:Pyongyang
Di sini, langit adalah layar propaganda.
Dan jam berdetak dari dalam perut rudal.
Anak-anak menggambar rumah dengan atap berbentuk ledakan,
karena begitulah mereka membayangkan pelukan Tuhan.
Seorang ibu menyuapi anaknya dengan tangan gemetar,
karena suara dari pengeras suara
terlalu mirip doa
dan perintah peluncuran.
:Tel Aviv
Kami membaca kitab
dengan satu tangan di dada, satu lagi di tombol merah.
Doa dan kode nuklir dihafalkan bersamaan,
karena mungkin,
hanya satu yang akan bekerja saat waktunya tiba.
Di kuburan, batu nisan berbisik:
“jangan ulangi sejarah.”
Tapi sejarah adalah anjing tua
yang tahu jalan pulang ke medan perang.
:Teheran
Seorang penyair menulis di bawah cahaya lilin,
karena listrik dipadamkan
agar dunia tidak tahu
reaktor mana yang sedang dinyalakan.
Kami bicara tentang cinta,
tapi bahasa kami telah terkontaminasi:
“pengayaan” kini berarti uranium,
bukan puisi.
Dan jam itu berdetak di bawah masjid,
dalam doa subuh yang kehilangan arah kiblatnya.
:Washington
Gedung putih bersinar seperti gigi palsu.
Jam kiamat dikunci dalam koper
yang dibawa oleh lelaki
yang bahkan tidak tahu bagaimana menenangkan anak kecil.
Kami menghitung waktu dengan dolar dan drone.
Kami percaya pada Tuhan
tapi lebih percaya pada statistik kehancuran total.
Dan saat jam mencapai dua menit—
kami mengangkat segelas whiskey
dan bersulang
untuk akhir
yang bisa dijadwal ulang.
:Fukushima
Jam tak berdetak di sini.
Ia larut bersama laut,
di mana ikan-ikan mengandung sisa-sisa
pabrik yang dulu bernama “harapan”.
Orang tua berjalan di atas tanah yang tak boleh diinjak.
Mereka berbicara dengan pohon mati,
karena hanya pohon yang bisa memahami
apa itu waktu yang tak bisa kembali.
Perempuan dari Natanz
Aku perempuan dari Natanz.
Dulu aku menyulam langit
dengan benang-benang saffron
dan doa-doa nenekku
yang harum seperti tanah setelah hujan.
Kini,
aku menyulam senyap—
di antara dinding laboratorium
dan mesin pengaya uranium
yang berdetak seperti jantung laki-laki
yang tak pernah menyentuh pipi anaknya.
Mereka bilang:
aku harus bangga
karena kota kami melahirkan matahari
dalam tabung-tabung besi,
dan dunia gemetar
ketika kami menyebut kata:
“reaktor”.
Tapi aku hanya tahu ini:
putriku lahir dengan jari yang tak lengkap.
Dokter menyebutnya
“kesalahan statistik”
tapi aku mendengar gumaman bumi
yang berkata:
“Kalian menusuk tulangku,
maka aku melahirkan retakan dalam daging kalian.”
Setiap pagi, aku menggosok lantai
yang mengandung bayang-bayang silinder.
Setiap malam, aku mendengar nyanyian
para insinyur
yang memuja proton dan neraka
dengan aksen lembut
dan tatapan batu.
Aku tak punya senjata.
Aku tak punya negara yang mendengarkan.
Tapi aku punya tubuh.
Dan tubuhku mengingat
—seperti tanah mengingat musim—
suara bayi-bayi yang tak sempat menangis
karena ibunya telah menjadi
angka di laporan kesehatan tahunan.
Aku perempuan dari Natanz.
Aku tak pernah menyentuh tombol.
Tapi aku yang melahirkan ledakan.
Tiga Menit Menuju Tengah Malam
Jam di dinding itu
tidak berdetak—ia bernafas.
Dengan paru-paru besi
dan suara yang seperti kelopak mawar
yang dipaksa tumbuh di atas kawat berduri.
Aku melihatnya, jam itu,
di atas rak buku tempat anakku menyimpan teka-teki:
gambaran dunia tanpa benua,
hanya warna merah dan hitam
dan huruf-huruf asing yang berarti “hilang.”
Tiga menit.
Itulah waktu yang tersisa
bagi dunia untuk memilih:
cinta atau senjata.
Dan kita semua tahu
pilihan apa yang dibuat lelaki-lelaki
dengan dasi merah dan nadi perak.
Tubuhku adalah jam kedua.
Perutku menyimpan biji dari musim yang tak pernah datang.
Setiap malam, aku menghitung denyut nadi
seperti menghitung roket di langit yang retak.
Apakah ada Tuhan di ruangan ini?
Atau hanya suara dari panel kontrol
dan kopi dingin yang tertinggal
di meja perundingan?
Jika dunia meledak malam ini,
aku ingin itu terjadi saat aku memeluk anakku,
dalam sunyi yang sangat kecil
di antara dua ketukan terakhir.
Dan jam itu—
akan tetap berdiri,
dengan senyum seperti ibu tiri,
mengatakan:
“Sudah kubilang sejak awal.”