pancang-pancang ingatan kini berbaris

rumput-rumput liar yang tumbuh di tepi air
memerlukan racun untuk membunuh 
sebelum tanah yang subur dibakar
lalu ditanam tembakau.

tapi seseorang yang datang dari batavia
mengirim surat kepada sultan
“tanah siak tempat tembakau tumbuh
maka, tanamlah” ujar gramberg.

yang sekian tahun membangun harapan 
walau pun kadang hanya tinggal sisa
saat perempuan ditetapkan sebagai jinjang raja
yang menelan pahit tanah.

barangkali tanah yang demam itu 
ditugal seorang lelaki berkulit putih
sebagai penyuntik, benda-benda keras
yang menyimpan sejarah ritual semah terubuk.

- Poster Iklan -

kedatangan gramberg berlansung 
ia melihat dondang batin
dalam ingatan yang tak terhapus
pada peta bengkalis 1876
yang tertulis: “archif netherland”
peristiwa itu tempat menyulam nasib 
yang terjahit pada bukit batu
dan pancang-pancang ingatan kini berbaris.
gading marpoyan, 2025

 

dalam surat residen

orang-orang pejalan kaki akan membaca
di dalam istana
setelah william farquhar mengirim surat
“yang dipertuan tua telah mangkat”.
segalanya akan tertuju ke kursi kekuasaan
lalu mitra belanda menempelkan cap mohor.

tiada darah yang terlewati 
dari sekian dinding pengurung makam 
yang menggantang di ujung zaman
di sebelah susunan batu purba 
melapuk di bawah matahari
said ibrahim lengser ke bawah.

jantung berguncang apabila berjalan 
sebab ditimang-timang hajat
hati bersilang-pagut sehabis melihat kekuasaan
sambil memerangi jiwa
dan mengeringkan keping-keping air mata.
gading marpoyan, 2025

 

menunggang roro di selat melaka, dan antrian yang terkutuk

pada pendakian gelombang
aku tersungkur pada waktu
dan antrian panjang yang menyiksa.

“terkutuklah penguasa” kataku
sejak awal masehi ribuan pendatang untuk menghujat
tapi ia berdiri
di tepian selat melaka
menunggu kapal roro berhenti
menunggang karat dan air mata penumpang.

“dulu orang-orang cina, india dan arab” tak pernah menangis
nasib buruk penumpang lalui
tak akan membuka lembar kisah
dari sejarah yang kusut dalam kitab-kitab
sebagai kenangan dan pelajaran?

bau-bau rempah yang hilang
setelah dibawa ke sepenjang selat melaka
menuju yang paling jauh
dari gelombang ke air pasang yang dalam.

tapi yang terkutuk masih mewarisi
di tiang-tiang pelabuhan
di pangkal malam.
roro terus berjalan menyusur pasang
segalanya memang telah terkutuk pada nasib
kelasi hanya diam
tak berani berbisik pada telinga.

“siapakah yang berani bersuara?”
saat ia dirasuk rasa kantuk
mengais lambung angin, yang datang pada badan
barangkali berpura-pura tidur
dalam cuaca panas.

“menunggang roro di selat melaka
dan antrian yang terkutuk” kataku.

kini masih seperti yang dulu itu.
gading marpoyan, 2025

 

batu-batu di kaki air terjun

aku pungut segala batu, di lantai air terjun 
aku rakit jadi tasbih
sebagai pengingat masa lalu
sambil duduk melihat cekungan 
di atas sejadah yang telah jadi kawah 
memperlihatkan wajah seumpama awan pucat 
tapi ada garis-garis pelangi dalam ampunan 
melumat ingatan yang menghisap kenangan
menusuk dengan kalimat agung
dihujankan di bibir. 

yang menghapus bunyi air 
adalah rasa kekecewaan yang melubang-lubang
membentang pada setiap batu-batu
diduduki dari sekian pendatang di bawah telapak kakinya 
menghabiskan segala sedih yang berakar dalam kepala
mengikis rasa panas yang disengat matahari
menghilangkan nasib yang malang
dari tuah badan saat jadi pendatang.

duduk di puncak, 
angin-angin dari hutan kecil datang 
mendinginkan lubang-lubang badan yang telah merambati usia
ia melaju seperti membawa kekesalan
tak bisa diwakilkan dengan seribu penyesalan
di atas hamparan sejadah
tempat mengaji alam dosa.

begitulah batu-batu tenggelam 
 membasahi mata dalam dekapan rindu 
rasa haru terus menderu kepada tuhan
seperti air yang menimpa batu-batu. 
gading marpoyan, 2024

 

tasbih

kuhela nafas ini dalam putaran tasbih 
memetik janji keagungan yang merayap dalam ingatan
ke setiap namamu yang kusebut-sebut
kubentangkan hidup dan mati:
“subhanallah,” 
yang luas tak bertepi dari kaki-kaki bukit.

segala yang menopang pada tiang langit
tak terbandingi oleh lantai bumi
yang selalu tunduk dipijak
namun sujud tak terhenti di telapak kaki:
“alhamdulillah,”
segala puji melimpah pada bibir
tak ada lelah dan keluh
pada setiap basah bibirku.

di tasbih ini kulafazkan
sebagai titipan yang mengalir ke badan
menuju akhir yang lebar pada permukaan ampunan
yang diharapkan setiap waktu.

hingga detik berakhir kupersembahkan pengakuanku
pada butiran cinta yang tak berhenti dipetik
aku selalu mencari cahayanya
dalam sunyi yang menghampar kegelapan
butiran tasbih terus berputar dan bergetar
penuh keagungan yang meniti dzikirku 
satu per satu tangis berjatuhan
sebab terlalu larut dalam rindu.

(di sela butiran tasbih yang jatuh bersusun
aku mengingatkan betapa kecilnya diri
di hadapan yang abadi).

menyusuri jalan menuju takdir
tasbih pun bicara mewakili hati yang berserah
menjelang fajar menyingkap kematian
aku tetap setia menyebut namamu
dalam tasbih yang lapuk.
gading marpoyan, 2024

 

1928-1978 aku masih menunggumu

di sana, aku mandi keringat dari rasa panas
berharap angin mendarat pada tubuh
yang telah hilang dari awan adalah hujan
mimpi-mimpi yang telah merekam  
cahaya matahari pagi.

sejak 1926 orang-orang belanda datang
menggali sumur dangkal
mencari sumber listrik yang sedang berlari
menyerupai cacing tanah
menyusup dari rasa panas yang mereka rasakan.

yang tumbuh dan luntur saat penghentian 1928
wajah kamojang kehilangan cahaya
gelap datang entah dari dunia yang mana?
lebih sendu dari rasa cinta yang putus.

tapi penggalian kembali 1978
operasi pembangkit cahaya muncul
segala yang gelap tertimbun
menjejaki 250 kw
untuk menggetarkan segala kabel-kabel
yang menjalar di punggung bumi.

di celah-celah bambu
para pawang membunyi suara
menyerupai kereta api yang berjalan
di antara puing-puing batu
dan pecahan tanah merah
beserta pasir-pasir dalam ingatan
membentuk turbin-turbin.

apakah masih ada ?
1928-1978 dan 250 kw
aku masih mandi keringat
dan menunggumu pulang dalam keadaan dingin.
gading marpoyan, 2025

 

uap dalam dada kita berdua

uap yang menjadi doa-doa hutan
berdenyut dalam senyap
terus bersemayam dalam perut bumi
saat kau menggeliat sunyi
di bawah cahaya rahim
ketika pagi direnggut matahari.

apakah kau masih menampung uap abadi?
dari amal-amal listrik
membentuk teknologi sebagai tanda kesetiaan
cinta generasi ke generasi
seperti roh yang kekal dalam suara
dalam dada kita berdua.
gading marpoyan, 2025

- Cetak Buku dan PDF-
Previous articleLuka Di Balik Standar Kecantikan K-Pop
Next articleAset Digital
Joni Hendri
Joni Hendri kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus Jurusan Teater AKMR. Dan juga alumnus Jurusan Sastra Indonesia FIB UNILAK. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Jawa Pos, Riau pos, kompas.id, mediaindonesia.com, basabasi.co Dll. Terpilih sebagai penulis muda katagori puisi Emerging Writers BWF 2024. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau. Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here