Kau tidak tahu kapan kau dilahirkan. Tidak ada lagu ulang tahun, lilin, atau kue tart. Tidak pula kalender yang bisa kau lingkari dengan spidol merah. Bahkan, satu-satunya warna yang kau kenal adalah temaram. Istilah yang kau gunakan untuk menyebut campuran abu-abu dan biru yang menggantung di langit-langit ruangan, konstan seperti napas ibu yang teratur di kala tidur.
Kau bangun bukan karena cahaya pagi atau suara burung, melainkan karena tubuhmu merasa cukup diam. Tak ada perubahan suhu, suara denting, ataupun denging. Hanya hening dan bunyi mekanik yang muncul sesekali dari dinding.
Yuma. Begitulah mereka menyebutmu. Kata mereka, itu adalah nama, untuk memudahkan memanggilmu. Nama itu adalah sesuatu yang selalu sudah ada sejak kau bisa mengingat.
Ruang itu tak memiliki jendela. Pintunya pun hanya berupa celah dinding yang kadang terbuka otomatis ketika makanan datang, atau ketika seseorang berseragam putih meminta kalian bermain dengan bentuk dan angka. Tapi tak pernah, tidak sekalipun, seseorang menyebut kata waktu.
“Kapan aku akan pulang?” tanyamu dulu, waktu masih sering mengucapkan kenapa dan bagaimana. Tapi kau tak ingat kapan kau berhenti bertanya. Mungkin pada suatu hari yang tak pernah punya nama.
Kau hanya tahu satu hal: sesuatu terasa hilang, tapi kau tidak tahu apa.
“Aku merasa pasti bahwa aku pernah hidup di luar sini,” kata Yuma kepada anak perempuan bernama Kirana. Mereka duduk bersila di atas lantai dingin yang disirami cahaya putih lampu. Tidak ada bayangan. Tidak ada jam.
Kirana menunduk. Ada rasa yang ia kenali tapi tak bisa ia sebut. Warna jingga seperti sesuatu yang pernah menyentuh matanya, namun ditarik kembali sebelum ia sempat mengingat. “Aku… mungkin juga pernah melihatnya,” bisiknya lirih, lebih terdengar dirinya sendiri. Buru-buru Kirana menatap Yuma. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku pernah memimpikan warna jingga. Seperti lukisan yang meleleh di balik pegunungan. Itu bukan warna di sini. Itu warna yang datang dan pergi. Seperti… perasaan kehilangan.”
Kirana terdiam. Mimpi adalah satu-satunya benda tak terikat yang tidak bisa diukur oleh para peneliti. Mimpi adalah pemberontakan dalam tidur, dan kadang mimpi adalah satu-satunya tempat anak-anak bisa merasa bahwa mereka berasal dari tempat lain.
“Kau pikir ada langit di luar sini?” tanya Kirana.
“Langit bukan hanya benda,” kata Yuma. “Ia adalah tanda bahwa sesuatu telah berubah.”
Lalu kau tanyakan padanya, apakah ia percaya pada dunia di luar pagar.
Kirana tak segera menjawab. Ia mengulum sesuatu di lidahnya sebelum berkata, “Kadang aku mencium sesuatu yang mirip hujan,” katanya sekali. “Padahal kita tak pernah tahu seperti apa rasanya hujan.”
“Mungkin itu ingatan inti tulang,” balasmu.
“Atau… itulah kerinduan murni?”
Kau tak menemukan balasan.
Kalian tak berkata lagi, seolah kalimat itu cukup untuk menjelaskan yang tak terjelaskan.
***
Dari balik layar kaca satu arah, para ilmuwan mencatat percakapan itu dengan teliti. Mereka telah menciptakan lingkungan steril, netral, tanpa ritme sirkadian. Lampu menyala sepanjang waktu, suhu tetap. Anak-anak dibesarkan tanpa kisah tentang fajar dan senja.
“Subjek 12 mulai menunjukkan konstruksi temporal,” ujar salah satu peneliti. “Mereka mulai menyebut ‘waktu mimpi’ dan ‘waktu gelisah’,” lapor seorang teknisi. “Itu bukan parameter jam biologis. Itu semacam bahasa batin.”
“Perluasan kognitif di luar parameter,” tambah yang lain.
Kepala proyek, Dr. Rahman, menggeleng. “Tidak. Mereka tidak belajar waktu. Mereka menciptakannya.”
Ia berkata itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Sebab yang sedang diuji di balik dinding itu bukan hanya persepsi waktu, melainkan kemungkinan bahwa waktu, seperti bahasa dan moralitas, adalah ilusi budaya yang bisa dihilangkan, atau dibangun kembali.
Kau tak tahu lagi di hari ke-berapa kau mulai menyusun batu dari permainan menjadi pola. Lingkaran, garis, spiral. Lalu kau menghancurkannya dan membuat ulang. Kau merasa angka pun telah kehilangan makna.
“Kenapa kau terus mengulang?” tanya Kirana.
“Karena aku merasa sesuatu sedang bergerak, meski tampak diam,” jawabmu.
Kirana mengangguk. “Aku juga. Aku mulai menghitung detak jantungku.”
Kau berpikir: mungkin waktu bukan apa yang terlihat, melainkan apa yang terasa hilang. Rindu, misalnya, adalah bentuk waktu. Penyesalan, juga. Cinta, mungkin, adalah waktu yang tak jadi berlangsung.
Dr. Rahman menatap grafik pada monitor. Pola tidur anak-anak semakin acak, tapi mereka tidak lelah. Tidak mengantuk. Mereka terjaga dengan kesadaran yang terus mengalir, tapi tidak tahu sedang berada di mana dalam lintasan.
Seorang asisten mendekat. “Ada surat masuk. Dari orangtua subjek 9.”
Dr. Rahman mengangkat kepala. Sudah lama ia melarang komunikasi, tapi kadang surat tetap lolos. Ia membaca surat itu dalam diam. Perlahan ia mengusap wajahnya. Surat itu berbau lavender tipis. Aroma yang hanya ia kenali dari rumah-rumah sungguhan. Ia tak tahu lagi aroma anak-anaknya sendiri. Atau, apakah mereka masih ingat wajahnya.
“Ia masih bermimpi tentang burung bangau yang terbang ke selatan. Apakah itu berarti ia masih mengenal musim? Tolong katakan padaku, apakah anakku masih mengenal waktu meskipun tak pernah tahu jam?”
Ia menutup surat perlahan. Matanya tak lepas dari kata “musim”.
Setelah ruangan kosong, ia mengambil dari saku jasnya secarik kertas kecil bergambar dari crayon dengan garis-garis tak jelas. Di bagian bawahnya, tertulis kata tak rapi: “Untuk Kakek.”
Ia menyelipkannya kembali ke dalam jas, lalu menatap layar monitor yang menunjukkan Kirana sedang menatap ke langit-langit, diam.
Anak-anak itu sedang menciptakan waktu dari kehilangan.
Suatu saat kau dan Kirana saling bertukar cerita, bukan dari buku, bukan dari dongeng, tapi dari ingatan yang samar. Kau bercerita tentang seorang perempuan yang menanam pohon dan setiap hari menunggu daunnya jatuh. Kirana bercerita tentang seseorang yang menyalakan lilin setiap kali merasa sendiri, lalu meniupnya hanya untuk tahu ia masih hidup.
Cerita-cerita itu, tanpa sadar, memiliki urutan. Ada awal, ada pertengahan, ada akhir.
Dan tanpa mereka ketahui, anak-anak mulai menciptakan sejarah.
Tapi kemudian, sesuatu berubah. Tidak dalam suara ataupun suhu. Itu muncul dalam bentuk rasa: semacam kegelisahan yang tak berasal dari tubuh.
Ketika akhirnya alarm berbunyi, pertama kalinya dalam hidupmu ada suara yang menandai sesuatu terjadi, kau dan Kirana menatap ke arah suara itu dengan rasa takut dan penasaran. Pintu terbuka. Tapi tidak ada makanan.
Ada cahaya lain. Cahaya yang bukan dari lampu.
Untuk pertama kalinya, kalian melihat matahari.
Cahayanya menyilaukan, menampar kulit dengan hangat yang belum pernah dirasakan. Kau memejamkan mata. Kirana menggenggam tanganmu.
Seseorang berkata, “Kalian akan pulang.”
Pulang?
Kau tak tahu di mana itu.
***
Di luar, waktu bukanlah ketertiban, melainkan kebingungan yang diberi nama dan pola. Dunia ini memiliki waktu, juga kekacauan. Terlalu banyak suara. Terlalu banyak cahaya yang saling bertabrakan.
Waktu bergerak, atau begitulah dunia menyebutnya. Kau belajar kata-kata baru: jam, hari, tahun. Tapi mereka terasa asing. Kau menghitung waktu dengan cara lain. Dengan jarak antara rasa sakit dan tawa. Dengan jumlah langkah yang kau tempuh menuju ruang kelas. Dengan banyaknya kali Kirana menangis karena tak tahu siapa ibunya.
Kirana… entah sekarang di mana. Terakhir ia menyebut sesuatu tentang museum waktu, kota lain, dan perasaan seperti deja vu yang tak pernah selesai. Kau ingat terakhir kali ia tertawa di bawah cahaya senja, atau sesuatu yang mirip senja, karena warnanya hanya muncul sekali dan tidak pernah kembali. Ia berkata, “Mungkin ini mimpi, tapi aku tak ingin bangun.”
Malam ini kau menulis surat kepada Dr. Rahman. Kau tidak menuntut atau menyalahkan. Kau sekadar bertanya, “Jika waktu adalah ciptaan, lalu kenapa aku tetap merasa tua?”
Tak ada balasan. Hanya keheningan yang kini terasa berbeda: bukan kosong, tapi semacam gema dari sesuatu yang dulu pernah utuh.
Kau tahu jawabannya.
Karena di ruang tanpa waktu itu, kalian belajar bukan tentang ketiadaan waktu, melainkan tentang luka dari kehilangan struktur. Bahwa manusia, sejak kanak-kanak, selalu mencari ritme. Detak. Perubahan.
Ketika semua itu dihilangkan, yang tersisa hanyalah kerinduan akan sesuatu yang tak pernah kau mengerti, tapi selalu kau cari. Dan mungkin itulah sebabnya, bahkan ketika dunia memberi kita jam, kita tetap merindukan ketukan yang tak berbunyi.
Perlahan kau mengambil kertas terlipat dari dompetmu. Itu satu-satunya barang kirana yang dapat kau simpan. Sebuah kalimat tertulis di sana:
“Aku tak percaya diriku akan cukup utuh untuk bertanya. Aku hanya bayangan dari diriku sendiri sekarang. Jika kau dapat bertemu waktu, tolong tanyakan padanya… kenapa ia meninggalkan kita begitu awal?”