Sejarah adalah suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu beserta dinamikanya yang bergejolak. Lengkap dengan struktur, sistem, dan beragam pergolakan politik masa lalu. Demikianlah pandangan umum dan harfiahnya. Namun, bagi Onghokham, atau yang akrab disapa pak Ong, pengertian sejarah bakal lain pula maknanya—unik dan mungkin nyeleneh bagi sebagian kalangan sejarawan sezaman.

Apa yang dimaksud sejarah menurut pria berkepala botak asal Surabaya itu, adalah kisah tentang pergulatan kaum-kaum yang kerap memikirkan apakah esok masih bisa makan, dan kaum sekategori yang mudah dininabobokan bantuan berbau politis karena tak punya kuasa yang setara. Atau sederhananya, sejarah menurut pak Ong adalah tentang individu; tentang manusia-manusia yang tergeletak tragis sambill meringis penuh ironis di bawah kaki langit milik sang Maha Kuasa.

Bagiku sendiri, pak Ong adalah salah satu dari sedikit sejarawan yang berani meninggalkan puncak menara gading. Tulisan-tulisan kesejarahannya terlampau unik dan reflektif. Alasan kenapa aku bilang pak Ong berani meninggalkan puncak menara gading—tempat tinggal sejarawan ilmiah (banget?); lebih suka mengawang-awang bak filsuf namun enggan melihat ke bawah—adalah karena pak Ong pun menulis sejarah dalam bentuk yang mampu menyesuaikan zamannya. Tulisannya sudah banyak terbit di media massa semacam Tempo, Kompas, dan lain-lain yang tentu saja semua tentang sejarah.

Misal sebut saja tulisannya yang mengangkat tuyul. Bayangan pertama yang muncul dalam benak masing-masing sejarawan sezaman mungkin adalah sebentuk pertanyaan: Ong asli sejarawan atau bukan. Namun, setelah membacanya, bayangan semacam itu bakal lenyap. Betapa tidak terkejut bila menyadari apa yang ditulisnya bukanlah semacam cerpen, melainkan pembongkaran atas mitos yang telah lama mengakar kuat di kalangan masyarakat tradisional Jawa. 

- Poster Iklan -

Takhayul akan sosok  tuyul, menurut bapak sejarawan nyentrik kita itu, muncul akibat kecurigaan dan kecemburuan sosial ketika melihat kaum saudagar yang tiba-tiba saja bisa kaya tanpa memeras peluh. Bagaimana mitos itu dikuliti adalah poinnya. Siapa subjek yang diteliti adalah pondasinya. Dalam konteks sejarah sosial, subjek dan poin yang diangkat dan dikuliti oleh pak Ong adalah bentuk sejarah sosial. Sebabnya sederhana, mengangkat dinamika dan masyarakat bawah.

Melekatnya pak Ong dengan sejarah sosial pun diamini oleh Peter Carrey yang menyeru sebagai pengantar dalam disertasi pak Ong yang dibukukan. Menurut Peter Carey simpelnya begini: Ong daripada mengagumi sejarah nasional yang banyak berisi tokoh-tokoh pembesar, ia malah lebih suka pada kisah wong cilik dan sikapnya. Menurut Carey, sejarah akar rumput merupakan basis dari artikel-artikel yang ditulis oleh pak Ong. Pak Ong tak suka mengangkat tokoh-tokoh sentral semacam pahlawan nasional. Bagi pak Ong, pahlawan adalah rakyat yang suka makan dan minum, bukan mereka yang suka berorasi lantang di mimbar politik untuk melakukan pergerakan revolusioner.

Ketika ditelisik lebih dalam lagi soal kedekatan pak Ong—bapak sejarawan nyentrik kita—dengan sejarah sosial maka tak salah bila kita mulai berangkat dari titik kritisnya terhadap rezim Orde Baru. Pada masa Orde Baru sedang jaya-jayanya, mungkin (?) cuma pak Ong yang berani menulis esai sejarah dengan judul provokatif dan reflektif. The Inscrutable and the Paranoid, adalah esai sejarah pak Ong yang coba membuat pertalian antara dua zaman yang berbeda: Orde Baru dan Hindia Belanda. 

Subjeknya adalah kaum Priyayi, Bupati Madiun Brotodiningrat dan pihak kolonial paranoid, Residen Madiun, J. J. Dooner. Bagi pak Ong, dua zaman dua pemerintahan itu mengenakan anasir-anasir dunia hitam buat memaksakan sistem kontrol pada tingkat desa lewat pejabat lokal. Artinya gini, untuk menciptakan kepatuhan rakyat, sistem kontrol yang dipake oleh pemerintah setempat bukan hanya alat-alat formal semacam polisi, tapi bisa juga dengan cara menyewa kekuatan illegal pun semiilegal seperti preman dan kelompok kriminal lainnya sebagai mitra tak resmi dalam menjaga kontrol sosial.

Dalam konteks Hindia Belanda, pemerintah menerapkan kontrolnya dengan kekuatan-kekuatan non-formal supaya petani mau menyewakan kebun garapannya ke negara. Sementara dalam konteks Orde Baru, pemerintah pun menerapkan cara yang serupa untuk menghalangi buruh dan petani—yang mungkin pada masa itu dicap sebagai warisan PKI—merebut aset ekonomi rezim Orde Baru.

Betapa jenius dan uniknya pak Ong dalam mempertalikan dua zaman berbeda sebagai reflektif historis dan mengangkat subjek lain seperti kekuatan illegal pun semiilegal  (preman dan kelompok kriminal yang masuk ke dalam kalangan wong cilik) adalah bukti bahwa beliau punya kedekatan erat dalam sejarah sosial. 

Demikian pun dengan disertasinya yang sudah dibukukan, judulnya Madiun dalam Kemelut Sejarah. Dalam disertasinya itu, Ong lagi-lagi menggambarkan bagaimana kaum marginal, petani Madiun di abad 19, menjalani kehidupan pahit di tengah penindasan sistematis kolonial. Penelitian Ong berfokus pada sistem perpajakan Hindia-Belanda di abad 19. Di mana pajak tidak dikenakan pada individu, melainkan pada tanah. Pengumpulan pajak dilakukan oleh setiap desa dan ketika perkebunan pemerintah membutuhkan tenaga kerja lebih, maka pajak digantikan dengan cara kerja paksa. Pak Ong menyebutnya sebagai involusi pertanian. 

Dalam penelitian ini, pak Ong menyoroti seluruh dinamika baik internal maupun eksternal, before and after, sosial dan budaya masyarakat Jawa Tradisional. Dan tentu, yang utama disorot adalah bagaimana relasi priyayi dan petani di bawah kehidupan pemerintah kolonial Belanda. Sama dengan esai sejarahnya sebelumnya yang membahas Madiun pula, pak Ong dalam disertasinya ini pun mempertunjukkan bagaimana kaum priyayi bisa jadi agen perantara pemerintah kolonial dengan pribumi. Singkatnya, priyayi digambarkan pak Ong bukan sekadar pejabat, tetapi juga semacam alat sosial yang menjaga stabilitas dan keamanan kolonial.

Jika bergeser sedikit ke pandangan Peter Carey dalam menangkap makna disertasi pak Ong, tentu juga tak kalah menarik. Menurutnya, pak Ong menulis disertasi ini bermaksud untuk membebaskan rakyat Madiun dari labelisasi abadi sebagai komunis. Seolah sejarah tentang Madiun hanya soal PKI semata, tidak ada semacam sebab dan akibat. Apabila dicermati, pandangan Peter Carey tentu makesense. Pak Ong menurut penulis-penulis yang sempat berjumpa dengan beliau, memang gemar menunjuk batang hidung secara tidak langsung—istilah gaulnya mah nyatir. Bisa jadi memang salah satu makna disertasi pak Ong memang demikian adanya.

Satu yang pasti, dalam disertasinya itu, makna sejarah seolah bisa membelah diri menjadi dua atau tiga makna lainnya dan tetap menyorot dinamika yang terjadi di kaum marginal. Satu makna untuk mengangkat sejarah orang kecil, satu makna lainnya untuk refleksi zamannya.

Maka dengan demikian, sejarah sosial ala pak Ong barangkali adalah usaha untuk menyingkap realitas historis yang kerap tertimbun narasi sejarah besar—atau bisa dikatakan sih realitas yang tidak penting untuk dituliskan dalam panggung sejarah besar. Bagaimana cara beliau menuliskan sejarah sosial yang begitu unik, lain daripada yang lain, dan penuh ajakan tak langsung untuk bercermin, bagiku tak bisa dijelaskan secara sederhana. Satu simpulan yang pasti adalah kedekatan pak Ong dengan kaum wong cilik bakal selalu erat terikat amat kuat karena tulisan-tulisan sejarahnya yang bertebaran di mana-mana.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here