Dakon adalah sejenis dolanan atau permainan tradisional yang biasa disebut congklak. Permainan ini dulunya cukup populer di daerah Jawa, dan dapat dimainkan segala umur, lelaki maupun perempuan. 

Saking hits-nya permainan dakon, seniman Didi Kempot sampai terinsipirasi untuk menciptakan lagu berjudul Dolanan Dhakon, yang liriknya sebagai berikut, “yo prokonco dolanan dakon, watu item cacahe (artinya, ayo teman-teman bermain dakon, batu hitam jumlahnya)”.

Dakon dalam bahasa Jawa sendiri berasal dari kata daku atau “saya”, yang tampaknya mengesankan penonjolan ego (Denys Lombard, 1996:483). Meskipun mengesankan penonjolan ego dari kata daku atau saya, namun dakon justru menjadi contoh terbaik dari permainan tradisional non-kompetitif. Sebab, masih menurut Lombard (1996:483), “Ketika orang Eropa melakukan permainan ini untuk pertama kalinya, dengan terkejut mereka segera menyadari bahwa, berbeda dengan permainan dam-daman, tujuan permainan tersebut bukanlah untuk menang”.

Permainan tradisional dakon ini tak hanya bertujuan untuk hiburan semata, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan berhitung dan motorik pada anak. Dakon juga mengajarkan bagaimana anak bermain bersama teman, karena nilai interaksi ini yang tak bisa didapat penuh dari gadget. Jadi tak salah jika saat ini, di tengah menjamurnya permainan modern yang mengandalkan gadget atau gawai, dakon dapat diandalkan sebagai dolanan anak yang sarat nilai, termasuk nilai kejujuran.

- Poster Iklan -

Cara bermainnya juga sangat gampang dan hanya memerlukan peralatan sederhana. Papan dakon yang berbahan kayu atau plastik memiliki dua barisan berisi lima, enam, tujuh, atau sembilan lubang kecil dan satu lubang besar di akhir masing-masing barisan (lumbung). Untuk biji dakon dipakailah batu-batuan, biji sawo, kulit kerang kecil (kuwuk), atau kelereng. 

Di awal permainan, setiap lubang kecil diisi tujuh biji. Secara bergiliran, kedua pemain mengambil semua biji dari satu lubang kecil di ujung paling kanan lalu meletakkannya di setiap lubang berikutnya (searah jarum jam), dan seterusnya. Terkadang lubang terakhir masih penuh biji, terkadang kosong. Biji-biji di lubang terakhir lalu diambil untuk diletakkan di lubang lain, namun jika kosong, biji-biji di lubang di hadapannya akan dimasukkan ke lumbung miliknya. Pemenangnya adalah yang mengumpulkan biji paling banyak. 

Masuknya Dakon ke Nusantara

Dolanan dakon dikenal luas dan telah dimainkan selama berabad-abad di dunia, dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Beberapa teori menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Timur Tengah lalu menyebar ke Benua Afrika setelah itu penyebaran memasuki kawasan Asia. 

Di daerah Timur Tengah sendiri, permainan tradisional ini telah lama dikenal dengan nama “Mancala”. Nama “Mancala” sendiri berasal dari bahasa Arab “Naqala” yang berarti bergerak.

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa permainan “Mancala” telah ada di Mesir Kuno sekitar 1400 SM (rri.co.id., 10/6/2024). Jadi tidak salah jika para ahli juga mempercayai bahwa dakon atau congklak merupakan permainan tertua di dunia. 

Di Indonesia, dakon atau congklak pertama kali dibawa oleh bangsa Arab yang datang untuk berdagang dan berdakwah (kompas.com, 19/2/2022). Oleh karena itu permainan tradisional dakon ini sejatinya bukan asli berasal dari Indonesia. Dengan masuknya para pedagang dari negara lain ke Indonesia, maka tidak bisa dipungkiri pertukaran budaya antara para pedagang asing dengan penduduk pribumi Indonesia terjadi dan dari sinilah permainan tradisional dakon mulai masuk ke Indonesia dan tersebar di seluruh wilayah nusantara.

Namun keberagaman bahasa yang dimiliki setiap daerah di Indonesia membuat dolanan tradisional tersebut dikenal dengan beberapa istilah berbeda. Seperti halnya di beberapa daerah Sumatera dengan kebudayaan Melayu permainan ini lebih dikenal dengan nama “congklak”. Di Aceh, dakon dikenal dengan istilah “meuseb” atau “meulieh”. Di daerah Bengkulu disebut “congkak”. Di Lampung permainan ini lebih dikenal dengan nama “dentuman lamban”. Di Bali, dakon disebut sebagai “mechiwa” atau “soduku”. Di Sumbawa disebut sebagai “matoe”, dan di Flores disebut dengan istilah “sai”. Di Kalimantan Selatan dan Tengah, dakon dikenal sebagai “badaku”, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan nama “makaotan”, “maggaleceng”, “aggalacang” dan “nogarata”. 

Dengan kepopuleran dakon di Indonesia dan telah menjadi tradisi masyarakat nusantara, tak ayal jika dakon atau congklak pada tahun 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, disahkan sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki Indonesia.

Dakon di Masa Majapahit

Jika dilihat dari sejarahnya, jejak tertua dolanan dakon di nusantara merujuk pada zaman Majapahit. Konon menurut cerita, dakon masuk Kraton sejak kejayaan Majapahit tepatnya masa pemerintahan Ratu Kencana Wungu (Hisna, dkk., 2024:2). Ratu Kencana Wungu saat itu sangat suka bermain dakon. 

Bukti keberadaan dakon di zaman Majapahit ini bahkan masih bisa dilihat hingga kini. Tepatnya melalui keberadaan Watu Dakon. Watu Dakon adalah sebuah situs peninggalan Majapahit yang terletak di Dusun Patung, Desa Pungging, Kecamatan Pungging, Mojokerto (mojokerto.inews.id., 28/8/2022). Situs ini merupakan batu tunggal yang bentuk fisiknya berupa batu besar. Pada permukaan batu tersebut terdapat ceruk yang menyerupai bentuk permainan dakon (congklak). Batu ini diletakkan di tanah sehingga mereka memainkannya bisa duduk bersila dan leluasa.

Situs cagar budaya Watu Dakon juga terdapat di Desa Onje, Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Menurut sejarawan Purbalingga, Gunanto Eko Saputra (dikutip dari detikcom., 14/3/2021) lubang-lubang pada Watu Dakon berfungsi untuk tempat sesaji ritual. Setiap lubangnya, berfungsi untuk barang sesaji yang berbeda-beda. Dimungkinkan area batu dakon adalah area tempat pemujaan arwah leluhur. 

Selain itu, bukti arkeologis dakon juga terdapat di Candi Sukuh yang berlokasi di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Candi Sukuh merupakan salah satu peninggalan terakhir Majapahit sebelum runtuh pada tahun 1478. Pada bangunan Candi Sukuh, terutama di bagian anak tangga terdapat papan-papan batu berlubang dengan garis tengah 3 cm, menyerupai apa yang disebut “batu dakon”. Fungsinya saat itu untuk menempatkan sajian pada upacara pemujaan arwah leluhur (Poesponegoro & Notosusanto, 2008: 253).

Oleh karena itu, pada zaman Majapahit permainan dakon bukan hanya sekadar permainan belaka, namun juga memiliki nilai mistis. Dakon saat itu sering digunakan dalam upacara adat atau ritual tertentu. Keyakinan itu diperkuat dengan adanya lokasi Watu Dakon yang ada di tempat seperti punden berundak. Bekas pembakaran kemenyan dan taburan bunga yang sampai saat ini sering dijumpai, menjadi bukti sampai saat ini Watu Dakon masih digunakan sejumlah masyarakat untuk ritual tertentu. 

Selain itu, pada masa Majapahit, dakon merupakan simbolisasi siklus kehidupan dan konsep kemakmuran. Pemindahan biji-bijian melambangkan perjalanan hidup. Sementara lubang-lubang pada papan dakon melambangkan penyimpanan kekayaan dan sumber daya (Kho, Gers Ralph Manuel, 2023:296).

Dakon di Masa Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda, dakon adalah salah satu mainan yang digemari kalangan priayi dan kerabat raja. Hampir setiap keluarga memiliki alat permainan ini. 

Sebelum sampai ke kerajaan, dakon awalnya dikenal dari masyarakat petani desa. Dolanan ini juga menggunakan istilah keseharian penggarap sawah seperti; bera (sawah yang tidak ditanami), ngacang atau nandur kacang (sawah yang hasilnya sedikit), dan lumbung (tempat menyimpan padi). 

Permainan ini mengajarkan anak untuk menjadi ulet, hemat, dan teliti. Anak dalam hal ini dilatih menabung di lumbung, mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tidak boleh ngacang apalagi bera.

Pangeran Diponegoro, yang merupakan seorang tokoh pejuang nasional Indonesia yang memimpin perlawanan melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19 juga tak luput dari permainan dakon. Sebagai putra kerajaan dari keturunan Sultan Hamengkubuwono III, Pangeran Diponegoro kerap memainkan dakon sebagai pengusir sepi. 

Kini, bukti permainan dakon Pangeran Diponegoro masih tersimpan di Museum Sasana Wiratama Tegalrejo, Yogyakarta, tempat menyimpan segala kenangan masa perang 182 tahun silam itu.

Ulasan tentang jejak permainan dakon di nusantara di atas tentunya dapat menjadi pengingat akan warisan budaya dan tradisi orang Jawa yang kaya. Dakon secara keseluruhan memiliki nilai budaya dan sosial masyarakat Jawa, dan seharusnya memang harus terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi lainnya agar tidak punah di tengah gempuran game online.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here