Seorang filsuf dan penulis Italia yang mahir ‘bermain’ dengan tanda dan makna itu bernama Umberto Eco. Bayangkan, sebuah dunia di mana replika Menara Eiffel di desa wisata lebih ramai dikunjungi daripada peninggalan sejarah asli desa tersebut, atau di mana foto makanan di Instagram terlihat jauh lebih menggoda ketimbang aslinya di piring. Nah, itulah hiperrealitas! Di Indonesia, negeri yang kaya budaya dan selalu update teknologi, fenomena ini laksana jamur di musim hujan, tumbuh subur di berbagai sudut kehidupan kita. Mari kita intip serunya!
Diantara panggung utama hiperrealitas tentunya dunia pariwisata dan hiburan. Kita ini jagonya menciptakan “dunia lain” yang membuat mata terbelalak. Destinasi wisata buatan, mulai dari replika bangunan ikonik dunia yang mendadak dihadirkan di pedesaan, taman hiburan dengan tema fantasi yang membuat kita lupa umur, hingga desa wisata yang sengaja di-setting untuk menjadi super photogenic, seringkali sukses menggeser popularitas situs sejarah atau keindahan alam yang autentik.
Pengunjung datang bukan cuma untuk liburan, tapi juga berinteraksi dengan kembaran tersebut, selfie heboh di depannya, dan langsung pamer di media sosial. “Pengalaman yang sempurna” atau “yang instagrammable” menjadi nomor wahid, mengalahkan kekayaan sejarah atau keaslian budaya yang kadang ‘kurang hits’ di kamera. Siapa yang dapat menolak berpose di depan “Menara Eiffel mini” ketimbang ribet mempelajari sejarah candi asli, kan?
Lalu, ada lagi ladang subur hiperrealitas: media sosial dan budaya populer! Kita semua sebagai sutradara sekaligus aktor utama dari hidup kita sendiri. Citra diri yang disajikan di Instagram atau TikTok seringkali adalah versi yang sudah melewati proses kurasi, editan sana-sini, dan filter yang membuat orang lain terkesima, jauh dari kondisi bantal basah di pagi hari. Kita membangun persona digital dan mungkin hanya sebagian saja yang autentik dan sisanya, hasil polesan! Namun anehnya, itu justru diterima dan diakui sebagai “nyata” oleh followers kita. Para selebriti dan influencer juga jagonya menciptakan “kehidupan ideal” yang tampak selalu glamor dan tanpa cela. Dengan vibes yang begitu memikat, kita pun ‘terprovokasi’ untuk ikut-ikutan mengonsumsi produk atau gaya hidup yang dipromosikan, padahal mungkin saja dompet menjerit atau itu semua cuma “fatamorgana”. Representasi visual-narasi yang dibangun di sini menjadi realitas tersendiri.
Tidak hanya di ranah hiburan, hiperrealitas juga hinggap di lanskap politik dan obrolan publik kita. Kampanye politik, misalnya, seringkali lebih mengandalkan gimmick pencitraan yang disengaja, slogan yang sekadar formalitas, dan janji-janji super ideal yang nyaris terasa sebagai ‘rayuan gombal’, daripada program kerja yang konkret atau rekam jejak yang jelas. Narasi yang dibangun oleh para konsultan politik dan tim komunikasi seringkali menciptakan sebuah “realitas” alternatif yang dirancang untuk membangkitkan emosi, semangat, dan loyalitas pendukung, jauh dari analisis rasional yang mendalam.
Figur publik dapat mudah “dipoles” melalui narasi media yang disimulasikan, membentuk persepsi publik yang mungkin tak sepenuhnya berjumpa dengan kenyataan asli mereka. Sosok-sosok ini boleh jadi adalah konstruksi sempurna dari atribut yang diinginkan publik, yang dipertahankan mati-matian melalui manajemen impresi yang ketat dan upaya keras menghindari isu-isu yang dapat membuat reputasi boncos. Obrolan daring kita terkadang juga terjebak dalam perang narasi dan simbol, di mana argumen yang ruwet disederhanakan menjadi meme atau frasa kocak yang gampang banget dicerna, tapi sayangnya, seringkali mengaburkan nuansa dan kebenaran yang lebih kompleks. Siapa yang paling mahir dalam seni simulasi citra lah yang dapat ketiban untung.
Lantas, apa dampak hiperrealitas ini? Di satu sisi, ia membuka pintu bagi kreativitas gila-gilaan, inovasi desain yang out of the box, dan pengalaman hiburan yang heboh. Tapi di sisi lain, ia berpotensi mengikis apresiasi kita terhadap keaslian, sejarah, dan kompleksitas realitas yang kadang memang tidak seindah di layar. Jika kita kian terbiasa dengan yang tiruan dan disimulasikan, ada bahaya besar: Kita dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang asli, mana yang palsu, dan ujung-ujungnya malah menjadi acuh tak acuh dengan permasalahan fundamental yang perlu solusi nyata.
Hiperrealitas juga dapat memicu standar hidup yang tidak realistis, membuat kita kecewa berat atau merasa insecure karena yang tiruan itu ternyata susah banget digapai di dunia nyata. Apalagi di era digital yang makin maju, batasan antara yang nyata dan yang buatan kian kabur. Kecerdasan Buatan (AI) telah berkembang pesat, tak lagi sekadar alat bantu, melainkan entitas yang mampu menciptakan realitas alternatif, memproduksi gambar, suara, bahkan video yang begitu otentik hingga sulit dibedakan dari aslinya. Fenomena ini, yang dikenal sebagai hiperrealitas AI, adalah sebuah keniscayaan yang sedang kita hadapi saat ini.
Hiperrealitas AI menempatkan kita pada persimpangan jalan. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang kreatif dan inovatif yang tak terbatas. Namun di sisi lain, ia juga menghadirkan risiko besar, terutama dalam hal penyebaran misinformasi dan disinformasi. Konten yang dibuat oleh AI, seperti deepfake atau narasi berita palsu, bisa memanipulasi opini publik, merusak reputasi seseorang, atau bahkan memicu konflik.
Akhirnya, memahami konsep hiperrealitas ini penting agar kita dapat lebih kritis meskipun bukan berarti kita harus alergi dengan semua representasi atau simulasi. Ini tentang membangun kesadaran akan proses di baliknya. Dengan melatih kemampuan berpikir kritis, mencari pengalaman yang autentik, dan tidak gampang terbuai dengan permukaan citra yang kinclong, kita dapat menjaga keseimbangan antara menikmati keseruan simulasi dan tetap terhubung dengan realitas yang sebenarnya. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa yang tiruan tidak bakal sepenuhnya menggantikan kekayaan dan kedalaman yang autentik, dan kita tetap menjadi manusia yang aware dan tidak gampang tertipu gimmick!