Aku lahir di sebuah rumah yang tidak pernah diam. Di dindingnya, cat hijau pudar berdenyut pelan seperti dada seseorang yang sedang menahan napas. Atapnya berderit, meski angin di luar diam saja. Di tengah ruang tamu, ada kendi berisi air laut yang tak pernah kering, seolah diam-diam mendapat suplai dari samudra yang entah di mana. Ibu bilang kendi itu adalah warisan keluarga: “Kalau airnya habis, kita akan mati.”
Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa kendi itu lebih penting daripada aku. Setiap pagi, Ibu duduk di kursi rotan, memegang daftar panjang “hal-hal yang tidak boleh dilakukan anak lelaki.” Dilarang pergi jauh dari rumah. Dilarang berenang di pantai, meskipun ombak hanya dua puluh langkah dari teras. Dilarang tidur tanpa pintu kamar terkunci. Ia bilang dunia penuh binatang buas, tapi aku tahu yang dimaksudnya bukan harimau atau ular—ia bicara tentang sesuatu yang hanya bisa dilihat dari balik mata seorang ibu.
Aku tidak pernah mengenal Ayah. Menurut Ibu, Ayah meninggal di laut pada malam ketika bintang-bintang jatuh seperti hujan. Namun setiap kali aku bertanya lebih jauh, bibir Ibu mengatup rapat, seperti pintu yang dikunci dari dalam.
Masa kecilku adalah ritual. Setiap pagi, aku harus meminum satu sendok air dari kendi warisan itu. Rasanya asin, dingin, dan sedikit pahit seperti air mata. Ibu berkata itu untuk mengusir mimpi buruk. Anehnya, setelah meneguknya, memang selalu ada kabut tipis di kepalaku, membuat mimpi dan kenyataan bercampur.
Kadang, aku melihat hal-hal yang Ibu tidak bisa lihat. Seekor ikan perak sebesar kelingking melayang di udara, berenang di ruang makan. Seekor kepiting berjalan di dinding seperti cicak. Dan suatu malam, ketika listrik padam, aku melihat bayangan besar di pojok kamar: tubuh manusia, tapi kepalanya kepala ikan paus, matanya hitam dan bulat. Ia tidak bergerak, hanya mengawasi.
Keesokan paginya, aku bertanya pada Ibu.
“Ah, itu cuma tanda kamu kurang tidur,” katanya, sambil memaksaku minum air kendi dua sendok sekaligus.
Ketika aku berumur dua belas tahun, aku mendengar suara dari laut.
Suara itu memanggil namaku, berulang kali, seperti suara ayah yang tidak pernah aku dengar tapi entah kenapa terasa akrab. Aku ingin berlari ke pantai, tapi Ibu menahanku.
“Kalau kau keluar malam ini, kau tidak akan kembali,” katanya dengan nada datar. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku terlalu kuat, seolah tulangku bisa retak.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Dari jendela, aku melihat cahaya biru pucat di tengah laut, berdenyut seperti jantung. Aku tahu di sanalah jawaban berada. Tapi pintu kamarku terkunci, kuncinya di saku Ibu. Sejak malam itu, suara dari laut datang setiap bulan sekali, selalu saat bulan purnama. Selalu memanggil namaku. Dan setiap kali, Ibu selalu menemukan cara untuk menghalangi.
Ketika aku beranjak dewasa, aku mulai merasakan perasaan yang sulit dijelaskan—bukan hanya pada laut, tapi pada kebebasan yang laut wakili. Aku mulai bekerja di kota kecil, cukup jauh dari rumah, sebagai penjual alat pancing. Ironis, pikirku. Aku menjual kail, umpan, dan jaring kepada nelayan, padahal aku sendiri tidak pernah diizinkan memegang perahu.
Suatu hari, seorang nelayan tua datang membeli jaring. Saat ia tahu aku anak dari rumah di ujung laut, wajahnya berubah kaku.
“Air kendi itu masih ada?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Ia menunduk, lalu berkata pelan, “Jaga dirimu. Kadang, yang kita minum bukan untuk menguatkan, tapi untuk membuat kita lupa.”
Kalimat itu melekat di kepalaku. Untuk pertama kalinya, aku mulai berpikir: mungkin air kendi itu bukan pelindung, tapi penjara.
Aku mulai mengurangi minum air kendi. Diam-diam. Awalnya, kepalaku berat, seperti baru bangun dari mimpi panjang. Tapi kemudian, aku mulai melihat hal-hal lebih jelas. Rumah itu… tidak biasa. Dindingnya dipenuhi bekas coretan yang seolah pernah dihapus, tapi samar-samar menyerupai peta. Kendi itu sendiri—aku perhatikan setiap malam, ada sesuatu bergerak di dalamnya. Bukan gelembung, tapi bayangan hitam yang bentuknya berubah-ubah.
Ibu menyadari aku mulai menolak ritual itu.
“Kau ingin mati?” tanyanya suatu pagi, nada suaranya setajam pisau.
“Aku ingin tahu kenapa aku hidup,” jawabku. Itu pertama kalinya aku membantahnya.
Tatapan Ibu seperti ombak yang akan menghantam karang.
Suatu malam, aku mendengar suara langkah dari dapur. Saat aku mengintip, Ibu berdiri di depan kendi, membisikkan sesuatu dalam bahasa yang tidak kukenal. Airnya bergolak, dan dari dalam muncul wajah seorang lelaki—matanya mirip mataku. Aku terpaku. Ibu menengok dan melihatku.
“Pergi tidur,” katanya dingin.
“Siapa itu?” tanyaku.
Ia terdiam lama, lalu berkata, “Itu ayahmu. Dia di sana karena dia harus. Karena kalau tidak, dia akan mengambilmu.”
Bulan berikutnya, saat Ibu pergi ke kota, aku memberanikan diri membawa kendi itu ke pantai. Airnya bergetar hebat, seperti menolak. Aku membawanya ke tepi ombak dan menuangnya. Yang keluar bukan hanya air, tapi juga ribuan ikan kecil yang langsung melompat ke laut. Di tengahnya, sosok lelaki dari air berdiri, tubuhnya transparan, wajahnya samar tapi jelas menatapku.
“Aku tidak mati,” katanya. “Aku dikurung.”
“Kenapa?”
“Ibumu takut padaku. Takut kau akan memilihku.”
Sebelum aku bisa bertanya lagi, tubuhnya larut ke dalam ombak, meninggalkan hanya air asin di kaki. Aku menatap kendi kosong di tanganku—dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas… tapi juga takut.
Ketika Ibu pulang, ia tahu. Matanya menyala seperti obor. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menamparku hingga bibirku pecah. Lalu ia mengambil kendi kosong itu, membantingnya ke lantai. Pecahannya berubah menjadi kepiting kecil yang segera merayap ke arahku. Aku mundur, menendang mereka satu per satu ke luar jendela.
“Aku melindungimu!” teriaknya. “Kau pikir dunia akan mencintaimu seperti aku?”
Aku tidak menjawab. Ada rasa getir di lidahku, entah dari darah atau dari sisa air asin yang masih membekas.
Sejak kendi itu pecah, rumah mulai berubah. Cat di dinding mengelupas, memperlihatkan peta laut dengan tanda “X” di tengah samudra. Angin laut kini terdengar jelas di setiap sudut rumah, seperti napas raksasa. Dan suara itu… suara yang dulu memanggilku tiap purnama… kini terdengar setiap malam. Ibu semakin jarang tidur. Ia duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong ke arah pantai. Kadang bibirnya bergerak, menyebut namaku berulang-ulang, seperti mantra. Aku merasa waktuku di rumah ini akan segera berakhir.
Suatu malam, aku memutuskan untuk mengikuti suara itu. Aku berjalan menuju pantai, melewati Ibu yang hanya menatapku tanpa bergerak. Bulan purnama menggantung di atas laut, memantulkan cahaya perak ke permukaan ombak. Di sana, jauh di tengah, ada perahu kecil. Sosok lelaki—ayahku—berdiri di atasnya.
Aku berenang, meski airnya dingin menggigit tulang. Tapi setiap kali aku mendekat, perahu itu menjauh. “Kau harus memilih,” suaranya bergema di kepalaku. “Tinggal bersama ibumu selamanya, atau ikut denganku ke tempat di mana laut tidak pernah diam.”
Aku menoleh ke pantai. Ibu berdiri di sana, siluetnya gelap tapi matanya bersinar. Aku tahu, jika aku kembali, aku akan hidup… tapi tidak pernah benar-benar hidup.
Aku memilih berenang. Laut menelanku, dingin, asin, dan gelap. Tapi di dalamnya, aku melihat hal-hal yang tidak pernah kulihat di darat: kota-kota dari karang, ikan-ikan bercahaya, dan bayangan kapal karam yang dipenuhi suara-suara orang yang tidak pernah sampai pulang. Ayah menggenggam tanganku, menarikku ke bawah, melewati gerbang besar dari tulang paus.
“Apa yang akan terjadi pada Ibu?” tanyaku.
“Ia akan tetap menunggu. Selamanya.”
Ada kesedihan di matanya, tapi juga kelegaan.
Aku tidak pernah kembali ke rumah di ujung laut. Kata orang, rumah itu kini kosong. Tapi kadang, saat nelayan melewati pantai itu di malam hari, mereka melihat seorang wanita duduk di teras, memandang laut dengan kendi kosong di tangannya. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak pernah bergerak.