K-Pop memang fenomena global. Ia tidak bisa dibendung. Karenanya, banyak pihak secara hiperbola mengatakan K-Pop yang bagus-bagus. Itu tentu tidak salah. Hanya tidak seratus persen benar. Industri K-Pop juga lika-liku yang penuh puja-puji tetapi juga ada sumpah serapah.
Industri K-Pop dikenal glamor, penuh cahaya panggung, dan penampilan serba sempurna. Namun, di balik gemerlap itu, ada sisi lain yang jarang dibicarakan. Tekanan perfeksionisme, obsesi visual, dan standar kecantikan ekstrem menjadi bahaya tersendiri. Fans memang dimanjakan, tapi para idola dan bahkan penggemar sendiri ikut terjebak dalam lingkaran candu ini.
Tak Ada Habisnya
K-Pop bukan sekadar musik. Ia adalah paket lengkap. Wajah rupawan, tubuh proporsional, kulit mulus, hingga gaya berpakaian yang serba trendi. Visual jadi komoditas utama. Lembaga riset Korea Foundation pada tahun 2022 mencatat, ada lebih dari 178 juta penggemar K-Pop di seluruh dunia. Sebagian besar mengaku pertama kali jatuh cinta bukan karena musik, tapi karena visual para idol. Itulah yang disebtu candu visual.
Namun, candu visual ini sering menimbulkan ekspektasi berlebihan. Fans mulai membandingkan diri dengan idola mereka. Media sosial memperparah keadaan. Foto-foto dengan filter, fancam yang diulang berkali-kali, dan standar kecantikan yang mustahil membuat banyak anak muda merasa tidak cukup.
Jadilah candu visual. Mengidolakan sekaligus ingin meniru. Padahal jurang perbedaannya sangat besar. Tentu tidak ada paksaan menjadikan idol sebagai rujukan. Tapi jika sudah menjadi candu yang diluar batas rasionalitas manusia tentu jangan. Seolah menjadi idol hanya membutuhkan waktu singkat. Tiba-tiba terkenal.
Padahal di balik panggung, para idol menjalani latihan keras. Diet ekstrem, latihan menari berjam-jam, hingga jadwal tidur minim. Semua demi tampil sempurna. Tuntutan sempurna itu bukan hanya tekanan pribadi, tapi juga tuntutan industri.
Itulah yang disebut perfeksionisne. Perfeksionisme adalah kecenderungan menetapkan standar yang sangat tinggi dan tidak realistis. Itu menyangkut diri sendiri maupun orang lain. Juga disertai dengan kritik berlebihan dan rasa tidak puas meskipun hasil kerja sudah bagus.
Para idol akhirnya bekerja berdasarkan tuntutan industri yang berhubungan dengan K-Pop. Mereka harus tampil ini dan itu. Tidak boleh ini dan itu. Akhirnya mereka tidak menjadi manusia merdeka, bukan? Itu jika dilihat dari sisi idol.
Sebuah survei dari Korean Health and Youth Research menunjukkan, 62% trainee (peserta pelatihan) K-Pop mengalami masalah kesehatan mental karena tuntutan standar fisik. Bahkan, beberapa agensi dikritik karena terlalu menekan idol untuk mempertahankan berat badan tertentu. Kasus yang menimpa penyanyi Choi Jin-ri (Sulli) dan Jonghyun (vokalis SHINee) bisa dijadikan contoh kasus menarik. Mereka meninggal karena bunuh diri akibat depresi berat pada Desember 2017. Kejadian yang menimpa Sulli dan Jonghyun mengingatkan pada kita bahwa perfeksionisme dalam K-Pop bisa berujung fatal.
Korban Industri
Fans pun ikut terseret arus perfeksionisme ini. Remaja di berbagai negara, termasuk Indonesia, kerap terjebak membandingkan diri dengan idolanya. Mereka rela diet ketat, membeli produk kecantikan mahal, bahkan operasi plastik. Data dari Korea Consumer Agency, 40% pasien operasi plastik di Seoul adalah remaja dan mahasiswa. Lembaga itu mengatakan generasi muda banyak yang terinspirasi oleh standar visual idol.
Fenomena ini tentu menimbulkan krisis identitas. Fans kehilangan kepercayaan diri jika tidak bisa tampil sesuai standar “kecantikan K-Pop”, misalnya. Di media sosial, muncul tren toxic (meracuni dan berdampak negatif) pada fandom. Fans saling menyerang hanya karena idol mereka dianggap kurang sempurna.
Tak bisa dipungkiri, K-Pop adalah bisnis raksasa. Nilai ekspor konten budaya Korea tahun 2021 saja mencapai lebih dari 12 miliar dolar AS. Angka fantastis ini membuat industri semakin komersial. Idol diperlakukan layaknya produk, dengan wajah cantik dan tubuh sempurna sebagai “kemasan utama”. Idol menjadi korban industri. Fans juga tak terkecuali.
Namun, di balik keuntungan besar, ada tekanan yang semakin menumpuk. Banyak idol muda debut di usia belasan tahun. Mereka harus menanggung ekspektasi fans global. Kesalahan kecil bisa jadi bahan hujatan. Dunia digital membuat setiap gerak mereka diawasi tanpa henti.
Seharusnya musik menjadi hiburan. Namun, dalam kasus K-Pop, hiburan sering berubah menjadi tekanan, baik bagi idol maupun fans. Idol dipaksa untuk selalu tampak sempurna. Fans dipaksa mengikuti standar yang sulit dicapai.
Menurut survei Pew Research, 37% remaja Asia yang aktif mengikuti K-Pop mengaku merasa “kurang percaya diri” dengan penampilan mereka setelah mengonsumsi konten idol. Artinya, hiburan yang seharusnya membawa bahagia justru menimbulkan tekanan psikologis.
Tetap Waspada
K-Pop memang memikat. Visual yang menawan, koreografi energik, dan musik yang catchy jadi daya tarik global. Tapi, di balik itu semua, ada bahaya tersembunyi yakni candu visual dan perfeksionisme. Fans perlu sadar bahwa apa yang mereka lihat di layar adalah hasil dari kerja keras, tekanan, bahkan manipulasi industri.
Hiburan seharusnya memberi inspirasi, bukan menimbulkan luka batin. Menyukai K-Pop boleh, mengagumi idol juga sah-sah saja. Namun, penting bagi kita untuk tetap waras, menerima diri apa adanya, dan memahami bahwa kesempurnaan yang ditampilkan di panggung hanyalah ilusi. Dengan begitu, kita bisa tetap menikmati K-Pop tanpa harus kehilangan jati diri. Di situlah berlaku kata-kata “industri K-Pop juga lika-liku yang penuh puja-puji tetapi juga ada sumpah serapah”.