Di Tegalwirang namanya, kampung yang sepi dan sunyi itu persis seperti halaman buku kosong. Hiduplah seseorang Radi nama panggilannya, ia hidup sebatangkara sedari kecil hingga ia dewasa. Sekarang, usianya telah memasuki kepala tiga yang kadang kalau ia hitung-hitung tak pernah bisa pas angkanya, dia lupa kalau dia tidak pernah sekolah, tetapi tetap saja mengelak kalau soal umurnya ia tau seakan ia bisa menghitungnya.
Sedari kecil Radi hidup bersama ibunya, semenjak bapaknya meninggal dunia, Radi jadi senang naik sepeda kemana-mana karena dulu pertama kali yang mengajarinya naik sepeda adalah bapaknya. Setiap pagi Radi mengayuh sepeda tua pemberian bapaknya dari hasil bertani sawah satu petak di pojok kampung Tegalwirang itu.
Sepeda itu bernama martin, nama yang diberinya sendiri karena ada klakson di depannya kalau ia tarik klaksonya sepeda itu berbunyi “Trin… Trinn…” jadi ia menyebutnya martin. Nama martin juga bukan sekonyong-konyong ia beri begitu saja, buktinya sedari pemberian bapaknya hingga ia dewasa sekarang ia tetap merawatnya dengan baik dan penuh dengan kasih sayang. Setidaknya, martin memberikan pengaruh yang luar biasa buat Radi dalam menjalani kehidupan.
“Woi, mang Radi mau kemana?” Anak kecil berseragam sekolah yang menyapa Radi ketika Radi lewat.
Radi begitu terkenal, bahkan saking terkenalnya Radi sampai terkenal di satu kecamatan, orang mengetahui Radi. Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dan tua. Semua tau siapa Radi. Pernah suatu ketika Radi menjadi badut untuk menghibur acara ulang tahun atau acara hajatan di desanya dan tetangga desa. Saat ia menjadi badut Radi dengan begitu lihainya berjoged dengan mengayunkan pinggangnya hingga seluruh anak-anak tertawa dan orang tuapun ikut tertawa.
“Radi kau ini jadi badut baru pertama kali, hebat betul goyongannmu sampai aku tak berhenti ketawa terbahak-bahak” Ucap ibu-ibu yang mengantar anaknya di acara ulang tahun tersebut.
“Cocok kan bu saya jadi badut” Radi ikutan tertawa, tawanya lebar tidak ada perasaan malu dari raut wajah Radi.
***
Kini Radi terlihat ceria, walaupun sejenak Radi masih memikirkan masa depannya. Umurnya sudah kepala tiga tetapi hidupnya masih begini-begini saja, tidak ada perubahan dan tidak ada kemajuan.
“Bu, Radi bingung mau kerja apa, masa mau jadi badut lagi ya bu.” Ucap Radi kepada ibunya sambil mengelap martin di halaman rumahnya yang sejengkal.
“Ya kamutuh mau apa, Rad. Jalanin aja to hidupmu, kalau mau jadi badut lagi juga ndak apa-apa, itukan kerja juga nak.” Ucap ibunya yang sedang menjahit sarung Radi yang bolong akibat di gerogoti tikus.
“Iya bu, Radi juga bingung, jadi badut ya segitu-gitu aja bayarannya, capenya ngga kira-kira.” Radi membalas ibunya sambil mengusap keningnya yang sedikit berkeringat karena mengelap martin.
“Kalau ngga kamu jadi tukang pijat saja, Rad. Kamu kan bisa mijat, ibu aja dipijak kamu sembuh kemarin” Ibunya membalas kebingungan Radi tentang pekerjaan, lupa Radi bisa memijat.
***
Sore hari, Radi keliling ke rumah-rumah warga, berharap ada anak muda yang nongkrong agar bisa di singgahinya atau orang tua yang sedang ngobrol di teras rumahnya. Sejenak Radi menatap jalan tanah, kanan kirinya sawah luas hamparan hijau di balut rumah-rumah warga yang berjejer. Martin terus melaju sedang, mata Radi melongok ke kanan dan kiri jalan dan terus berharap ada anak muda dan orang tua yang sedang duduk di teras rumahnya.
“Rad… Rad…” Pak Bumi memanggilnya.
Radi langsung berhenti.
“Kenapa, Pak Bumi.”
“Mau kemana, Rad kamutuh aduh… sore-sore” Ucap Pak Bumi dengan nada sedang.
“Radi lagi bingung pak” Radi membalas ringan.
“Bingung kenapa kamutuh, Rad. Aduh… ngomong-ngomong sama pak Bumi”
“Pusing cari kerjaan pak, mau nawarin pijat tapi ngga ada orang yang mau pijat pak” Ucap Radi dengan sedikit memasang mukanya memelas sedih.
“Aduh-aduh kamu jadi tukang pijat sekarang? Emang bisa ta kamutuh Rad. Kalau bisa ya pijat aku wae Rad, kebetulan pinggang aku sakit karena nyemprot sawah tadi pagi.” Balas pak Bumi menawari diri untuk dipijat.
“Wah kebetulan, Pak. Ayo dimana pak?” Balas Radi dengan wajah sumringah senang.
“Wes kamu beli minyak dulu ya, aku percaya kamu aja kamu bisa pijat, emang sulit di negara ini Rad mau cari kerja apaan, apalagi kamu yang tidak sekolah, wes aku tonggoni neng umah ya Rad.” Ucap Pak Bumi kepada Radi lalu ia memberikan uang kepada Radi untuk membeli minyak lalu melangkah pulang ke rumah.
“Oke Pak, meluncur.” Martin melesat cepat.
***
Setelah memijat pak Bumi, Radi pulang dengan sumringah sampai rumah ia lalu memanggil ibunya. Ia menyenderkan martin pada tembok yang njeplok depan rumahnya lalu masuk ke dalam mencari ibunya.
“Bu, Radi habis memijat pak Bumi bu.”
“Bu, pak Bumi ngasih uang seratus ribu banyak banget, ibu di mana?”
Radi terus memanggilnya, melihat kamar depan dan belakang namun tidak ada, lalu Radi menengok ke dapur tetap aja tidak ada.
“Aduh, ibu ini kemana ya mau juga cerita.” Ucap Radi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Radi lupa, Radi belum mengecek kamar mandi, perasaan Radi tadi ke dapur pintu kamar mandinya tertutup. Pintu kamar mandi yang hanya terbuat dari kain itu kalau ada orangnya pasti tertutup kalau tidak ada pasti terbuka tersampir rapi ke tembok yang menjulang menutup kamar mandi. Radi melangkah kembali ke belakang.
“Ibu, bu… bu….”
Tangis Radi pecah, ibunya tergeletak tak berdaya di kamar mandi dengan pakaian yang dikenakan waktu pagi ketika Radi masih ngobrol dengannya sebelum berangkat untuk mencari orang yang mau pijat.
***
Radi lalu membawanya ke kamar, setelah tubuh ibunya di baringkan, Radi langsung lari keluar mencari pertolongan kepada tetangga dekat rumahnya.
“Tolong pak, ibu Radi tak sadarkan diri” Ucap Radi sambil sesegukan menangis
“Tenang Radi, ibu kamu kenapa, ada apa? Tenang.” Balas tetangga rumahnya sambil terburuh-buruh melangkah ke rumah Radi.
Orang-orang tiba-tiba datang berbondong-bondong, melihat sekelebat dan menyaksikan ibunya yang sudah tak bernapas di kamarnya. Radi duduk di pojokan, sesekali ia mengusap air matanya yang terus menetes. Ia tak pernah menyangkah hal seperti ini akan terjadi. Pikiran Radi kemana-mana, bagaimana kalau ia hidup sendiri, bagaimana kalau ia tak bisa menjalani hidup sendiri tanpa sosok ibunya, bagaimana mengurus rumah yang setiap kali ada ibunya membereskan semuanya.
Radi terus menangis, uang yang ada di sakunya hanya seratus ribu itupun hasil dari memijat pak Bumi tadi. Ia memikirkan bagaimana biaya pemakaman ibunya yang besar yang memakan banyak uang, ia berpikir juga bagaimana untuk biaya tahlilan selama tuju hari di rumahnya kalau uangnya hanya ada seratus ribu.
“Rad, yang sabar ya ada saya disini.” Ucap mang Opik tentangga Radi sambil mengelus bahu Radi yang terus menangis di pojokan.
“Nanti saya yang urusin biaya pemakaman dan juga tahlilannya Rad dengan warga lain. tenang ya Rad.” Mang Opik terus membujuk Radi agar Radi tenang.
***
Radi adalah manusia biasa, kemiskinan telah menggerogotinya sejak lama. Bahkan, ketika ia lahir orang tuanya hampir tak bisa membeli susu untuknya, bahkan jangankan susu beraspun mendadak pinjam dari tentangga karena sawahnya yang satu petak di pojok desa gagal panen akibat cuaca buruk. Inilah wajah kemiskinan Radi, di tengah kesulitan ekonomi dan kehidupan sosok ibunya yang ia sayangpun akhirnya meninggalkan Radi untuk selama-lamanya. Hidup yang Radi punya hanya martin sepeda tuanya hasil dari pemberian bapaknya yang tidak mungkin dijual suatu hari nanti karena begitu sangat berharganya.
***
1 Tahun berlalu
“Di negara yang kaya akan sumber daya alamnya ini Rad, manusia tetap saja kelaparan. Orang seperti kita-kita ini walaupun miskin tak punya apa-apa tapi jangan sampai surut berusaha iya to.” Ucap Pak bumi kepada Radi
“Iya pak, betul. Tapi anehnya ko bisa ya hanya kita yang miskin, padahal orang-orang di tv-tv yang pakai jas itu kalau kerja pada tidur ya, kenapa ngga di pecat. Harusnya kan dipecat ya pak terus ngga punya pekerjaan karena ngga ada yang mau menerima dia bekerja.” Balas Radi sambil memijat kaki pak Bumi.
“Walah-walah ngomong apa kamu Rad, gaboleh seperti itu, nanti kamu di penjara loh, duasaar ora sekolah kamu Rad… Rad…” Pak bumi kaget mendengar ucapan Radi.
Selesai.
🔥🔥