Saya habis baca buku Birth of Korean Cool karya Euny Hong. Buku itu bercerita bagaimana Korea Selatan (Korsel) berhasil mengubah diri dari negera miskin pasca perang menjadi kekuatan budaya baru. Melalui gelombang hallyu (K-Pop, drama, film dan kosmetik), negeri Ginseng itu menjadi kekuatan baru budaya.
Hong (seorang penulis dan jurnalis) membedah “kekerenan” Korea. Kasus itu bukan kebetulan dan tiba-tiba tetapi juga karena matangnya strategi pemerintah, kerja keras industri hiburan, dan kreativitas generasi muda. Tak hanya itu, Hong melihat juga dari sisi politik, ekonomi dan sosial bagaimana budaya pop menjadi soft power yang berhasil.
Salah satu bagian menarik adalah soal musik Rock ‘n’ Roll. Benarkah pelarangan musik Rock ‘n’ Roll berhubungan dengan kesuksesan K-Pop? Era 1960-1980, Korsel menerapkan kontrol ketat budaya. Banyak lagu dilarang tayang.
Ya waktu itu pemerintahan otoriter yang dipimpin Park Chung-hee. Rambut anak muda diatur. Panjang sedikit kena razia, lagu yang beredar diawasi, musisi yang dekat dengan budaya “seks, minuman keras, dan politik” disikat. Shin Jung-hyun (pelopor musik rock Korea) pernah dipenjara karena terlibat kasus ganja dan dilarang tampil. Kebijakan budaya yang konservatif membawa dampak menurunnya minat pada musik Rock ‘n’ Roll dan mulai menggeliatkan budaya Korea (salah satunya K-Pop).
Jadi, mitos yang mengatakan bahwa pelarangan Rock ‘n’ Roll membuat K-Pop berkembang memang iya, tapi tidak semata-mata karena pelarangan musik dari Amerika itu. Tetapi, samangatnya bagaimana melindungi budaya asli Korea, tentu yang baik. Otoriter tetapi punya dampak baik. Buktinya seks, minuman keras, barang-barang memabukkan dilarang, bukan?
Katanya Estetika lebih Penting
Pelajarannya yang bisa dipetik apa? Pelarangan budaya yang dianggap “tidak sehat” di Korsel memberikan kesempatan pemerintah mendorong konsep “lagu populer sehat” (geonjeong kayo). Lagu itu untuk membentuk citra masyarakat ideal. Mengapa? Karena budaya anak muda yang liar dan eksperimental (seperti rock psychadelic dari Shin) dianggap “mengganggu ketertiban”. Bahkan, tayangan go-go dan rock pun pernah dilarang — tak hanya Rock ‘n’ Roll.
Ya intinya pemerintah Korsel lebih memilih estetika yang “tertib” daripada gaya bebas. Nah K-Pop mewakili estetika itu. Disamping estetika (bintang ganteng dan cantik, rapi) juga tak berkaitan dengan “gaya hidup bebas” (termasuk yang berbau alkohol).
Nah, diakui atau tidak pelarangan musik Rock ‘n’ Roll menjadi pendorong musik dalam negeri Korsel yang lebih terkontrol dan sesuai nilai “nasional”. Musik perlu lembut dan mudah dicerna untuk dipromosikan. Tidak seperti musik Rock ‘n’ Roll yang dicurigai pemerintah bisa memicu pemberontakan sosial. Rock “n” Roll juga dianggap pemerintah membawa “pengaruh asing yang liar”. Baru pada tahun 1990an dan 2000an, jalan pertumbuhan K-Pop semakin subur.
Pada tahun 1990an musik Korsel lebih teratur. Dalam era itu maka muncullah K-Pop yang ciri khasnya sangat berbeda dengan musik Rock ‘n’ Roll. K-Pop menonjolkan koreografi, visual dan produksi massal yang rapi. Pelarangan Rock ‘n’ Roll membuka kreativitas musisi Korsel tertantang membentuk musik baru seperti K-Pop tersebut. Akibatnya, K-Pop tak hanya menjadi musik hiburan dalam negeri tetapi tumbuh menjadi salah satu ekspor budaya Korea di panggung global.
Budaya di Korsel bergerak seperti air bah. Mencari celah, menembus batas, lalu mengambil bentuk baru ketika wadahnya berubah. Rock ‘n’ Roll tak pernah benar-benar “ditolak”. Ia hanya sempat direm lalu memberi kelonggaran bagi perkembangan K-Pop.
Kekosongan Musik di Korea
K-Pop kemudian mengambil peran kekosongan dan pelarangan Rock ‘n” Roll. Kemampuan K-Pop karena mampu memadukan craft (latihan bertahun-tahun), content flywheel (rilis berkelanjutan dan peran media sosial), komunitas global yang militan. Dari ruang latihan di Seoul ke panggung “stadion dunia” perjalanan panjang dengan ujung gemerlap. Bukan sekadar trend, melainkan tumbuh menjadi industri budaya yang punya akar kuat pada sejarah, kerja kolektif dan kemampuan “membaca perkembangan zaman”.
K-Pop semakin berlari kencang karena memanfaatkan dunia digital. Internet menjadi turbocharger. Akhirnya Korsel bisa berbangga bahwa musik non Inggris (terutama) dan Amerika bisa menaklukkan arus utama musik dunia. Sejak saat itu, platform media sosial dihiasi dengan musik-musik Korea dan penuh dengan muatan-muatan “berbau Korea” (drama, make up, produk teknologi bernama Samsung).
K-Pop akhirnya menjadi etalase Korea dengan paket lengkap: musik, koreografi, fashion, dan beauty. Apalagi didukung streaming party, hastag campaign, fundraising hingga membentuk grup-grup penggemar yang kian menjamur.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pelajaran pentingnya bahwa perubahan budaya memerlukan peran pemerintah. Perubahan budaya memang bisa terus bergerak namun tanpa peran pemerintah yang punya kebijakan akan mengalami pelambatan, bahkan jangan-jangan budaya lokal akan tergerus budaya asing.
Di Indonesia pengembangan budaya nasional tanpa ada kebijakan pemerintah akan tergerus budaya asing. Ketidaktangguhan proteksi seperti Korea (meskipun agak otoriter) membuat Indonesia mulai kehilangan budaya nasional.
Apa buktinya? Generasi muda kita lebih akrab dengan budaya populer Korea daripada budaya sendiri. Budaya sendiri hanya muncul saat upacaya hari kemerdekaan, hari Kartini dan lain-lain. Upacara dengan pakaian adat itu pun karena “pemaksaan” pemerintah. Tapi itu sebatas atribut pakaian adat. Pola pikir, gagasan dan perilakunya jangan-jangan sudah berubah mengikuti budaya asing? Musimushida