Pernahkah Anda merasa “nyambung” dengan orang asing hanya karena sama-sama menyukai grup K-Pop tertentu? Itulah gambaran sederhana dari identitas kolektif. Identitas kolektif itu sebuah konsep dalam ilmu sosial yang menjelaskan bagaimana individu merasa menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar.

Teori identitas kolektif pernah dipopulerkan oleh Alberto Melucci pada tahun 80an. Ia seorang sosiolog asal Italia. Menurutnya, identitas kolektif terbentuk ketika individu punya tujuan, simbol, dan emosi yang sama dalam sebuah gerakan sosial atau komunitas. Identitas ini bukan sekadar label, tetapi rasa memiliki. Dengan kata lain, sebuah ikatan yang membuat orang merasa, “kita ini satu.”

Kini, teori itu tak hanya berlaku di dunia aktivisme atau gerakan politik. Dunia hiburan pun jadi ladang subur bagi lahir dan berkembangnya identitas kolektif. Contoh yang actual, nyata dan konkrit adalah K-Pop.

Perekat Identitas

Fenomena K-Pop bukan sekadar musik. Ia adalah budaya pop yang melahirkan komunitas besar bernama K-Popers. Para penggemar ini tersebar di seluruh dunia.  Mereka disatukan oleh cinta yang sama pada idol, lagu, gaya fashion, bahkan cara bicara khas fandom.

- Poster Iklan -

Sebuah catatan ringan dari  Korean Foundation (2023) ada  sekitar 178 juta penggemar Hallyu (Korean Wave) di seluruh dunia. Dari jumlah itu, K-Pop menempati porsi terbesar. Angka ini menggambarkan betapa luasnya komunitas global yang merasa menjadi bagian dari “keluarga” besar K-Pop.

Seorang penggemar di suatu negara tertentu misalnya,  bisa dengan mudah merasa terhubung dengan penggemar di negara lain. Tanpa pernah bertemu, mereka saling mengerti bahasa fandom. Entah itu istilah “comeback,” atau “fanchant.” Identitas kolektif itu terwujud dalam simbol, emosi, dan “ritual” bersama.

Identitas kolektif terbentuk lewat praktik sehari-hari. Dalam dunia K-Pop, ritual itu terlihat jelas. Mulai dari menonton video musik di YouTube. Tujuannya agar  secara serentak   menaikkan jumlah views. Bisa juga membeli album fisik demi mendukung idol, hingga memenuhi timeline Twitter (sekarang X) dengan tagar trending.

Kita tengok fenomena di media sosial. Sebuah laporan dari Twitter Korea tahun 2022 menyebut bahwa 20 dari 30 topik global paling banyak diperbincangkan di platform tersebut berasal dari K-Pop. Bayangkan, jutaan orang di berbagai negara bisa melakukan hal yang sama, di waktu yang sama, demi idola yang sama.

Ritual ini menegaskan rasa “kita.” Bahwa mereka bukan sekadar penggemar individu, tetapi bagian dari komunitas global. Identitas kolektif itu makin kuat ketika fandom saling berkolaborasi. Contohnya, fanbase EXO-L di berbagai negara pernah menggalang dana untuk bantuan bencana. Begitu juga ARMY yang kerap menyumbang untuk isu sosial. Aktivitas ini melampaui hiburan. Ia membentuk citra kolektif bahwa fandom K-Pop peduli dan berdaya.

Emosi Kunci Indentitas Kolektif

Kunci identitas kolektif ada pada emosi. Alberto Melucci (1985) menekankan bahwa rasa memiliki tak akan terbentuk tanpa perasaan yang menyertainya. Dalam K-Pop, emosi itu sangat dominan. Rasa bangga saat idol menang penghargaan. Rasa haru saat menonton konser online. Rasa solidaritas saat fandom lain menyerang. Semua itu memperkuat ikatan emosional.

Kita lihat contoh ringan. Data dari Spotify Wrapped (2023) menunjukkan bahwa lagu-lagu K-Pop masuk 5 besar genre paling banyak diputar secara global. Angka ini bukan hanya statistik. Ia mencerminkan betapa musik K-Pop jadi medium emosi bersama. Saat seseorang mendengar lagu BTS “Spring Day” atau BLACKPINK “Pink Venom,” ada jutaan orang lain di berbagai penjuru bumi yang merasakan hal serupa.

Emosi kolektif inilah yang membuat fandom bertahan, meski idol mereka hiatus (berhenti sementara), Wajib Militer (Wamil), atau bahkan bubar. Identitas kolektif fandom tidak bergantung sepenuhnya pada idol, tapi juga pada ikatan antar-penggemar.

Identitas Kolektif Global

Salah satu daya tarik K-Pop adalah kemampuannya menembus batas geografis dan budaya. Menurut survei UNESCO (2022) 60% remaja di Asia Tenggara dan Amerika Latin mengaku K-Pop memengaruhi gaya hidup mereka. Dari fashion, cara menata rambut, hingga selera makanan.

Di sinilah identitas kolektif bekerja. Misalnya, seorang remaja di Indonesia yang memakai outfit ala Jisoo BLACKPINK merasa nyambung dengan remaja di wilayah lain, bahkan negara lain yang memakai gaya serupa. Keduanya tidak kenal, tapi merasa bagian dari komunitas yang sama. Apa? Komunitas global K-Popers.

Inilah yang membedakan fandom K-Pop dengan banyak fandom musik lain. Identitas kolektif mereka begitu cair, lintas bahasa, lintas negara, bahkan lintas generasi. Bisa jadi seorang ibu ikut menonton konser online karena anaknya penggemar. Identitas kolektif pun merambah ke keluarga.

Yang menarik, identitas kolektif ini juga dikelola oleh industri. Agensi hiburan Korea sangat paham bahwa komunitas adalah aset. Itulah mengapa mereka membuat fan club resmi, menyediakan konten eksklusif, hingga membangun platform khusus seperti Weverse.

Platform itu bukan sekadar tempat interaksi idol-fans, tapi juga arena fans bertemu fans. Identitas kolektif dikonstruksi, dirawat, dan dipasarkan. Pada akhirnya, identitas kolektif fandom memberi keuntungan finansial. Album laku, merchandise habis dan konser terjual penuh.

Sebagai contoh, konser tur dunia BTS “Love Yourself” tahun 2019 mencatat penjualan tiket hingga US$ 196 juta. Angka itu bukan semata hasil popularitas musik, tapi hasil kekuatan identitas kolektif ARMY yang merasa “wajib hadir” demi mendukung idol mereka.

Dari Individu ke Komunitas

Teori identitas kolektif memberi kita kacamata untuk melihat fenomena K-Pop lebih dalam. Bahwa fandom bukan sekadar kerumunan penggemar, melainkan komunitas dengan identitas bersama. Identitas ini dibangun lewat simbol, emosi, dan ritual yang dilakukan berulang.

K-Pop berhasil menunjukkan bagaimana musik bisa jadi alat perekat identitas global. Dari Jakarta hingga New York, dari siswa SMA hingga pekerja kantoran, jutaan orang merasa “kita” hanya karena berbagi cinta pada idol.

Di era digital, identitas kolektif itu makin mudah terbentuk. Satu tagar bisa menyatukan jutaan orang. Satu konser online bisa membuat fans di lima benua menangis bersama. Itulah kekuatan K-Pop. Bukan hanya musik, tapi mesin pembentuk identitas kolektif generasi global.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here