Pendahuluan: Di Luar Siklus Kekerasan
Konflik Israel-Palestina, dalam wacana publik global, sering kali direduksi menjadi sesuatu yang sederhana: sebuah siklus kekerasan yang tak berkesudahan antara dua pihak yang memperebutkan suatu wilayah. Namun, analisis yang lebih mendalam menyingkapkan sebuah realitas yang jauh lebih terstruktur dan asimetris. Sejak pendudukan militer atas Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza pada tahun 1967, dan secara formal dilembagakan melalui kerangka Perjanjian Oslo pada dekade 1990-an, kehidupan warga Palestina telah dibentuk oleh sebuah arsitektur kontrol yang canggih dan meresap. Ini bukanlah sebuah pendudukan militer konvensional yang bersifat sementara, melainkan sebuah sistem permanen yang dirancang untuk mengelola populasi, menguasai wilayah, dan mencegah terwujudnya kedaulatan Palestina.
Maka dari itu tulisan ini berargumen bahwa sistem kontrol Israel beroperasi melalui tiga pilar fundamental yang saling terkait dan saling memperkuat: (1) fragmentasi teritorial yang disengaja melalui pembagian administratif dan blokade total; (2) pembatasan mobilitas yang sistematis melalui infrastruktur fisik dan birokrasi yang rumit; dan (3) penerapan sistem hukum yang tersegregasi yang menciptakan hierarki berbasis etnisitas dan identitas. Antropolog Israel, Jeff Halper, menyebut keseluruhan sistem ini sebagai “Matriks Kontrol”—sebuah jaringan kekuasaan yang berlapis dan tumpang tindih (militer, birokrasi, hukum) yang memungkinkan Israel mengendalikan setiap aspek kehidupan Palestina tanpa perlu menduduki setiap kota dan desa secara fisik sepanjang waktu (Halper, 2008).
Lebih jauh, sejarawan Ilan Pappe menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan ini bukanlah produk sampingan dari perang atau respons terhadap kekerasan, melainkan kelanjutan logis dari proses kolonialisme pemukim dan pembersihan etnis yang dimulai pada Nakba (bencana) tahun 1948. Dalam Gaza in Crisis, Pappe berpendapat bahwa tujuan utamanya adalah untuk memiliki “tanah sebanyak mungkin dengan jumlah orang Arab sesedikit mungkin” (Chomsky & Pappe, 2010: 45). Memori kolektif akan Nakba, seperti yang didokumentasikan dalam An Oral History of the Palestinian Nakba, berfungsi sebagai lensa untuk memahami bahwa perampasan dan pengusiran bukanlah peristiwa tunggal di masa lalu, melainkan sebuah proses yang terus berlangsung hingga hari ini (Abdo & Masalha, 2018).