Layaknya kebun bunga yang bertaburan seribu warna, Sasti Gotama mengemas cerpen-cerpen gubaannya ke dalam beberapa bidai. Dari peristiwa yang nyaris mencekam sampai ke hal-hal nisbi—yang menghadirkan kembali eros masa lalu. Selain itu, teknik olah kata yang ditawarkan pada setiap cerpen selalu memikat pembaca dan mengajaknya berpikir—akan ada sajian cerita apalagi yang akan ditawarkan. Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu memuat 21 cerpen dengan berbagai dimensi yang siap dinikmati.
Pada cerpen “Akhir Sang Gajah” terjadi pertarungan simbolik antara pihak yang mendominasi dan pihak yang terdominasi. Antara Boo (gajah sirkus) dan Jolo (pemimpin sirkus). Jelas, Boo dinarasikan sebagai pihak yang berstatus sebagai objek ekonomi yang menguntungkan manusia. Boo tidak punya daya untuk melawan dan menentang pihak yang mendominasi dirinya. Jika meminjam konsep dari Pierre Bourdieou—Boo sudah memenuhi syarat atas kekalahannya. Boo tidak punya modal simbolik, kalah kelas serta tidak punya kuasa simbolik. Boo dimanifestasikan sebagai kelas pekerja yang bisa kapan saja dieksploitasi keberadaannya.
Potret kesegaran tema lain juga tersaji dalam cerpen “Batavia yang Tak Sesuai Rencana Lucretia”. Jalinan pada cerita tersebut mengambil sudut pandang zaman kolonial. Penulis juga merepresentasikan relasi kuasa antara kaum borjuis dan kaum proletar dilihat dari perspektif warna kulit. Kelas atas dinarasikan memiliki modal sosial berupa warna kulit pualam. Sementara kelas bawah digambarkan memiliki warna kulit cenderung gelap. “Bastian mengingatkannya untuk menggunakan topi dan sarung tangan agar kulit pualamnya tak digosongkan matahari Batavia yang garang.” (hlm 31)
Pengejewantahan sosok ibu sebagai axis mundi berkelindan melalui ritus mendongeng. Ibu sebagai madrasah pertama digambarkan sebagai poros pengetahuan. Alih-alih sosok ibu sebagai produksi ilmu pengetahuan, cerpen “Dongeng yang Tak Pernah Usai” menarasikan satire berupa sindirian yang digunakan penulis sebagai pengingat bahwa sumbangsih “ibu’ dalam berliterasi sangat mendukung bagi tumbuh kembangnya seorang anak. Nyaris ritual mendongeng sebelum tidur sudah sangat jarang dilakukan. Padahal, ritus mendongeng sebelum tidur yang dilakukan seorang ibu sangat memiliki pengaruh bagi olah pikir anaknya. Dan melalui mendongeng anak-anak diharapkan berani memeluk mimpi-mimpinya yang ia abstraksikan dalam memori dalam dirinya.
Selain itu, cerpen-cerpen bertema keluarga juga menawarkan peristiwa yang lain berupa ketidakberdayaan sosok ayah. Faktor finansial menjadi isu utamanya. Apalagi saat situasi pandemi, uang susah dan negara mengalami resesi. Tentu, potret-potret kemiskinan selalu menjadi isu yang tetap segar—di sisi lain menyengsarakan. Dalam cerpen “Abrakadabra!” Sasti Gotama berusaha meramu kesedihan dan lelucon dalam satu kobakan. Lewat mata pencaharian sebagai badut dan pesulap untuk orang-orang yang dirundung murung, Mursal memainkan sulap di depan istrinya—yang kemudian hilang di tengah sirkus, dan memilih meninggalkan istrinya.
Melalui cerpen yang terakhir, penulis mengajak pembaca untuk menyelami pengalaman manusia sekaligus berpikir bagaimana caranya meraih sesuatu yang diinginkan tapi menemui kegagalan. Melalui argumen filosofis yang terjadi antara ibu dan anaknya—menandakan bahwa melalui cerita—pesan-pesan pengarang sampai melalui dialog yang ditulis dengan bahasa yang metaforis.
Akhirnya, karya sastra tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pengarangnya. Boleh jadi, apa yang tertuang dalam karya sang penulis adalah hasil rekaman pribadi, hasil penglihatan semesta, masyarakat serta lingkungan tempat penulis melahirkan karya-karyanya. Sasti Gotama selaku pengarang buku ini pernah belajar di fakultas kedokteran—dan tak heran dalam karyanya kerap kali menampakkan istilah-istilah dalam dunia kedokteran. Sesuai latar belakang pendidikannya.
Identitas Buku
Judul: Akhir Sang Gajah di Bukit Kupu-Kupu
Penulis: Sasti Gotama
Penerbit: Mizan
ISBN: 978-602-441-340-8
Tebal: 156 hlm
Edisi: cetakan pertama, Maret 2024