Fenomena K-Pop di Indonesia bukan hal baru. Gelombang budaya Korea Selatan (Korsel) ini mulai terasa sejak awal 2000-an. Saat itu drama Korea lebih dulu masuk. Baru kemudian musik K-Pop mengambil panggung lebih besar. Kini, hampir semua orang di kota besar tahu nama BTS, BLACKPINK, atau EXO.

Ekonomi yang Tumbuh

Apa yang membuat K-Pop begitu kuat diminati? Jawabannya sederhana. Visual yang menarik, musik yang segar, dan strategi pemasaran yang rapi. Satu lagi, mewakili kebutuhan anak muda yang riang, ringan, modern, penyalur hasrat dan “hal baru”. Semua dirancang untuk menyentuh hati generasi muda. Menurut survei Korean Cultural Center Indonesia (2021),  lebih dari 41% remaja di kota besar mengaku mendengarkan K-Pop setiap hari.

Bukan hanya musik. Gaya berpakaian, bahasa, hingga makanan Korea ikut terangkat. Di Jakarta dan Surabaya, kafe bernuansa Korea semakin menjamur. Semua itu lahir dari pengaruh K-Pop yang konsisten. Di Malang, makanan Korea juga sudah ada. Saya beberapa kali makan di makanan Korea tersebut dengan antri panjang dan padat pengunjung. Seolah sebagai pelampiasan keingintahuan apa makanan Korea yang biasa dimakan idolanya.

Pengaruh K-Pop tidak berhenti di hiburan. Ada dampak nyata di sektor ekonomi. Data dari Korea Foundation (2022) menunjukkan, penggemar K-Pop di Indonesia mencapai lebih dari 16 juta orang. Angka ini terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

- Poster Iklan -

Besarnya basis penggemar membuat bisnis terkait K-Pop ikut tumbuh. Penjualan album fisik, lightstick, dan merchandise resmi mencatat kenaikan tiap tahun. Bahkan, konser besar seperti BTS “Love Yourself” di Jakarta tahun 2019 langsung habis terjual dalam hitungan menit.

Efeknya juga terasa pada pariwisata. Data Kementerian Pariwisata Korsel mencatat kunjungan wisatawan Indonesia ke Korea melonjak 18% pada 2019. Banyak di antaranya ingin melihat langsung lokasi syuting drama atau konser idol favorit.

Dampak ekonomi K-pop juga terasa jauh melampaui dunia musik, masuk ke ranah produk konsumer dan e-commerce. Tren gaya ala Korea (fashion, kosmetik, skincare) makin dicintai generasi muda Indonesia. Sehingga merek lokal maupun impor yang “bersinggungan” dengan estetika Korea mencatat lonjakan penjualan.

Sekadar contoh, penelitian menunjukkan pasar kosmetik “K-Beauty” di Indonesia pada tahun 2024 tumbuh sekitar 25 % dari tahun  sebelumnya (2023). Sebabnya apa? Berkat naiknya permintaan produk Korea yang dipromosikan lewat idol dan budaya pop.  Di sektor e-commerce pun, marketplace seperti Tokopedia dikabarkan menggunakan idol K-pop sebagai brand ambassador untuk menarik konsumen, yang turut memicu peningkatan transaksi online

Identitas Anak Muda

K-Pop juga menjadi bagian dari identitas generasi muda Indonesia. Remaja sering menyebut diri mereka “ARMY” atau “Blink” sesuai fandom idola masing-masing. Identitas itu bukan sekadar sebutan. Ia menjadi komunitas yang solid. Menjadi ciri pembeda pula dengan kelompok atau fandom yang lain.

Di media sosial, tagar soal K-Pop sering mendominasi trending topic. Menurut laporan di Twitter (sekarang X) pada tahun 2021 Indonesia menduduki peringkat pertama dunia untuk jumlah cuitan tentang K-Pop. Angkanya mencapai lebih dari 6,1 miliar tweet dalam setahun.

Fenomena ini menunjukkan bahwa K-Pop bukan sekadar musik. Ia adalah ruang sosial di mana remaja Indonesia mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan membangun jaringan pertemanan.

Namun, tidak semua pihak memandang K-Pop dengan kacamata positif. Ada yang menilai pengaruh K-Pop bisa menggeser budaya lokal. Misalnya, gaya hidup yang terlalu konsumtif. Banyak remaja rela menabung berbulan-bulan demi membeli album edisi terbatas.

Di sisi lain, ada juga kritik soal standar kecantikan yang dipengaruhi idola K-Pop. Kulit putih, tubuh ramping, dan wajah mulus menjadi standar baru. Hal ini kadang menekan kepercayaan diri anak muda yang berbeda dari gambaran tersebut.

Meski begitu, K-Pop juga membawa sisi positif. Banyak fans yang terinspirasi untuk belajar bahasa Korea. Paling tidak data yang saya dapatkan saat wawancara dengan fandom bernama NCT di Malang saat saya menyusun disertasi doktor. Menurut data King Sejong Institute, jumlah pelajar bahasa Korea di Indonesia pun meningkat hingga 30% dalam lima tahun terakhir.

Masa Depan K-Pop di Indonesia

Menariknya, penggemar K-Pop di Indonesia juga sering terlibat dalam isu sosial dan politik. Contohnya saat gerakan #BlackLivesMatter pada 2020, komunitas K-Pop di Indonesia aktif menyumbangkan donasi. Mereka juga sering menggalang dana untuk bencana alam di Tanah Air.

Artinya, fandom K-Pop tidak hanya berkumpul untuk hiburan. Mereka juga bisa menjadi kekuatan sosial yang nyata. Solidaritas yang terbentuk di dunia maya bisa bergeser ke aksi nyata di lapangan.

Lalu bagaimana ke depan? Fenomena K-Pop sepertinya tidak akan surut dalam waktu dekat. Generasi muda masih menjadi pasar utama. Industri hiburan Korea juga terus berinovasi. Kolaborasi artis K-Pop dengan musisi global membuat pengaruhnya makin luas. Indonesia sebagai pasar besar tentu akan terus disasar. Konser, fan meeting, hingga kolaborasi brand kemungkinan semakin sering hadir.

Namun, tantangannya adalah bagaimana Indonesia bisa menyeimbangkan pengaruh ini dengan pelestarian budaya lokal. Musik dangdut, pop lokal, dan seni tradisional perlu mendapat ruang yang sama besar.

Tantangan

K-Pop di Indonesia adalah fenomena sosial yang kompleks. Ia memberi hiburan, identitas, bahkan peluang ekonomi. Tetapi juga membawa tantangan bagi budaya lokal dan gaya hidup remaja.

Dengan jumlah penggemar yang besar, lebih dari 16 juta orang, Indonesia tidak bisa mengabaikan fenomena ini. K-Pop sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat.

Pertanyaannya bukan lagi apakah K-Pop berpengaruh, tetapi bagaimana kita mengelola pengaruh itu. Agar generasi muda tetap bangga dengan budaya sendiri, sekaligus terbuka pada budaya global.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here