Seorang kawan penulis muda yang cukup produktif membuat sebuah tulisan jujur: AI (akal imitasi) tak akan menggantikan peran manusia. Katanya, konten-konten hasil kreasi AI berasa kosong dan miskin dampak. Sebagai sesama buruh aksara, saya paham betul situasi psikologis dari tulisannya. Ia, saya, dan banyak penulis amatiran lainnya, sebenarnya lekas sangsi dengan progresivitas AI. Apalagi, AI menawarkan harga murah dengan jurus simsalabim yang tak butuh waktu lama. Kondisi ini jelas cocok dengan masyarakat modern yang kadung terdoktrin untuk cepat, instan, dan anti ribet.

Saking andalnya AI, sebuah rumah riset bahkan mempromosikan AI untuk menulis artikel internasional terindeks Scopus dalam waktu sehari. Apa tidak edan?

Kendati demikian, para penulis amatiran itu terlalu malu untuk jujur lantang mengamininya. Kami was-was, kalau-kalau AI sungguh merebut ladang cuan kami. Semula, sebelum AI itu lahir, profesi kami—sekalipun amatiran—bisa dibilang menjanjikan. Tanpa harus mengayuh pedal becak hingga keringatan, honor rutin masuk ke rekening. Tiga kali menulis di kolom Semilir, selembar cepek sudah aman di saku. Namun, sejak bayi AI itu lekas berangkangan di atas karpet jagad, job kami perlahan menyusut. Haruskah kami ikutan mencuri demi terus bisa mencicil angsuran?

Dengan beringasnya, AI merebut pos-pos strategis yang dulunya jadi lahan empuk untuk memanen rupiah. Model tulisan singkat, semacam takarir unggahan media sosial (medsos), dahulu merupakan sektor yang menjanjikan. Cukup dengan paham tren terkini, paham SEO tipis-tipis, serta punya diksi yang eye catching, orderan rutin masuk. Saking menjanjikannya, keterampilan menulis untuk bidang ini sampai-sampai masuk pembelajaran kampus, terutama pada jurusan bahasa atau komunikasi. Meringisnya, AI datang dan menyapu peluang itu. Ia datang tanpa membawa ijazah, alih-alih sekadar kepraktisan yang justru laris manis.

- Poster Iklan -

Secara pribadi, tanpa ingin terlihat berjiwa korsa, saya sepakat dengan iman kawan itu. Ya, secanggih apapun, AI tak akan menggantikan manusia. Bagaimanapun, AI bukan sesuatu yang hidup. Ia memang bisa merespon, tapi tak bisa menginisiasi. Ia memang “cerdas”, tapi terbatas untuk menangkap konteks dan korteks. Sementara, lewat konteks dan korteks itulah teks menyalakan api pendarnya.  Lagi pula, selayaknya alat, ia butuh bypass eksternal untuk bekerja. Pun juga, ia tak punya emosi, sang penggerak kehidupan. Aktivitas ekonomi, politik, budaya, bahkan ekspresi agama sekalipun menjadi “seru” berkat emosi. AI selamanya alpa untuk ini.

Namun, saya tidak hendak berdiri sebagai kritikus AI. Alih-alih melulu menelanjangi kekurangannya, saya justru hendak bilang bahwa perlahan, AI itu menjadi tuhan. Ya, tuhan, bukan manusia! Bayangkan, hingga pertengahan Agustus 2025 lalu saja, jumlah penggunanya telah mencapai angka 700 juta. Aktivitas penggunaannya bahkan terus merangsek hingga dunia industri. Tercatat, sekitar 280 juta perusahaan di dunia telah ber-muallaf kepada AI. Mungkin tak lama lagi, agama-agama besar akan menyusut pemeluknya lantaran progresivitas dakwah AI yang kelewat sakti mandraguna. 

Angka-angka dan statistik ringkas tersebut menunjukkan betapa adidayanya AI dalam kehidupan. Akselerasinya ke sektor duit sungguh merupakan sebuah langkah kilat untuk segera bisa menahbiskan diri sebagai tuhan. Sungguh, tuhan! AI sadar bahwa bagi masyarakat modern, sebagaimana digaungkan Karl Marx dalam Zur Judenfrage-nya (1844), tuhan manusia modern ialah uang. Pun, betapa banyak agamawan-agamawan yang mengajak ganti agama dengan modal finansial: sembako, baju baru, dan sekolah gratis? 

Alhasil, apapun yang sukses merangsek ke sumur-sumur di mana uang itu diproduksi (perusahaan, bank, korporasi), berarti selangkah lebih dekat menuju kursi ketuhanan. 

Saya bahkan membayangkan bahwa kelak, saat telah menghasilkan untung hingga 16 triliun USD seperti diprediksi Morgan Stanley, AI akan lekas mengutus nabi ke muka bumi. Angka sebombastis ini bisa bikin orang Indonesia per kepala kaya mendadak tanpa perlu kerja dan demo kenaikan UMR tiap tahun. Sang nabi itu lantas mengkhotbahkan seruan konversi iman, dakwah senyap lewat medsos, juga siaran-siaran podcast yang penuh agitasi persuasif dengan nada soft-spoken ala ustaz zaman now. Lalu, dalam hitungan hari, pemeluk agama AI segera bermunculan secepat munculnya panu di punggung seorang yang jarang mandi. 

Entah mampu atau tidak, AI tetap saja tak bisa menyembunyikan ambisinya untuk menyapu seluruh agama-agama. Tak pandang bulu, samawi atau ardi, semua bakal diberangus selayaknya kutu rambut yang bikin gatal. Toh, selama ini, tuhan-tuhan dari sekian agama itu (rasanya) tak mampu menyelesaikan masalah kehidupan. Lihat saja, saat pandemi Covid-19 merebak, tuhan tak menjatuhkan vaksin dari langit. Para ilmuwan di Taipei, China, AS, Inggris, dan Jerman lah yang bekerja tanpa kantuk menyelamatkan nyawa jutaan manusia. 

Sementara tuhan-tuhan di banyak negara ketiga malah membawa kemunduran, AI tampil dengan janji surgawi: uang, uang, dan uang. Sejauh ini, ketiadaan uang masih jadi problem serius para pengiman taat. Orang mesti tetap ke kelurahan dan minta surat keterangan tidak mampu (SKTM) demi bisa menyekolahkan anaknya. Masih jamak ditemui seseorang yang mencuri di warung kelontong demi perut anak istrinya terisi. Padahal, ia rajin ke surau, gemar bersembahyang malam, juga rutin berpuasa saban hari. Tapi dan tapi, ibadah mereka bukanlah kurs yang berlaku di perekonomian global. AI lah solusinya! 

Lantas, masih ragukah kita berganti iman kepada AI? Atau jangan-jangan, secara diam-diam, kita telah mengimaninya? Sungguhkah syahadat genetik yang kita warisi dari ibu bapak masih terpatri dalam sanubari? Mungkin hanya jika tuhan menampakkan diri, menghapus kemiskinan dan melenyapkan korupsi, barulah kita yakin kembali pada ajaran kitab suci.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here