Belakangan, media sosial ramai membicarakan polemik Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan aturan pembayaran royalti musik. Banyak masyarakat bertanya-tanya, “Apakah semua aktivitas yang ada musiknya sekarang harus bayar royalti?” Polemik ini memantik diskusi panjang, mulai dari pelaku usaha, penyelenggara acara, hingga masyarakat umum yang sekadar memutar lagu di ruang publik.

Isu ini bermula dari penegakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatur perlindungan hak ekonomi para pencipta lagu, penyanyi, dan pemilik hak terkait. LMKN, sebagai lembaga resmi yang diakui pemerintah, bertugas mengelola dan mendistribusikan royalti dari penggunaan karya musik di berbagai sektor.

Apa Itu LMKN dan Mengapa Ada Royalti?

LMKN adalah lembaga nirlaba yang dibentuk pemerintah untuk mengelola hak cipta musik secara kolektif. Tugas utamanya adalah menarik royalti dari pihak yang memanfaatkan lagu atau musik secara komersial, kemudian membagikannya kepada pencipta, penyanyi, dan produser rekaman.

Royalti sendiri adalah bentuk penghargaan finansial kepada pemilik karya atas penggunaan karya mereka. Konsepnya sederhana: jika sebuah karya digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau menunjang kegiatan komersial, maka pencipta berhak mendapat imbalan.

- Poster Iklan -

Kenapa Polemik Terjadi?

Polemik muncul karena adanya persepsi bahwa hampir semua aktivitas bermusik kini dikenakan biaya royalti. Misalnya:

  • Pemutaran musik di kafe atau restoran

  • Musik pengiring di gym atau salon

  • Acara pernikahan dengan hiburan musik

  • Pemutaran lagu di hotel atau pusat perbelanjaan

Beberapa pihak menilai aturan ini memberatkan, apalagi jika musik digunakan sekadar sebagai hiburan tambahan, bukan sumber utama pendapatan. Sementara itu, pihak pencipta dan LMKN berpendapat bahwa setiap pemanfaatan karya tetap harus dihargai, karena musik tetap menjadi daya tarik dan bagian dari pengalaman konsumen.

Apakah Semua Aktivitas Bermusik Harus Bayar Royalti?

Tidak semua. Berdasarkan UU Hak Cipta, yang dikenakan royalti adalah penggunaan musik untuk tujuan komersial atau yang memberi keuntungan ekonomi, langsung maupun tidak langsung. Artinya, ada beberapa pengecualian:

  1. Penggunaan untuk kepentingan pribadi di ruang privat, seperti mendengarkan musik di rumah.

  2. Kegiatan pendidikan yang bersifat non-komersial.

  3. Ibadah atau kegiatan keagamaan yang tidak berorientasi bisnis.

Namun, jika musik digunakan di ruang publik yang mengundang orang untuk datang, berbelanja, atau menikmati layanan—maka itu masuk kategori komersial dan berpotensi wajib membayar royalti.

Bagaimana Mekanisme Pembayaran Royalti?

LMKN menetapkan tarif berdasarkan jenis kegiatan dan kapasitas tempat. Misalnya, tarif untuk hotel berbeda dengan untuk kafe kecil. Besaran tarif juga mempertimbangkan durasi, jumlah lagu, dan luas area yang terjangkau musik tersebut.

Pembayaran dilakukan oleh pemilik usaha atau penyelenggara acara kepada LMKN, yang kemudian menyalurkannya ke para pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menaungi mereka.

Dampak dan Tantangan di Lapangan

Penerapan aturan ini menimbulkan pro-kontra:

  • Dari sisi pencipta lagu, ini adalah hak yang sah dan sudah lama diperjuangkan, agar mereka bisa hidup layak dari karyanya.

  • Dari sisi pelaku usaha, ini dianggap menambah beban operasional, terutama bagi usaha kecil yang memutar musik hanya sebagai latar.

  • Dari sisi masyarakat, muncul kebingungan dan kekhawatiran akan dibebani biaya jika mengadakan acara sederhana.

Tantangan terbesar adalah edukasi publik. Banyak yang belum paham batasan antara penggunaan pribadi dan komersial, serta bagaimana mekanisme pembayaran dan perlindungan hak cipta ini bekerja.

Polemik LMKN dan royalti musik bukan sekadar soal tarif, tetapi tentang keadilan antara hak pencipta dan kebutuhan masyarakat. Prinsip dasarnya, musik adalah karya yang punya nilai ekonomi, dan jika digunakan untuk menunjang bisnis, pemiliknya berhak mendapat imbalan.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini harus dijalankan dengan transparan, adil, dan mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha kecil. Edukasi yang jelas, tarif yang proporsional, dan komunikasi terbuka antara LMKN, pelaku usaha, serta masyarakat menjadi kunci mengakhiri polemik ini.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here