Kita tentu tidak asing lagi dengan istilah mimpi, bahkan hampir setiap orang pasti pernah mengalaminya. Namun, pernahkah kita merenung bahwa untuk melahirkan sebuah karya sastra yang bernilai, ternyata tidak selalu harus melalui proses panjang yang rumit dan berliku? Pemahaman semacam ini justru terbantahkan oleh Muhammad Qadhafi lewat karyanya yang berjudul “Pemuda Celaka dan Ciuman Italia”. Karya tersebut menghadirkan sudut pandang baru bahwa pengalaman sehari-hari, bahkan mimpi yang sederhana sekalipun, dapat diolah menjadi sebuah karya sastra yang utuh dan penuh makna. Bagaimana hal itu bisa terjadi? 

Awalnya, saya tertarik bukan pada karya yang ditulis Muhammad Qadhafi, melainkan pada sosok pengarangnya sendiri. Hal ini bermula ketika saya mendapatkan kesempatan untuk menghadiri sebuah diskusi panel dalam rangkaian acara Festival Sastra Yogyakarta yang diselenggarakan di Taman Budaya Embung Giwangan.

Dalam sesi tanya jawab, saya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan seputar bagaimana cara “membumikan” sastra di tengah arus globalisasi dan derasnya perkembangan era digital, serta bagaimana menjaga agar sastra tetap utuh di tengah tantangan tersebut. Dari sekian banyak pemateri yang memberikan tanggapan, jawaban Muhammad Qadhafi justru menjadi yang paling membekas bagi saya. Dengan lugas ia mengatakan, “Sudah banyak komunitas sastra yang ada di Yogyakarta maupun Indonesia, namun penerbit masih sedikit. Hal inilah yang melatarbelakangi saya untuk aktif di dunia penerbitan, agar mahasiswa maupun masyarakat memiliki wadah untuk mempublikasikan karya mereka.”

Jawaban tersebut membuat saya terkesima. Bagi saya, hal itu menunjukkan kepeduliannya bukan hanya pada dunia penciptaan karya sastra, tetapi juga pada keberlangsungan ekosistem yang menopang sastra itu sendiri. Seusai diskusi berakhir, saya segera menghampirinya untuk berbincang lebih jauh. Saya menanyakan buku apa saja yang telah ia karang, dan di antara beberapa judul yang ia sebutkan, ada satu karya yang kemudian menarik perhatian saya, yakni Pemuda Celaka dan Ciuman Italia.

- Poster Iklan -

Saya pun mulai membaca karya tersebut halaman demi halaman dengan penuh rasa ingin tahu. Pada bagian kata pengantar, Muhammad Qadhafi menuliskan sebuah kalimat yang sederhana namun sarat makna: “Semua orang pasti punya pengalaman mimpi. Namun, tidak semua orang mau peduli dengan mimpi-mimpinnya sendiri.” Dari situlah saya memahami bahwa mimpi bukan sekadar bunga tidur, melainkan dapat menjadi sumber inspirasi yang kaya untuk dijadikan karya sastra. 

Pernyataan itu pula yang kemudian menjadi landasan Qadhafi dalam menulis kumpulan cerpen ini. Ia berusaha menghadirkan apa yang disebut sebagai transkripsi mimpi, yakni pengalihan pengalaman mimpi ke dalam bentuk tulisan tanpa banyak rekayasa. Menariknya, seluruh judul cerpen yang tercantum dalam buku ini tidak dibumbui dengan hiperbola maupun gaya bahasa kiasan yang berlebihan. Justru sebaliknya, Qadhafi memilih untuk menuliskannya secara murni sesuai dengan apa yang ia alami dalam mimpi mulai dari tokoh, penokohan, alur cerita, hingga latar tempat.

Dari sekian banyak cerpen yang terdapat dalam buku Pemuda Celaka dan Ciuman Italia, ada satu judul yang paling membuat saya kagum sekaligus jatuh cinta, yakni “Yang Hidup Kena Air.” Cerpen ini begitu istimewa karena di dalamnya Qadhafi menuturkan kisah yang sangat personal: tentang sosok ibunya, pengalaman masa kecilnya, serta rasa bersalah yang melekat dalam ingatannya.

Cerita ini dibuka dengan kenangan sederhana ketika Qadhafi kecil diminta oleh ibunya untuk mandi. Namun, ia menolak dengan alasan airnya dingin. Menanggapi itu, sang ibu kemudian merebus air panas agar anaknya mau mandi. Sepintas, peristiwa itu tampak sepele, sekadar potongan kecil dari keseharian seorang anak dan ibunya. Namun, justru dari momen sederhana itulah lahir sebuah cerpen yang menyentuh, karena di baliknya tersimpan rasa bersalah dan refleksi mendalam seorang anak terhadap cinta dan pengorbanan ibunya. Jangan heran bila setelah membaca cerpen Yang Hidup Kena Air”  kamu tiba-tiba merindukan sosok ibumu karena kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan potret cinta dan pengorbanan seorang ibu yang mungkin juga pernah kita alami. Penasaran bagaimana Qadhafi menceritakanya? Bacalah, dan biarkan hatimu bergetar, merindu, lalu diam-diam ingin kembali memeluk ibu.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here