-laki tua itu melawan kehendaknya sendiri; untuk sekali lagi laki-laki tua itu jatuh pingsan.

Dan dalam tidurnya itu, laki-laki tua itu bermimpi sedang terlentang di atas dipannya sendiri.

Dan dari sana, laki-laki tua itu pun mulai memeriksa sekelilingnya—semuanya masih tampak seperti sebelum kepergiannya: gelas dan piring masih tertata pada rak kayu yang didesain tanpa pintu itu, panci dan teko masih tercantel pada paku-paku kusen jendela itu, begitu juga dengan tungku yang masih bersila dengan tabah di lantai. Dalam mimpinya itu, laki-laki tua itu juga melihat dua bintik merah di jari kelingkingnya. 

Dan saat itulah, dia mulai mendengar suara yang berderik-derik dari halaman.

“Laki-laki tua itu dipatuk ular saat akan mencuri madu,” kata salah seorang dari mereka.

“Dia pasti terkena kutukan,” balas yang lain.

Laki-laki tua itu ingin mengusir ular-ular itu, tapi tangan dan kakinya masih tak berdaya—dia merasa kelingkingnya seperti akan meledak saat itu juga.

Dan untuk pertama kalinya, laki-laki tua itu menghisap kelingkingnya—cepat-cepat meludahkan darah kental yang telah bercampur dengan air liurnya itu ke tanah. “Makanlah itu, Ular-ular sinting. Dan bermimpilah tentang kuburan para leluhur yang telah kalian kencingi.” 

 

Keterangan:

1 Jojodog: bahasa Sunda, bangku pendek untuk duduk.

2 Carangka: bahasa Sunda, wadah yang terbuat dari anyaman bambu.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here