Aku selalu merenung setiap kali membaca karya-karya Ahmad Tohari, lalu sehabis merenung itu, aku menaruh curiga padanya, “Beliau ini jangan-jangan seorang seniman yang merangkap jadi penulis?” Tentu, itu terjadi berulang kali. Dan, kecurigaanku itu tentu tak sembarang aku tebar, karena ia punya dasar yang jelas dan subur buat tumbuh. 

Adalah gaya tulisannya yang tak pernah gagal mendorong imajinasi pembacanya untuk melukiskan lanskap pedesaan—dengan sorot mata sebagai kuasnya, dan imajinasi sebagai kanvasnya. Rindangnya pepohonan, suara-suara hewan di sawah, gemercik air, desir angin, bunyi yang dihasilkan oleh benda-benda sekitar ketika saling bersentuhan, sampai dengan bagaimana kompleksnya kehidupan hewan-hewan kecil. Nyaris tanpa cela, semua bisa ditangkapnya.

Bagi yang tak suka bertele-tele, tulisan semacam itu terkesan membosankan. Dan pasti disebut boros kata, kalimat, dan lain sebagainya. Namun, ketika dicermati lebih dalam, gaya tulisan semacam itu justru amat menarik. Selain menjadi ciri khas gaya penulisan sang penulis, atau entah sekadar penggambaran latar tempat belaka, gaya tulisan semacam itu justru seperti ingin menyampaikan sesuatu; sebutir pesan sederhana, bahwa selalu ada keindahan yang bakal terlewatkan karena ketergesa-gesaan.

Oleh karenanya, setiap aku sedang membaca novel atau cerpen-cerpennya, setiap itu pula aku tak berani melewatkan waktu sedetik pun untuk tidak menaruh rasa curiga padanya. Dan satu hal yang pasti. Dari kelihaiannya dalam mengelola kata sampai pandai membentuk semacam gambaran indah akan pedesaan, membuat sosok Ahmad Tohari bisa dibilang seorang yang cermat dan amat mencintai detail.

- Poster Iklan -

Menaruh curiga terhadap sang penulis, sama sekali bukan hal yang sia-sia. Ialah bentuk interaksi antara si pembaca dengan penulis. Ketika interaksi itu terbentuk—jembatan yang menghubungkan antara si penulis dengan pembaca—pesan-pesan sekecil, seremeh, dan sesederhana apa pun bisa dengan mudah ditangkap oleh si pembaca tanpa harus repot bermain tafsir.

Mengangkat Suara Wong Cilik

Bagi siapa pun yang pernah membaca karya-karya Ahmad Tohari, gambaran kehidupan sosial yang dijalankan oleh wong cilik yang ditumpahkan pada setiap kalimat demi kalimat oleh Ahmad Tohari memang sudah menjadi ciri khas yang melekat erat. Dalam novel sampai cerpennya, wong cilik tak dipandang sebagai objek sebagaimana pandangan pejabat korup, tetapi sebagai subjek yang hidup. Mereka bersuara, berwarna, beragam, tak cuma hitam dan putih, mereka melantunkan kejujuran.

Jika seorang guru bahasa Indonesia di sekolah bertanya adakah karya sastra yang terampil dalam menyelipkan nilai-nilai moral di dalamnya, barangkali karya-karya Ahmad Tohari bisa muncul dan memenuhi papan tulis. Mulai dari Ronggeng Dukuh Paruk, Orang-orang Proyek, sampai cerpen Mata yang Enak Dipandang dan lain sebagainya. Semuanya gempita akan nilai-nilai moral dan melukiskan kehidupan masyarakat kalangan bawah. 

Dalam Orang-orang Proyek, misalnya, Ahmad Tohari mengangkat ketimpangan sosial yang hadir di tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah dengan kehidupan kalangan atas (petinggi-petinggi proyek) pada saat pembangunan jembatan. Dalam Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari menggambarkan bagaimana kalangan bawah berjuang dalam hidup menghadapi kemiskinan dan rentetan peminggiran oleh kalangan atas.

Kalau dalam sastra kesejarahan ada Pram yang terampil mengudarakan kejujuran lewat karyanya, Ahmad Tohari juga tak mungkin ketinggalan untuk mengisi ruang-ruang kesusastraan dengan sesak nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, tak bisa kita tampik bahwa karya-karya sastra  Ahmad Tohari amat dipenuhi dengan kritik sosial dan keberpihakannya pada wong cilik (Marwantina, 2022).

Karya Sastra sebagai Cerminan Sosial?

Ahmad Tohari tidak hanya melukiskan lanskap pedesaan yang asri, jujur, dan realistis. Karya sastranya juga bisa kita sepakati sebagai cerminan realitas sosial. Cara ia mengangkat masyarakat termarginalkan dalam sastra tak bisa menampik kenyataan bahwa setiap karyanya lahir untuk suatu nilai moral. Hal itu selaras dengan Ayn Rand dalam Romantic Manifesto yang mengatakan bahwa sastra harus bisa mengajarkan a moral sense of life. 

Menurut Asmalasari (2022), hubungan karya sastra dengan kehidupan masyarakat yang menjadi titik keberangkatan pendekatan karya sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan kerap disebut sebagai sosiologi sastra.  Maka, jika dikuliti lewat pendekatan sosiologi sastra, karya-karya Ahmad Tohari tak bisa lepas dari pengaruh konteks sosial kehidupan pengarangnya sendiri yang erat dengan napas pedesaan. 

Menurut Ian Watt dalam Sangidu (1994), kajian sosiologi sastra memiliki tiga paradigma. Pertama, konteks sosial si pengarang, di mana karya sastra si pengarang amat dipengaruhi oleh kehidupan sosial si pengarangnya. Kedua, cerminan sosial, ialah sastra sebagai cermin sosial. Ketiga, fungsi sosial sastra, sampai sejauh mana nilai sosial dalam kehidupan sosial suatu masyarakat dapat memengaruhi nilai dalam karya sastra. 

Misalnya dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang, kenyataan sosial yang disuguhkan adalah isu kemiskinan yang terpotret jelas dalam alur, setting, waktu dan dialog dalam cerita. Konteks kehidupan sosial si pengarang yang amat lekat dengan subjek yang hidup sebagai kelas sosial bawah memungkinkannya untuk mengangkat masyarakat yang termarginalkan dengan segala bentuk dinamikanya. 

Masuk ke dalam ceritanya, yakni hubungan getir antara si Mirta pengemis buta dan Tarsa si bocah penuntun yang mengais sisa-sisa kehidupan di sebuah stasiun kereta, Ahmad Tohari seolah menuntun pembaca untuk mengikuti lika-liku alur dan dialog sehari-hari kelas sosial  bawah yang acap disepelekan kalangan sosial atas. 

Potret kehidupan sosial yang saling bertalian erat satu sama lain itu kemudian membentuk nilai sosial tertentu, yang pada akhirnya memengaruhi suatu nilai dalam karya sastra. Dengan demikian benar kata Wellek & Warren dalam Budianta (2016) yang menyatakan bahwa sastra ‘menyuguhkan kehidupan’ dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Di mana artinya, sastra merupakan cerminan sosial, meskipun realitas sosialnya dibentuk dalam dunia subjektif manusia.

Harapan: Sastra sebagai Arena Perjuangan Kelas?

Sebagaimana diketahui ada hubungan yang erat antara sastra dengan realitas sosial, di mana terdapat pergulatan antarstruktur sosial; kelas sosial bawah dan kelas sosial atas. Maka dapatkah kita katakan (atau harapkan?) sastra bisa menjadi arena perjuangan kelas? Arena yang (mungkin) bisa membawa angin perubahan sosial di tengah kehidupan masyarakat yang termarginalkan.

Jika kita telisik lebih lanjut soal adanya kemungkinan sastra bisa menjadi arena perubahan sosial, maka tak ada salahnya untuk kita menilik pandangan kaum Marxis dalam melihat sastra. Di mana sastra dipandang sebagai suatu fenomena sosial (Sangidu, 1994).

Menurut Sangidu dalam Beberapa Rumusan Masalah Sosiologi Sastra (1994), sastra yang ditulis dalam kurun waktu tertentu langsung bertalian erat dengan norma-norma dan adat istiadat pada waktu itu. Kalau kita melihat sastra sebagai fenomena sosial, maka dengan demikian sastra juga bisa dilihat juga sebagai cerminan sosial. Karena ia bisa memotret bagaimana perjuangan kelas sosial bawah ketika menghadapi kelas sosial atas. 

Dalam hal ini, pertentangan kelas menjadi nyata adanya. Sebagaimana suatu karya sastra dapat dilihat melalui konteks kehidupan sosial si pengarang, maka si pengarang yang dalam konteks itu, dapat dimaknai sedang memperjuangkan kelas sosialnya lewat penggambaran tokoh di dalam karya sastranya. 

Pertentangan itu bisa dilihat dalam novel Ahmad Tohari berjudul Orang-orang Proyek. Di mana si Kabul sebagai tokoh utama bersinggungan dengan kenyataan sosial yang timbul akibat pertentangan struktur sosial bawah dan atas yang digambarkan melalui dunia perproyekan. 

Dalam perjuangan si Kabul mempertahankan nilai-nilai sosialnya yang sudah mengakar kuat sedari kecil (meski orang proyek, Kabul terbiasa hidup dengan nilai-nilai yang amat berlawanan) di tengah keadaan sosial (tuntutan untuk hidup dalam kebiasaan pemilik modal) yang terbentuk oleh struktur sosial atas, barangkali adalah sebuah potret perjuangan kelas yang amat kentara.

Dengan demikian maka tak salah kalau Lenin—seorang Marxis yang kerap dianggap sebagai peletak dasar kritik sastra Marxis—mengatakan bahwa sastra merupakan sarana perjuangan kaum proletar dalam melawan kapitalisme. Dalam kritik sastra Marxis Lenin, sastra terikat dengan kelas-kelas yang ada di dalam suatu masyarakat tertentu, dan sastra mencerminkan kenyataan sosial sebagai suatu ungkapan akan pertentangan kelas sosial (Luxemburg et al, 1992).

Dalam setiap karya sastra Ahmad Tohari, pertentangan kelas itu tercermin jelas dalam setiap alur cerita yang memotret interaksi antartokoh, antarstruktur sosial, dan juga pada konflik sosial. Dengan demikian artinya, karya sastra Ahmad Tohari lebih dari sekadar potret suatu fenomena sosial, ia adalah gambaran bagaimana realitas sosial selalu berkelindan dalam bentuk karya sastra. Bahwa di balik setiap realitas sosial yang ditumpahkan ke dalam karya sastra, akan selalu ada arena perjuangan kelas; selalu ada lentera harapan yang lahir untuk menyingkap kabut tebal dari muka kemanusiaan.

Daftar Pustaka 

Asmalasari, D. (2023). Analisis Sosiologi Sastra Cerpen “Yang Enak Dipandang” Karya Ahmad Tohari. Semantik: Jurnal Riset Ilmu Pendidikan, Bahasa dan Budaya Vol. 1, No.4 November 2023.

Budianta, M. (2016). Teori Kesusastraan Rene Wellek & Austin Warren. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marwantina, D. J. (2022). Refleksi Permasalahan Sosial dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi Sastra. Nuansa Indonesia Volume 24(2), November 2022.

Rand, Ayn. (1969). Romantic Manifesto: A Philosopy of Literature. New York: New American Library.

Sangidu. (1994). Beberapa Rumusan Masalah Sosiologi Sastra. Humaniora 1/1994.

Luxemburg, Jan van dkk. (1992). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here