K-Pop tak lagi sekadar tren musik milik Korea atau Asia.  Dalam satu dekade terakhir, ia menjelma sebagai fenomena global dengan basis penggemar yang massif, militan, dan sangat terhubung secara digital. Katakanlah menjadi milik dunia. Data dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) pada tahun 2023 misalnya menunjukkan bahwa BTS, BLACKPINK, hingga Stray Kids selalu masuk dalam daftar artis global dengan tingkat streaming tertinggi, menyaingi bahkan musisi Barat papan atas. Sementara itu, survei Korean Foundation (2022) mencatat ada lebih dari 156 juta penggemar K-Pop di 116 negara. Sebuah angka yang melonjak hampir dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya.

Di Indonesia, jejak K-Popers kian nyata. Dari penjualan album fisik yang mencapai jutaan kopi hanya lewat pemesanan online, hingga konser yang tiketnya habis dalam hitungan menit. Media sosial pun menjadi ruang hidup utama fandom digital ini. Hashtag #BTS, #BLACKPINK, atau #NCT sering kali menempati trending topic global, dengan ribuan unggahan per menit. Inilah wajah baru fandom di era digital; cair, lintas negara, dan amat berisik di dunia maya.

Interaksi Parasosial

Namun, apa yang membuat jutaan orang dari berbagai belahan dunia bisa begitu terkoneksi? Seolah “dekat” dengan idola mereka yang sebenarnya tak pernah benar-benar mereka temui? Di sinilah Teori Interaksi Parasosial membantu menjelaskan.

Teori interaksi parasosial pertama kali dikenalkan oleh Donald Horton dan Richard Wohl pada tahun 1956. Teori lama memang, tapi masih relevan untuk melihat fenomena sekarang. Mereka menggambarkan bagaimana audiens bisa merasa seolah punya hubungan personal dengan figur media — seperti selebritas, pembawa acara TV, atau influencer. Padahal, interaksi itu sifatnya satu arah. Sang idola tidak benar-benar mengenal penggemarnya. Namun karena sering muncul di layar dan berbicara dengan gaya yang seakan akrab, penonton merasa dekat, bahkan membangun “ikatan emosional” layaknya teman atau keluarga.

- Poster Iklan -

Fenomena ini makin relevan di era media sosial. Kini, selebritas atau idol K-Pop, misalnya, bisa menyapa jutaan fans lewat live streaming, vlog, atau postingan Instagram. Meski tetap satu arah, para penggemar merasa diperhatikan, seolah ada hubungan timbal balik. Interaksi parasosial inilah yang membuat loyalitas fans begitu kuat. Fans bisa tertawa, menangis, bahkan terinspirasi oleh sosok yang sebenarnya tak pernah mereka temui langsung. Teori Horton dan Wohl ini membantu menjelaskan kenapa figur publik bisa begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari banyak orang.

Itulah inti interaksi parasosial. Hubungan semu yang terasa nyata. Fans merasa mengenal idol lebih dalam, bahkan meski semua yang mereka tahu hanyalah potongan video atau unggahan Instagram.

K-Pop sangat lihai memanfaatkan mekanisme ini. Lewat konten behind the scenes, vlog harian, hingga siaran langsung di platform seperti Weverse atau V Live, idol tidak hanya tampil sebagai penyanyi di panggung, melainkan juga sebagai “teman virtual” yang membagikan keseharian. Misalnya, ketika Jungkook BTS pernah live streaming sambil makan ramen, jutaan ARMY merasa ikut “nongkrong” dengannya. Interaksi sederhana seperti sapaan “Annyeong (hai) dari idol kepada kamera dapat membuat ribuan penggemar merasa diakui secara personal.

Digital Fandom

Kekuatan K-Popers tidak hanya terletak pada hubungan individu dengan idol, tetapi juga pada kolektivitas fandom. Platform digital menjadikan hubungan parasosial ini berlipat ganda dampaknya. Seseorang mungkin awalnya hanya penikmat musik, tapi begitu masuk komunitas fandom di Twitter (sekarang X) atau TikTok, ia akan menemukan jutaan orang lain dengan “ikatan emosional” serupa terhadap idolanya.

Efek domino pun terjadi. Misalnya, ketika album baru dirilis. Fandom berkolaborasi untuk melakukan streaming party serentak. Lalu membeli album dalam jumlah besar, bahkan mengorganisasi kampanye sosial.

ARMY (fandom BTS) misalnya, tercatat pernah mendonasikan lebih dari 1 juta dolar AS untuk gerakan Black Lives Matter pada 2020. SUmbangan itu terkumpul  hanya dalam waktu 24 jam setelah BTS mengumumkan dukungan mereka. Aksi semacam ini menunjukkan bagaimana interaksi parasosial dengan idol bisa menular menjadi solidaritas nyata antar-penggemar.

Bagi banyak penggemar muda, fandom bukan sekadar hobi, melainkan identitas sosial. Mereka belajar berkomunikasi lintas budaya, berkolaborasi, bahkan memimpin proyek digital global. Dan semua ini berakar dari rasa kedekatan personal dengan idol yang sebenarnya hanya dikenal melalui layar.

Merasa Dekat vs Realitas Semu

Namun, teori interaksi parasosial juga menyiratkan paradoks. Hubungan yang dirasakan dekat itu tetaplah satu arah. Idol tidak benar-benar mengenal fans satu per satu. Meski fans merasa sebaliknya. Hal ini bisa menghasilkan dua konsekuensi.

Pertama, sisi positifnya  fans merasa termotivasi, terhibur, bahkan menemukan rasa memiliki melalui hubungan parasosial. Idol menjadi sumber inspirasi, penguat di masa sulit, dan teladan bagi jutaan penggemar. Banyak ARMY bersaksi bahwa musik BTS membantu mereka melewati depresi atau kesepian.

Kedua, sisi negatifnya  kedekatan semu ini bisa membuat sebagian penggemar terjebak dalam ekspektasi berlebih, bahkan perilaku obsesif. Misalnya, fans yang marah besar jika idol terlihat berkencan, atau mereka yang menghabiskan uang berlebihan demi merchandise demi menjaga “hubungan” dengan idol.

Unik tapi Nyata

Fenomena K-Popers adalah potret unik dari budaya populer di era digital. Ia tidak hanya menunjukkan betapa kuatnya industri hiburan Korea mengekspor musik, tetapi juga bagaimana teknologi digital memungkinkan terbentuknya ikatan emosional lintas batas. Dalam teori interaksi parasosial, kedekatan yang dibangun fans dengan idol memang bersifat semu, tapi dampaknya nyata — baik dalam kehidupan personal maupun kolektif.

Kita bisa melihat fandom digital K-Pop sebagai contoh paling konkret dari bagaimana teori yang lahir lebih dari setengah abad lalu kini menemukan relevansi barunya. Horton dan Wohl mungkin tak pernah membayangkan bahwa “hubungan semu” yang mereka tulis akan menjelma menjadi komunitas global ratusan juta orang yang bersatu karena cinta pada musik, tarian, dan persona para idol.

Pada akhirnya, apakah hubungan ini nyata atau tidak, mungkin bukanlah pertanyaan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana interaksi parasosial ini memberi makna, semangat, dan rasa kebersamaan bagi jutaan jiwa di seluruh dunia. Arasseo.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here