Sebut saja K-Pop itu semua inovasi (temuan). Saat kuliah saya jadi ingat teorinya Everett M. Rogers tentang difusi inovasi (diffusion of innovation). Bagi Rogers sebuah inovasi (ide, praktik, objek baru) disebarkan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara anggota sistem sosial. Ia menyebar memalui lima tahap: innovators, early adopters, early majority, late majority, hingga laggards. Semakin banyak yang mengadopsi, semakin cepat sebuah tren menjadi mainstream. Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana musik K-Pop menyebar dan bisa mendominasi playlist di seluruh dunia?
Pertama, innovators (penemu). Mereka adalah kelompok pertama yang mencoba hal baru. Biasanya orang-orang yang berani mengambil risiko. Suka bereksperimen sekaligus punya akses ke informasi atau teknologi lebih cepat daripada kebanyakan orang. Jumlahnya kecil, tapi perannya penting sebagai “pemicu awal” penyebaran inovasi.
Kedua, early adopters (pengadopsi awal). Setelah inovator, kelompok ini cepat tertarik pada tren baru. Mereka dianggap lebih berpengaruh karena biasanya dihormati dalam komunitasnya. Sehingga bisa jadi panutan. Jika mereka menyukai sesuatu, orang lain lebih mudah ikut-ikutan.
Ketiga, early majority (mayoritas awal). Kelompok ini jumlahnya lebih besar dan cenderung hati-hati. Mereka baru mau menerima hal baru setelah melihat bukti nyata bahwa inovasi itu bermanfaat atau populer. Kehadiran mereka menandai bahwa sebuah tren mulai masuk ke arus utama (mainstream).
Keempat, late majority (mayoritas akhir). Mereka lebih skeptis (ragu) dan baru ikut tren ketika sebagian besar orang lain sudah mengadopsinya. Biasanya terpengaruh oleh tekanan sosial atau karena merasa “ketinggalan” kalau tidak ikut mencoba.
Kelima, laggards (kelompok terakhir). Disebut juga kelompok “kepala batu”. Ini adalah kelompok yang paling lambat menerima perubahan. Mereka cenderung tradisional, sangat hati-hati, atau bahkan menolak sama sekali. Kalau pun akhirnya ikut tren, biasanya ketika inovasi itu sudah sangat umum atau bahkan hampir tergantikan oleh hal baru lagi. Bahkan diantara mereka tidak mau menerima sebuah inovasi baru alias menolaknya.
Apapun pilihan atas sebuah inovasi semua tergantung hak individu dan kelompok. Ada kepentingan, kebutuhan, gengsi dan hal lain yang melatarbelakanginya. Tak semua harus sama, bukan?
Bagaimana dengan K-Pop?
Kalau kita tarik ke dunia K-Pop, perjalanannya hamper mirip dengan tahapan sebagaimana dikemukakan Rogers di atas. Awalnya, hanya segelintir orang di luar Korea yang mengenal musik tersebut. Sebut saja mereka para early adopters. Mereka biasanya fans fanatik yang menemukan K-Pop lewat internet. Mungkin sekitar awal tahun 2000-an. Saat itu nama-nama seperti H.O.T atau BoA mulai merambah pasar Jepang dan Tiongkok.
Kemudian, generasi berikutnya menyebarkannya ke komunitas daring, forum, hingga fanbase kecil di negara masing-masing. Lambat laun, jumlah penggemar bertambah. Hingga akhirnya K-Pop diterima luas oleh masyarakat dunia sebagai bagian dari budaya pop modern.
Fenomena di atas semakin jelas ketika media sosial mengambil peran besar dalam penyebarannya. Pada era YouTube, K-Pop menemukan jalur distribusi global tanpa batas. Video “Gangnam Style” dari PSY pada 2012 adalah contoh paling unik dan menarik. Dalam waktu singkat, lagu itu ditonton miliaran kali. Ia membuka mata dunia terhadap musik Korea. Dari sini, gelombang early majority mulai terbentuk. Orang-orang yang sebelumnya asing dengan K-Pop mulai penasaran, mencoba mendengarkan, hingga akhirnya ikut terlibat dalam budaya fandom.
Lalu, munculnya BTS membawa K-Pop ke level yang lebih tinggi. Dengan strategi digital yang rapi dan interaksi yang baik dengan penggemar lewat Twitter, Weverse, atau VLive, BTS berhasil menjangkau penggemar global yang jauh lebih luas. Data dari Guinness World Records pernah mencatat bahwa BTS berulang kali memecahkan rekor jumlah penonton siaran langsung dan interaksi media sosial. Inilah tahap ketika K-Pop masuk ke mainstream. Ia tak lagi milik komunitas tertentu, tapi dikonsumsi secara massal oleh jutaan orang di berbagai negara.
Sampai-sampai, UNESCO menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “Korean Wave” atau Hallyu — gelombang budaya Korea yang meliputi drama, musik, hingga kuliner. Angkta yang memggambarkan perkembangan kea rah kemajuan pada tahun 2023 jumlah klub penggemar K-Pop di seluruh dunia mencapai lebih dari 1.200 komunitas di 150 negara. Itu lebih dari 100 juta orang. Angka fantastis bukan? Juga menggambarkan bagaimana difusi inovasi bekerja –dari titik awal yang kecil hingga menyebar luas dan cepat.
Nah, kita bisa melihat bahwa K-Pop tidak hanya bertumpu pada early adopters yang mengenalkan tren, tetapi juga memanfaatkan teknologi untuk mempercepat proses difusi. Media sosial, platform streaming, hingga algoritma rekomendasi Spotify atau TikTok menjadi penghubung kuat dan cepat yang mempertemukan musik Korea dengan penggemar baru. Bahkan, challenge tarian di TikTok atau potongan konser yang viral di Instagram menjadi bentuk terbaru dari difusi inovasi. Cepat, ringan, dan mudah diikuti siapa saja.
Uniknya lagi, K-Pop tidak hanya mengandalkan produk music. Tetapi juga pengalaman budaya. Fans bukan sekadar mendengarkan lagu, melainkan ikut larut dalam dunia fandom. Mereka membeli merchandise, mengikuti konser online, hingga belajar bahasa Korea. Inovasi inilah yang membuat K-Pop punya nilai tambah. Jika difusi inovasi biasanya membicarakan penyebaran sebuah produk, dalam K-Pop yang tersebar adalah sebuah ekosistem budaya yang lengkap. Dari sinilah daya tariknya tidak pernah habis.
Lalu dalam tahap late majority, K-Pop kini bukan hanya milik remaja atau komunitas digital. Orang tua, akademisi, hingga pemerintah ikut mengakui pengaruhnya. Misalnya, banyak universitas membuka kelas bahasa Korea karena meningkatnya minat mahasiswa yang awalnya mengenal Korea lewat K-Pop. Di Amerika Serikat, album BTS dan BLACKPINK bisa bersaing di tangga Billboard 200, sesuatu yang dulu mustahil untuk artis Asia.
Namun, teori difusi inovasi juga mengingatkan kita bahwa tidak semua orang akan menerima sebuah tren. Di tahap laggards, ada kelompok yang tetap menolak atau tidak tertarik pada K-Pop. Inilah yang disebut dengan kelompok “kepala batu”. Namun begitu, secara keseluruhan, penyebarannya sudah begitu luas hingga sulit dipungkiri bahwa K-Pop adalah salah satu fenomena budaya global paling sukses dalam sejarah modern.
Kekuatan Teknologi Baru
Pada akhirnya, difusi inovasi “ala” Rogers membantu kita memahami mengapa K-Pop bisa merajai dunia. Dari segelintir fans fanatik yang mengenalkannya ke forum daring, hingga menjadi fenomena mainstream dengan konser stadion yang laris manis di lima benua, K-Pop menunjukkan kekuatan sebuah inovasi budaya yang dipadukan dengan teknologi komunikasi modern.
Cerita soal K-Pop adalah bukti bahwa inovasi bukan hanya soal teknologi atau produk, tapi juga tentang budaya. Dengan kemampuan beradaptasi, memanfaatkan media sosial, dan membangun ikatan emosional dengan penggemar, K-Pop telah menempuh perjalanan dari early adopters menuju mainstream dengan cara yang spektakuler. Melihat kecepatan difusinya, sepertinya tren ini belum akan berhenti dalam waktu dekat.