Kompleksitas persoalan bangsa hari ini sudah berada di titik yang membingungkan. Setiap hari kita disuguhi realitas yang membuat geleng kepala. Mulai dari layar televisi, portal berita digital, hingga obrolan di warung kopi, semuanya penuh dengan cerita suram tentang negeri yang katanya kaya raya ini. Namun, di balik segala diskusi panjang, kajian ilmiah, hingga teori perubahan yang bertebaran, kita masih belum menemukan jalan keluar yang betul-betul nyata. Seakan-akan wacana hanya berputar di ruang diskusi tanpa pernah menyentuh akar persoalan.

Negara ini memang sedang kronis dengan penyakitnya. Dari atas sampai bawah, dari pusat hingga daerah, masalah-masalah mengakar kuat dan menjalar ke semua aspek penting: pendidikan, ekonomi, keamanan, lingkungan, hingga politik. Polisi yang seharusnya memberi rasa aman justru kerap jadi momok menakutkan bagi masyarakat. Pendidikan semakin mahal, kualitasnya merosot, kesejahteraan guru diabaikan, sementara politisasi dan komersialisasi ruang pendidikan terus dibiarkan. Pajak kian melonjak, kesenjangan sosial makin melebar, harga kebutuhan pokok melambung. Di sisi lain, hutan-hutan dibabat untuk proyek ibukota baru, sungai penuh sampah, tambang merusak lingkungan, dan korupsi sudah begitu normal seakan-akan bagian dari budaya. Semua aspek kehidupan bangsa ini sedang sakit.

Angan-Angan Revolusi

Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan besar pun muncul: dari mana harus memulai langkah revolusi? Ada yang percaya perubahan bisa dilakukan lewat jalur diplomasi—masuk ke dalam sistem, memperbaiki dari dalam. Tapi kenyataannya, idealisme sering kali luluh oleh iming-iming jabatan dan uang. Alih-alih merombak sistem, yang ada justru larut dalam kepentingan pribadi maupun kelompok.

Ada pula yang memilih bergerak dari luar, dengan suara lantang dan aksi jalanan. Demonstrasi, kajian, hingga gerakan kultural sudah sering kita lihat. Namun, apa hasilnya? Pemerintah menutup telinga sambil menebar pesona dengan bahasa politisnya. Rakyat pun tampak sudah terbiasa hidup dalam keterjajahan yang dibungkus kata “sudah biasa”. Yang kaya tetap kaya, yang miskin tetap miskin. Para kapitalis berdiri kokoh di atas penderitaan rakyat.

- Poster Iklan -

Benar bahwa aksi-aksi massa sesekali berhasil membatalkan kebijakan semena-mena. Tetapi kasus korupsi tetap menumpuk, harga kebutuhan terus naik, feodalisme tetap subur, hukum sering timpang. Semua problem itu dirawat dalam sebuah budaya permisif yang membuat kita semakin apatis. Maka, wajar bila wacana revolusi sering kali berakhir sebatas angan-angan.

Kita Butuh Nabi

Sejarah pernah mencatat, diutusnya Nabi Muhammad SAW di jazirah Arab menjadi titik balik bagi peradaban bangsa Arab. Dari masyarakat jahiliyah yang penuh kegelapan, mereka bertransformasi menjadi umat yang lebih maju. Hari ini, melihat kondisi Indonesia yang kian rumit, kita pun tergoda membayangkan hal yang sama. Kita butuh seorang nabi untuk memimpin revolusi, menuntun bangsa keluar dari keterpurukan.

Namun kita sadar, Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Tidak akan ada lagi nabi setelahnya, kecuali Nabi Isa yang akan turun menjelang kiamat. Artinya, harapan revolusi besar yang menyeluruh tampak mustahil. Kita, rakyat dan mahasiswa, bukan nabi. Kita hanyalah manusia biasa dengan segala keterbatasan, yang mudah dijinakkan oleh iming-iming kekuasaan, jabatan, dan uang.

Tetapi, menyatakan “butuh nabi” bukan berarti menyerah pada pesimisme. Pernyataan itu adalah cermin betapa peliknya persoalan bangsa ini. Betapa jalan-jalan perubahan konvensional seakan menemui buntu. Dan betapa, tanpa kesadaran kolektif yang kuat, revolusi yang kita impikan hanyalah mimpi kosong.

Revolusi Kecil yang Konkret

Jika revolusi besar terasa mustahil, maka jalan yang tersisa adalah revolusi kecil. Revolusi yang dimulai dari perubahan sikap sehari-hari, namun dilakukan secara konsisten dan kolektif. Misalnya, keberanian menolak pungli, kesadaran memilah sampah, mendukung pendidikan alternatif, hingga menghidupkan diskusi-diskusi kritis di ruang publik.

Gerakan ini memang tidak seheroik mengibarkan bendera revolusi di jalan raya. Tetapi jika dilakukan bersama-sama, dampaknya bisa lebih nyata. Ingat, revolusi Perancis atau gerakan kemerdekaan di banyak negara berawal dari obrolan di ruang-ruang kecil, dan dari kesadaran bersama yang terus dirawat.

Lebih jauh lagi, revolusi kecil bisa berupa penguatan solidaritas lokal. Misalnya, komunitas warga yang saling membantu memenuhi kebutuhan pangan, koperasi yang dikelola secara jujur, atau ruang-ruang belajar mandiri untuk anak-anak yang tidak terjangkau pendidikan formal. Dari titik-titik kecil inilah kepercayaan sosial tumbuh, dan rasa memiliki terhadap bangsa diperkuat. Ketika rakyat saling menopang tanpa bergantung penuh pada negara, kita sedang menanam benih revolusi yang sesungguhnya.

Realisme dan Harapan

Di titik ini, kita perlu bersikap realistis. Barangkali revolusi besar memang hanya tinggal khayalan. Namun, bukan berarti kita berhenti bergerak. Minimal, ada tiga hal yang bisa kita lakukan sebagai rakyat dan mahasiswa yang masih punya nurani.

Pertama, jangan diam. Suarakan terus kebenaran, kejujuran, dan keadilan, meskipun hasilnya tidak selalu langsung terlihat. Suara kecil tetap lebih berarti daripada diam yang menormalisasi penindasan.

Kedua, bangun kesadaran kolektif. Sadarilah bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Apatisme adalah racun yang membuat bangsa makin sakit. Jika kita hanya peduli pada diri sendiri, keluarga, atau kelompok, maka kita sedang menambah panjang daftar mereka yang ikut melestarikan kerusakan.

Ketiga, mulai dari diri sendiri. Revolusi besar memang tampak mustahil, tapi revolusi kecil bisa dimulai dalam kehidupan sehari-hari: berlaku jujur, menolak praktik korupsi sekecil apa pun, melawan budaya permisif, dan membangun solidaritas. Jangan menunggu tokoh karismatik atau “nabi” baru. Jadilah pribadi yang konsisten menjaga nilai-nilai kebenaran.

Kita memang butuh nabi—bukan dalam arti harfiah, tetapi sebagai simbol harapan akan hadirnya sosok yang mampu menuntun bangsa ini keluar dari kegelapan. Namun karena nabi tak lagi datang, maka beban itu jatuh kepada kita sendiri. Mahasiswa, aktivis, rakyat, siapa pun yang masih peduli pada masa depan bangsa.

Revolusi mungkin hanyalah angan-angan, tapi kesadaran adalah sesuatu yang nyata. Selama kita mau jujur, adil, dan berani bersuara, selalu ada celah untuk menyalakan api perubahan, meskipun kecil. Indonesia mungkin tidak akan berubah secepat yang kita impikan, tetapi tanpa langkah itu, kita akan selamanya terjebak dalam lingkaran sakit yang sama.

Pada akhirnya, revolusi sejati dimulai dari kesadaran. Pertanyaan yang tersisa adalah maukah kita benar-benar bergerak, atau hanya terus membiarkan bangsa ini sakit sambil berkata, “sudah biasa”?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here