Apakah Anda pernah kenal Albert Bandura? Dia adalah pencetus teori pembelajaran sosial (social learning theory). Teori itu memang dikenalkan sudah lama. Sejak tahun 1970-an. Tapi sampai sekarang masih bisa digunakan untuk “meneropong” fenomena saat ini. K-Pop salah satu yang bisa dijadikan contoh.
Teori pembelajaran social menyatakan bahwa manusia belajar bukan hanya melalui pengalaman langsung, melainkan juga lewat pengamatan. Kita meniru perilaku orang lain yang kita anggap menarik, berpengaruh, atau relevan dengan diri kita. Bandura menekankan empat tahap dalam proses ini; (1) perhatian, (2) retensi (mengingat), (3) reproduksi (menirukan), dan (4) motivasi. Dalam konteks modern, media sosial menjadi panggung baru yang membuat proses ini berlangsung jauh lebih cepat dan masif.
Kasus di K-Pop
Nah, fenomena K-Pop adalah contoh nyata bagaimana teori ini bekerja di dunia nyata. Para idol K-Pop bukan hanya penyanyi atau penari. Mereka juga model perilaku yang diamati, diingat, dan kemudian ditiru oleh jutaan orang. Dari cara mereka berpakaian, berbicara, menari, hingga gaya hidup sehat yang dipromosikan, fans di seluruh dunia menjadikan idol sebagai role model sehari-hari. Dalam kacamata teori pembelajaran sosial hal ini disebut sebagai observational learning (belajar melalui pengamatan).
Apakah ada data yang membuktikan? Menurut laporan Korean Foundation (2023), jumlah penggemar K-Pop di seluruh dunia pernah mencapai 178 juta orang. Bagaimana dengan Indonesia? Riset JAKPAT menyebutkan bahwa 7 dari 10 generasi Z mengenal minimal satu grup K-Pop. Rinciannya, 56% di antaranya pernah mencoba meniru gaya berpakaian idol favorit. Angka ini menunjukkan bahwa fans bukan sekadar penikmat musik. Tetapi juga partisipan aktif dalam meniru perilaku idol mereka.
Hal ini terlihat jelas di media sosial. TikTok, Instagram, dan Twitter (sekarang bernama X) menjadi ruang utama di mana proses pembelajaran sosial terjadi. Fans memperhatikan gerakan dance challenge dari idol, menyimpannya dalam ingatan, lalu mempraktikkannya melalui konten video. Motivasi mereka tentu beragam. Mulai dari ingin mendapatkan validasi sosial (likes, views, komentar), hingga rasa kedekatan dengan idol. Tak heran jika video dance challenge BTS atau BLACKPINK bisa menembus jutaan unggahan ulang hanya dalam hitungan minggu.
Selain perilaku, aspek gaya hidup juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sosial. Misalnya, ketika idol seperti Jeon Jungkook (BTS) rutin menunjukkan aktivitas olahraga dan pola makan sehat, banyak fans yang kemudian terdorong melakukan hal serupa. Survei dari Korea Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE) menemukan bahwa 42% fans internasional mencoba pola diet atau kebiasaan olahraga yang terinspirasi dari idol. Proses imitasi ini menggambarkan betapa kuatnya peran role model dalam membentuk perilaku kolektif.
Namun, pembelajaran sosial ini juga memiliki sisi lain. Tidak semua perilaku idol bersifat positif. Ada juga beberapa yang kontroversi. Misalnya kebiasaan mengonsumsi alkohol. Ada juga idol foto setengah telanjang dada di atas sebuah kasur bersama seorang wanita. Wanita itu menyatakan sedang melakukan one night stand (cinta satu malam). Sikap dan perilaku buruk itu bisa ditiru sebagian fans.
Bandura sudah mengingatkan bahwa teori ini netral. Yang ditiru bisa positif maupun negatif, tergantung model yang diamati. Artinya, fans tidak hanya belajar menari atau berpakaian, tetapi juga bisa meniru sikap emosional dan interaksi sosial idol.
Meski begitu, sisi positif dari fenomena ini sangat dominan. Fans sering kali menjadikan idol sebagai inspirasi untuk bekerja keras, pantang menyerah, dan berani bermimpi. Nilai-nilai ini konsisten dengan narasi yang dibangun industri K-Pop. Kesuksesan lahir dari latihan panjang, disiplin, dan dedikasi. Secara tak langsung, K-Pop membantu generasi muda di berbagai negara membangun mentalitas kerja keras dan kreativitas. Dua hal itu juga sangat ditekankan Bandura dalam pembelajaran sosial.
Hubungan antar fans juga memperkuat proses pembelajaran ini. Komunitas daring dalam digital fandom bukan hanya wadah berbagi konten, tetapi juga arena social reinforcement. Fans saling memberi apresiasi, memperkuat motivasi, dan memastikan bahwa proses peniruan berjalan terus-menerus. Inilah yang membuat fenomena K-Pop terasa begitu kuat. Ada sistem sosial yang mendukung setiap individu untuk terus belajar dari idol mereka.
Akhirnya, teori pembelajaran sosial Bandura memberi kita “kacamata” untuk memahami mengapa fenomena K-Pop begitu kuat memengaruhi perilaku fans. Bukan hanya soal musik atau hiburan, tetapi soal bagaimana pengamatan, peniruan, dan motivasi bekerja. Bisa diibaratkan, idol K-Pop adalah “guru” modern. Tanpa sadar telah mendidik jutaan orang. Bukan di ruang kelas, melainkan di layar ponsel.
Jadi Cermin
K-Pop bukan sekadar tren musik, melainkan fenomena sosial yang dapat dijelaskan dengan teori Bandura. Fans tidak hanya mendengar lagu atau menonton konser, mereka juga belajar, meniru, dan menginternalisasi perilaku idol. Dari gaya berpakaian hingga nilai kerja keras, semua menjadi bagian dari proses pembelajaran sosial yang masif dan kolektif.
Dengan memahami teori ini, kita bisa melihat bahwa K-Pop adalah cermin dari kekuatan pengaruh sosial di era digital. Musik hanyalah pintu masuk, tetapi yang terjadi setelahnya adalah proses belajar lintas budaya, lintas negara, bahkan lintas generasi. Teori pembelajaran sosial mungkin tidak membayangkan media sosial dan K-Pop ketika merumuskan teorinya. Namanya juga teori yang muncul sebelum ada media sosial, bukan? Namun realitas hari ini menunjukkan betapa relevan gagasannya dalam menjelaskan dunia yang semakin terhubung. Serba tidak pasti.