Kesurupan merupakan fenomena yang masih sangat lazim ditemukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika seseorang tiba-tiba kehilangan kesadaran atau berperilaku tidak biasa, reaksi spontan yang sering muncul adalah keyakinan bahwa ia sedang dirasuki makhluk gaib. Ungkapan seperti “kerasukan jin”, “ketempelan roh”, atau “diganggu makhluk halus” sudah menjadi penjelasan yang dianggap wajar, bahkan langsung diterima tanpa dipertanyakan.
Pandangan semacam ini memang telah mengakar kuat dalam budaya kita, meskipun tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Dalam banyak kasus, kesurupan justru merupakan bentuk manifestasi psikologis dari tekanan emosional dan mental yang tidak tersalurkan. Namun, masyarakat yang terbiasa melihat dunia melalui kacamata mistis cenderung menolak kemungkinan bahwa gangguan psikologis dapat muncul dalam bentuk yang dramatis. Akibatnya, penanganan terhadap orang yang mengalami kesurupan pun lebih sering diarahkan pada praktik spiritual daripada pendekatan medis atau psikologis.
Ketika Semua Hal yang Tak Dimengerti Dianggap Gaib
Salah satu ciri khas dari cara masyarakat Indonesia memahami kesurupan adalah kecenderungan untuk mengaitkan segala gejala aneh dengan dunia gaib. Ketika seseorang berteriak histeris atau menunjukkan gerakan tubuh yang tidak biasa, yang langsung dibayangkan adalah adanya roh jahat yang masuk ke dalam tubuhnya. Masyarakat tidak terbiasa memaknai gejala tersebut sebagai respons dari jiwa yang sedang mengalami gangguan. Di sinilah letak akar dari stigma kesurupan sebagai sesuatu yang selalu bersumber dari luar diri manusia.
Pandangan semacam ini tumbuh dari warisan budaya yang sangat kuat terhadap hal-hal supranatural. Cerita rakyat, mitos, dan kepercayaan turun-temurun telah membentuk pola pikir masyarakat secara luas, sehingga penjelasan ilmiah sering kali sulit diterima. Tak mengherankan jika psikologi modern kerap ditolak secara halus, bahkan dianggap tidak relevan dalam konteks kesurupan. Sebaliknya, pendekatan spiritual tetap menjadi pilihan utama karena dianggap lebih sejalan dengan nilai dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Stigma dan Akibatnya yang Merusak
Pandangan yang melabeli kesurupan sebagai gangguan gaib menciptakan stigma yang kuat. Orang yang pernah mengalami kesurupan sering kali dianggap sebagai individu yang lemah secara spiritual. Mereka mungkin dijauhi atau dibebani pandangan negatif bahwa dirinya menjadi perantara kekuatan jahat. Padahal kenyataannya, banyak dari mereka sedang mengalami tekanan batin atau trauma emosional yang tidak terlihat dari luar.
Stigma ini merugikan karena tidak hanya menambah beban psikologis, tetapi juga menghalangi individu untuk mendapatkan bantuan yang tepat. Jika seseorang terus dianggap sebagai korban gangguan makhluk halus, maka fokus akan tertuju pada pengusiran entitas tersebut dan bukan pada pemulihan kondisi mentalnya. Ia mungkin harus menjalani ritual yang keras dan tidak jarang menyakitkan secara fisik dan emosional. Sementara itu, luka batin yang menjadi sumber dari gangguan tidak pernah disentuh.
Sebagian besar stigma ini tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh dari keyakinan kolektif yang diwariskan melalui kepercayaan dan praktik budaya masyarakat. Penelitian yang dipublikasikan dalam The British Journal of Psychiatry oleh Bartholomew dan Wessely (2002) menunjukkan bahwa kesurupan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kepercayaan yang mengakar. Dalam masyarakat yang mempercayai gangguan gaib sebagai penjelasan utama atas perilaku tidak biasa, individu menjadi lebih rentan mengalami kesurupan, terutama ketika berada dalam situasi yang dianggap menyeramkan, seperti di lokasi yang dikenal angker atau setelah menyaksikan orang lain mengalami hal serupa.
Kesurupan dalam Perspektif Psikologis
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelima (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, fenomena kesurupan dapat dikategorikan sebagai bagian dari gangguan disosiatif, khususnya dalam bentuk yang dikenal sebagai possession-form dissociative identity disorder (DID). Kondisi ini ditandai oleh perubahan kesadaran dan identitas, di mana individu merasa seolah-olah dikendalikan oleh entitas asing.
Disosiasi merupakan bentuk perlindungan psikologis yang muncul saat seseorang menghadapi tekanan emosional yang intens. Dalam kondisi tertentu, tubuh dan pikiran dapat ‘berpisah’ untuk menghindari rasa sakit yang tak tertahankan. Hasilnya adalah gejala seperti amnesia, kehilangan kesadaran, perubahan kepribadian, atau perilaku ekstrem seperti kesurupan.
Mendorong Perubahan Cara Pandang
Meluruskan stigma terhadap kesurupan bukan berarti menolak nilai budaya atau spiritual masyarakat. Yang diperlukan adalah pemahaman yang lebih seimbang. Masyarakat perlu didorong untuk memahami bahwa tidak semua kondisi kejiwaan harus dikaitkan dengan gangguan makhluk halus. Seseorang yang mengalami kesurupan tidak harus langsung dicap sebagai kerasukan, karena bisa jadi ia sedang berada dalam kondisi mental yang rapuh dan membutuhkan pertolongan psikologis.
Dalam hal ini, edukasi menjadi kunci utama. Pemahaman dasar tentang gangguan disosiatif dan kesehatan mental harus lebih banyak disosialisasikan agar masyarakat memiliki sudut pandang yang lebih bijak dan memahami aspek psikologis di balik fenomena kesurupan. Tokoh masyarakat dan pemuka agama pun memiliki peran penting untuk menjembatani pengetahuan ilmiah dengan budaya yang sudah mengakar. Dengan begitu, pendekatan spiritual bisa berjalan berdampingan dengan penanganan psikologis tanpa saling menegasikan.
Menghentikan anggapan bahwa semua kasus kesurupan disebabkan oleh gangguan gaib adalah langkah awal yang penting untuk mengurai stigma yang selama ini melekat. Kita bisa mulai dengan bertanya apa yang sedang dirasakan orang tersebut, bukan siapa yang merasukinya. Dari sana, jalan menuju pemahaman dan penyembuhan bisa dibuka lebih luas.
Penutup
Fenomena kesurupan di Indonesia masih dibalut oleh kabut stigma dan mistifikasi. Masyarakat yang terbiasa menyalahkan dunia gaib atas segala hal yang tak dipahami cenderung menolak kemungkinan bahwa jiwa manusia pun bisa jatuh sakit. Akibatnya, mereka yang membutuhkan pertolongan justru terjebak dalam lingkaran penilaian dan perlakuan yang keliru. Sudah saatnya kita membangun cara pandang baru yang tidak melihat kesurupan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi memahaminya sebagai tanda bahwa seseorang sedang mengalami beban emosional yang berat.