Situasi sosial dan politik di Kabupaten Pati belakangan ini memanas. Gelombang demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat muncul sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dinilai merugikan rakyat. Sayangnya, aksi-aksi tersebut kerap dibenturkan dengan aparat keamanan, sehingga memunculkan dilema baru: siapa sebenarnya yang harus dilindungi oleh aparat, rakyat atau penguasa?
Akar Permasalahan: Kebijakan yang Memicu Protes
Salah satu pemicu gelombang protes adalah kebijakan pemerintah daerah yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Mulai dari kenaikan pajak, isu transparansi anggaran, hingga kebijakan tata ruang yang dinilai menguntungkan kelompok tertentu.
Masyarakat yang merasa haknya terancam kemudian turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi. Dalam sistem demokrasi, demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Namun, di lapangan, aksi ini sering kali berakhir ricuh karena bentrokan dengan pihak keamanan.
Benturan dengan Aparat: Siapa yang Salah?
Fenomena demonstrasi yang berujung bentrokan bukan hal baru di Indonesia, termasuk di Pati. Aparat keamanan, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, sering kali terlihat memposisikan diri sebagai pelindung penguasa. Akibatnya, citra polisi dan aparat keamanan di mata masyarakat menjadi negatif.
Padahal, tugas utama aparat bukan hanya menjaga stabilitas politik daerah, tetapi juga menjamin keselamatan warga yang sedang menyalurkan pendapatnya secara damai. Ketika aparat lebih fokus menjaga keamanan bupati atau pejabat, sementara aspirasi rakyat diabaikan, rasa ketidakadilan pun semakin menguat.
Hak Rakyat dalam Menyampaikan Pendapat
Pasal 28E UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga mengatur bahwa penyampaian pendapat di muka umum adalah hak asasi yang tidak bisa dilarang, selama dilakukan dengan tertib dan sesuai aturan.
Namun, dalam praktiknya, hak ini sering terhambat oleh pendekatan keamanan yang represif. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ruang dialog, berubah menjadi ajang saling dorong dan bentrok fisik.
Mengapa Rakyat yang Harus Dilindungi?
Alasan utama aparat harus memprioritaskan rakyat sederhana: rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi. Bupati, wali kota, atau pejabat lainnya hanyalah pelaksana mandat rakyat. Jika kebijakan yang mereka buat menimbulkan keresahan, wajar jika rakyat bereaksi.
Melindungi rakyat berarti menjaga keberlangsungan demokrasi. Jika aparat terlalu condong melindungi penguasa, maka kepercayaan publik terhadap institusi keamanan akan runtuh. Dan ketika kepercayaan itu hilang, potensi konflik sosial justru semakin besar.
Jalan Tengah: Keamanan Tanpa Represi
Tidak ada yang menolak pentingnya menjaga ketertiban umum. Namun, keamanan tidak harus berarti memukul mundur atau membubarkan paksa demonstrasi. Ada cara-cara dialogis yang lebih manusiawi:
-
Fasilitasi aspirasi – Aparat bisa menjadi mediator antara massa dan pejabat daerah.
-
Pengamanan non-konfrontatif – Mengawal jalannya aksi tanpa memicu provokasi.
-
Transparansi komunikasi – Menjelaskan prosedur dan aturan dengan terbuka kepada peserta aksi.
Dengan cara ini, keamanan terjaga, aspirasi tersampaikan, dan citra aparat tetap positif.
Dilema masyarakat Pati ini menunjukkan bahwa masalah bukan hanya pada kebijakan bupati, tetapi juga pada cara penanganan aspirasi rakyat. Aparat keamanan harus ingat bahwa mereka digaji oleh negara untuk melindungi warga, bukan hanya pejabat.
Jika aparat bisa memposisikan diri sebagai pengayom yang netral, demonstrasi tidak perlu menjadi ajang bentrok. Rakyat terlindungi, demokrasi berjalan, dan pemerintah pun mendapat masukan yang berharga untuk memperbaiki kebijakannya.