Suku Boti merupakan keturunan suku asli Pulau Timor, Atoni Metu, mendiami sebuah desa Boti di pulau Timor, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang menjadi satu-satunya kerajaan yang masih tersisa. Suku Boti adalah bukti dari keberagaman dan keunikan adat budaya di Indonesia di bagian Timor Tengah. Mereka dikenal sebagai penganut kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan Halaika.
Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai nama ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan, Uis Neno sebagai bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.
Suku Boti dipimpin oleh seorang Usif, sebutan raja bagi mereka atau sebagai pemimpin adat dan pemimpin spiritual warga. Keunikan suku Boti terlihat dari kondisi masyarakatnya dalam masalah kemandirian ekonomi. Tidak semua anak-anak Suku Boti dikirim orang tuanya ke sekolah.
Ekonomi dan Pendidikan
Di lingkungan kerajaan (sonaf), anak-anak memilih sistem pendidikan sendiri. Salah satu kurikulumnya adalah memproduksi sandang dan pangan seperti membuat minyak goreng dan memintal kapas untuk bahan pakaian atau kain tenun. Orang Boti membuat minyak goreng dari kelapa yang diolah secara tradisional. Berbeda dengan minyak goreng pada umumnya yang berbahan dasar kelapa sawit.
Kelapa banyak tumbuh di pekarangan rumah warga Boti, sehingga mereka tak pernah memiliki masalah mengenai pasokan kelapa. Sebelum diolah menjadi minyak goreng, kelapa-kelapa itu diparut untuk diambil saripatinya. Saripati yang sudah terkumpul kemudian
dimasak hingga mengental. Lalu proses akhir menyaring ampas dan minyak goreng kelapa. Ampas kelapa yang dihasilkan dari penyaringan minyak goreng tidak menjadi limbah, melainkan menjadi bahan konsumsi warga Boti.
Selain mengelola bahan pangan, warga Boti menanam kapas untuk pakaian mereka. Bahkan pewarna pakaiannya alami diambil dari akar tanaman atau tumbuhan. Di Boti tidak ada upah minimun sebab rumah tenun dikelola dengan sistem koperasi. Di mana semua pekerjaan dikelola langsung oleh anggota, pun hasilnya dibagikan kepada anggotanya. Omzet yang diraup dalam sebulan mencapai 6 juta rupiah.
Pun ada juga warga Boti yang mengelola peternakan. Hewan yang dijadikan ternak biasanya adalah sapi dan babi. Seekor sapi di Boti bisa dihargai sekitar 12 juta rupiah. Mengenai pakan, karena warga Boti memanfaatkan alam maka bahan-bahan pakan ternak sudah disediakan oleh alam seperti batang Dewang—sejenis tanaman sagu—yang menjadi favorit makanan babi.
Walaupun berada dalam naungan negara Indonesia, suku Boti tidak pernah menerima sumbangan dari pemerintah. Namah Benu sebagai raja suku Boti, dalam video dokumenter Boti (2018) garapan Watchdoc Image mengatakan, “Kalau kita terima sumbangan dari pemerintah, kita akan malas bekerja. Kami hanya menunggu tanggal dan hari, kapan bantuannya akan datang. Kalau kami tidak mengharap bantuan, kami akan bekerja untuk kehidupan sehari-hari.”
Perihal hasil panen seperti padi dan jagung, seluruh warga Boti tidak boleh menjualnya, karena aturan adat menegaskan hanya untuk konsumsi sendiri. Setelah selesai panen, sisa jagung dan padi lama itu diambil bibitnya untuk ditanam kembali. Orang Boti sangat mandiri sehingga tidak pernah membeli apapun dari luar, hanya dengan memanfaatkan yang mereka punya dan alam sediakan.
Benih jagung dari pemerintah pun tidak pernah diambil oleh masyarakat Boti, karena adat mengatakan bahwa warga Boti harus menanam jagung dari bibit sendiri. Bibit itu berasal dari turun-temurun sehingga harus dijaga dan terus dilestarikan. Jadi apapun yang ditawarkan dari pemerintah atau dari luar, maka suku Boti tak segan untuk menolaknya.
Bentuk Religiositas
Orang Timor asli, termasuk Boti, sejak dulu tak pernah mengenal konsep agama seperti sekarang. Hanya baru-baru ini saja ada agama-agama yang muncul. Namun, leluhur Boti tidak pernah mengenalkan agama kepada masyarakat Boti, sehingga warga Boti hanya bertahan dan meneruskan adat dan tradisi.
Di Boti, bila ada orang meninggal, jasadnya hanya dikubur, tetapi jiwanya digantung di langit-langit rumah keluarganya. Dengan begitu, ketika tidur dan mimpi, tak jarang jiwa-jiwa warga Boti yang meninggal akan menjaga bahkan hadir dalam mimpinya. Karena orang Boti mempunyai prinsip, “Jika berbuat baik di masa hidupnya, setelah mati jiwanya akan menjaga anak cucunya tetap baik. Akan tetapi, jika berbuat jahat, jiwanya akan berpengaruh negatif kepada keluarga dan anak cucunya, sehingga kehidupan mereka menjadi susah.”
Aturan Adat Keluarga
Pada persekutuan-persekutuan kecil, seseorang dikatakan telah atau menjadi dewasa saat telah melakukan perkawinan dan tinggal bersama keluarganya. Artinya, hidup secara mandiri dengan keluarga barunya, mendiami rumah sendiri. Pasangan yang telah melakukan perkawinan berpindah rumah dari orang tuanya dan mendirikan rumah di pekarangan rumah orang tuanya.
Bila sudah mempunyai keluarga baru, semua sistem dan aturan baru pun akan dibuat dan disepakati oleh suami-istri. Pembagian tugas dan peranan di suku Boti tidak menerapkan satupun teori tentang kesetaraan. Dalam hukum adat Boti, pembagian tugas dan peranan tersebut sudah dianggap setara dan harus dihormati. Walaupun mungkin secara teori kesetaraan, aturan di Boti bias gender, artinya mendiskriminasi salah satu pihak dengan memberi label bahwa urusan luar adalah suami dan urusan dalam adalah istri.
Hal tersebut diejawantahkan bahwa warga Boti membagi tugas antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) secara signifikan. Biasanya lelaki bertugas mengurus bagian eksternal rumah seperti berkebun, berburu, dan berternak. Sementara pekerjaan urusan rumah tangga diserahkan kepada perempuan. Di sisi lain, tugas lelaki sekaligus dijadikan sebagai mata pencaharian bagi sebuah keluarga. Sedangkan perempuan biasanya bekerja di koperasi membuat pakaian atau kain tenun dari kapas.
Bila melihat kekompakan warga Boti dalam urusan pekerjaan rumah tangga, menjadi tanda bahwa peradaban keluarga di Boti sangat menjunjung tinggi gotong royong. Suami dan istri tak hanya saling berkompromi mewujudkan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, dan pangan) saja, melainkan memunculkan pula keharmonisan dalam rumah tangganya. Bila sudah terjadi kesepakatan ihwal pembagian tugas dan peran, kemudian salah satu pihak menerima dan tidak terpaksa, itu sebuah representasi dari keluarga yang rukun.
Aturan adat terhadap laki-laki yang belum menikah ialah rambutnya harus panjang tetapi mesti diikat di belakang bawah kepala. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu tokoh yang tertera dalam film dokumenter di atas bernama Pahsai. Namun, bila sudah menikah, laki-laki mengikat rambut panjangnya di bagian atas kepala dan tidak boleh dipotong.
Untuk menikah pun dalam masyarakat Boti tidak gampang. Laki-laki harus memiliki aset untuk dijadikan sebagai jaminan penghasilan kelak manakala sudah berumah tangga. Dalam film dijelaskan, bahwa Pahsai—salah seorang kerabat raja—masih belum menikah dengan alasan belum waktunya. Namun, secara adat Boti, Pahsai sudah boleh menikah karena sudah memiliki aset ekonomi seperti ladang jagung, ternak sapi, dan babi.
Hukum Pidana Adat Boti
Standar kesejahteraan keluarga masyarakat Boti sangat mencerminkan representasi suatu masyarakat adat. Suku Boti tidak memandang kriminalitas sebagai persoalan moral semata, melainkan terkait faktor ekonomi. Dengan demikian, bila terjadi kasus pencurian, misalnuya, semua warga Boti akan beramai-ramai mengumpulkan kebutuhan barang untuk diberikan kepada sang pencuri.
Aturan pidana adat itu dikatakan langsung oleh Raja Boti bernama Namah Benu, “Kalau ada pencuri lalu kita hukum, nanti dia tetap menjadi pencuri. Setelah yang dicuri habis, dia akan mencuri lagi. Kalau dia mencuri pisang atau ubi, kita akan tanamkan dia
pohon pisang atau ubi itu. Kalau dia mencuri babi, semua warga akan kasih babi masing-masing satu ekor.”
Apa yang diucapkan Namah Benu mungkin bertolak arah dengan apa yang dicita-citakan hukum Barat—bahwa hukum itu seharusnya memberikan efek jera. Dengan tidak dihukum, malah akan dicukupi segala kebutuhannya, pencuri akan disadarkan pada aturan adat yang diterapkan di Boti. Pencuri akan kelewat malu sebab bermula berniat mencuri beberapa barang, ketika perbuatannya diketahui, malah diberikan semua barang yang ia butuhkan. Ini semacam penyadaran hukum dengan nada sindiran.
Hal tersebut secara tak langsung memberi pelajaran melalui “sufisme” bila meminjam istilah Jalaluddin Rumi. Tak heran bila barang hasil curian itu habis, pencuri akan berusaha lagi melakukan aksinya. Cara yang dipakai Namah Benu cukup ampuh dengan cara menghentikan perilaku pencuri dengan memenuhi kebutuhannya.
Sisi positif dari aturan adat pidana pencurian di suku Boti adalah mengenai tujuan hukum; keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Reaksi adat akan tujuan hukum ini sangat terasa. Masyarakat Boti ingin menyadarkan pencuri dengan perbuatan positif. Sehingga akan memunculkan kemanfaatan bagi pencuri dan masyarakat pada umumnya.
Perihal pencuri itu sadar atau tidak, maka hukum adat Boti tak pernah mengikat pada setiap pemeluknya. Namun hukum pidana adat itu dijunjung dengan sangat sukarela di Boti. Sehingga kepastian hukum pidana adat akan terasa bagi warga guna menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penerapan hukum pidana adat pada pencuri di Boti, mengandung makna tersirat. Secara tak langsung pencuri diberikan pelajaran dan kesempatan agar tak mengulangi perbuatannya lagi. Bila merasa tidak mampu atau membutuhkan sesuatu, tidak perlu melakukan cara yang merugikan seperti mencuri. Dengan melalui raja, warga Boti yang kekurangan bisa dibantu dengan apa yang raja miliki.
Namah Benu pernah menangkap seorang pencuri sapi miliknya. Secara spontan Namah memberikan satu sapi jantan dan satu sapi betina kepada pencuri itu agar ia tidak dianggap pencuri. Maka Namah mengajarkan agar warga Boti tidak perlu mencuri untuk mendapatkan kebutuhan. Sehingga tidak ada lagi pencuri yang di Boti. Dengan perbuatan Namah seperti itu, pencuri akan merasa malu dan berniatan untuk berubah menjadi orang baik.
Masyarakat adat Boti walau hanya memiliki sedikit hukum adat, tetapi mereka tetap menjunjung dan mempertahankannya hingga kini. Dari mulai aturan pendidikan, ekonomi, kepercayaan, keluarga, hingga pidana. Kesemuanya itu dijalankan oleh warga Boti demi memelihara tradisi dari nenek moyangnya.
Aturan Boti sangat mengajarkan humanisme, kerukunan, dan mandiri. Kita bisa mengambil pesan mandiri dalam segi ekonomi, seperti warga Boti tidak mau menerima bantuan apapun dari pemerintah sekecil apapun seperti bibit jagung. Humanisme dalam aturan pidana boti kita pelajari demi mengangkat niat baik pelaku pidana untuk berubah
menjadi baik. Sedangkan kerukunan terjalin dalam kesepakatan antara warga Boti yang sudah berkeluarga.