Pada sehelai kain hitam, seekor tengkorak tersenyum. Bukan karena ia gembira, tetapi karena ia tahu, dunia ini terlalu angkuh untuk diselamatkan dengan sopan santun. Di bawah senyumnya yang getir, dua tulang menyilang seperti silang takdir yang tak bisa dihindari. Bendera itu, yang dikenal sebagai Jolly Roger (Serial Anime One Piece), dulu dikibarkan di atas kapal bajak laut sebagai tanda perlawanan terhadap tatanan dunia yang tak pernah adil sejak awal.
Namun kini, Jolly Roger muncul kembali di abad algoritma. Ia tak lagi terpancang di tiang kapal, melainkan di dinding-dinding kota, di poster protes, dalam avatar digital, bahkan di dada para peretas dan pembangkang. Ia kembali, bukan karena romantisme masa lalu, tetapi karena dunia yang kita hidupi telah terlalu jinak. Karena demokrasi telah berubah menjadi upacara tanpa makna, dan hukum menjadi gading yang tak menggigit.
Jolly Roger adalah simbol bagi mereka yang tak punya ruang di bawah bendera resmi. Mereka yang dikatai pengacau, padahal hanya sedang berkata jujur. Ia adalah simbol subversi, tapi juga kejujuran. Sebuah pengakuan terbuka bahwa dunia ini bobrok, dan kerapian hanya kedok bagi kebusukan.
Bendera ini menolak untuk mematuhi. Ia tidak mencari simpati. Ia tidak memohon legalitas. Ia hadir seperti mimpi buruk bagi para elite, dan menjadi mimpi indah bagi mereka yang muak ditertawakan sistem. Bagi mereka yang tubuhnya ditindih birokrasi dan kepalanya dijejali propaganda, Jolly Roger adalah pelampung terakhir di samudra ketidakadilan.
Di era ketika kesetiaan dibeli dan kebebasan ditukar dengan kenyamanan, siapa yang masih punya nyali untuk mengibarkan bendera bajak laut?
Mereka adalah orang-orang yang sadar bahwa diam adalah kejahatan baru. Bahwa tunduk adalah bentuk kematian pelan-pelan. Bahwa hidup tidak selalu soal menjadi benar di mata hukum, tapi menjadi benar di hadapan nurani.
Psikologi Perlawanan dan Amarah yang Dikelola Seperti Doa
Namun tak semua perlawanan bermula dari puisi atau simbol. Kadang ia tumbuh dari hal yang paling sederhana yakni rasa lelah. Lelah melihat ketimpangan yang terus direproduksi. Lelah menjadi penonton dalam hidup sendiri. Di titik inilah Bert Klandermans, seorang psikolog sosial asal Belanda, menemukan celah di mana protes bukan sekadar aksi politik, tapi juga proses psikologis.
Menurut Klandermans, partisipasi dalam aksi protes tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari tiga proses besar; kesadaran kolektif, arah kognitif, dan arah emosional. Di balik satu teriakan di jalan, ada badai dalam jiwa. Di balik satu poster “Turunkan!” ada proses panjang dari kegetiran, kepergian, pertemuan, hingga tekad.
Pertama, manusia harus merasa bagian dari kelompok. Ia harus menyadari bahwa penderitaannya bukan unik, melainkan sistemik. Bahwa ada “kami” dalam penderitaan “aku”. Kesadaran kolektif ini adalah benih dari solidaritas.
Kedua, harus ada keyakinan bahwa protes bisa berdampak. Ini yang disebut Klandermans sebagai arah kognitif. Manusia tidak akan beranjak dari rumah hanya untuk menuai kegagalan. Mereka harus percaya, walau setitik, bahwa teriakan mereka bisa menumbangkan tembok.
Dan ketiga, arah emosional. Rasa marah, jijik, iba, dendam, atau cinta. Semua emosi ini diolah, dimasak perlahan hingga menjadi bahan bakar aksi. Protes tanpa emosi hanyalah seminar. Tetapi emosi tanpa arah hanya akan menjadi amuk. Klandermans menekankan pentingnya arah emosional yang terstruktur. Dan di sinilah simbol seperti Jolly Roger memainkan peran penting.
Bendera tengkorak itu tidak hanya menggugah visual, tetapi juga emosi kolektif. Ia menghadirkan rasa keterhubungan, rasa bahwa “aku tidak sendiri”. Bahwa ini bukan sekadar perlawanan individual, melainkan pertunjukan solidaritas. Dalam banyak gerakan protes, simbol menjadi fondasi emosi bersama. Ia menjadi altar tempat orang-orang menyalakan api kecil harapan.
Perhatikan bagaimana bendera Palestina, topeng Guy Fawkes, atau logo Anonymous bisa menyatukan individu yang belum pernah bertemu. Mereka menciptakan rasa bahwa kita sedang berjalan di jalan yang sama. Dalam psikologi protes, inilah kekuatan mitos. Simbol menjembatani jurang antara logika dan emosi, antara kemarahan dan harapan.
Dan Jolly Roger? Ia adalah mitos yang berjalan. Sebuah narasi visual bahwa perlawanan tidak harus elegan, tapi harus jujur. Ia menertawakan kematian, karena ia tahu bahwa hanya yang tak takut mati yang bisa benar-benar hidup.
Simbol, Luka, dan Kebangkitan
Dalam dunia yang dikelola oleh algoritma dan dibungkus oleh eufemisme, protes seringkali dipandang sebagai gangguan. Orang yang turun ke jalan dianggap “tidak tahu bersyukur”, “tidak beretika”, “ditunggangi”. Tetapi siapa yang sebenarnya menunggangi siapa?
Apakah mahasiswa yang menolak revisi undang-undang? Apakah buruh yang menuntut upah layak? Atau mereka yang berdasi dan duduk nyaman dalam gedung ber-AC, menunggangi nasib jutaan orang dengan pena?
Simbol seperti Jolly Roger menjadi pengingat bahwa sistem bisa dilawan, bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan makna. Bahwa dunia tidak akan berubah jika kita terus mengandalkan bahasa yang sudah lama dijinakkan oleh kekuasaan.
Tengkorak putih itu menatap kita semua dengan senyum dingin. Ia tidak menjanjikan kemenangan, tetapi ia menolak tunduk. Ia tidak membawa manifesto ideologi, tapi ia membawa semangat yang tak bisa dibunuh.
Bert Klandermans telah menjelaskan bagaimana psikologi protes bekerja. Tapi simbol seperti Jolly Roger menunjukkan mengapa protes tetap hidup, bahkan dalam dunia yang terus mencoba membungkamnya. Ia menunjukkan bahwa sebelum sebuah revolusi terjadi, harus ada rasa percaya, bahwa luka-luka ini bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dan mungkin, suatu hari nanti, sejarah akan menulis, bahwa sebelum langit pecah dan sistem runtuh, dulu pernah ada sekelompok orang yang mengibarkan bendera tengkorak. Bukan karena mereka haus darah. Tapi karena mereka haus keadilan.