Mobil pertama Saya, beli dari seorang kawan yang sekaligus guru Saya. Suzuki Swift tahun 2008 yang menjadi kawan jalan kerja keliling Jawa, bahkan sampai nyebrang ke Bali. BPKB dan STNK nya masih atas nama pemilik awal, tidak di balik nama. Makanya setiap ngurus pajak satu tahunan dan lima tahunan, masih agak repot karena perlu prosedur tambahan.
Apa hubungannya dengan urusan digital marketing? Tenang aja, ntar juga ada hubungannya, karena sering Kita temui dalam praktek digital marketing di usaha, perkara kepemilikan dalam hal aset digital dan akses ini, penuh liku dan drama. Saya termasuk yang sering terlibat dalam carut marut kejadian lapangan.
Bayangkan saja sebuah situasi, ada owner yang usahanya mulai bertumbuh. Di zaman media sosial saat ini, tentu tidak terhindarkan, kudu mulai punya aset digital. Mulai dari :
Email ✅
Nomer WA ✅
Google Maps ✅
Instagram ✅
TikTok ✅
YouTube ✅
Yang perlu proses registrasi agar dapat menggunakan fitur dan layanan yang disediakan.
Karena ownernya awam dan setengah tidak paham, akhirnya yang mendapat tanggung jawab adalah tim dari petugas yang lebih muda, karena dianggap lebih ngerti dan cekatan.
Tanpa briefing yang jelas, tentu yang ditangkap cuma instruksi : pokoknya bikin dan jadi. Segera ada username dan link nya, sehingga bisa langsung dipakai, jalan dan ngegas pol. Waktu berjalan, dan dan akun akun jadi diwujudkan.
Sekilas nampak aman dan terkendali, namun semua akan mulai jadi perkara, ketika ternyata akses akses terhadap aset digital ini, tidak pernah dituangkan menjadi sebuah : berita acara.
Cek saja, para owner, kalau ditanya, ada nggak akses dari aset digital dari brand yang dimiliki, kemungkinan besar, dia akan menyebut “nama” dari salah satu crew nya. Kurang lebih akan dijawab : “Ada semua kok aksesnya, yang tahu si X”.
Dan coba tebak, apakah si X ini benar benar pegang akses yang dimaksud? Seperti username, password, email tertaut, nomer HP tertaut, verifikasi KTP, verifikasi rekening, ternyata si X tidak benar benar pegang aksesnya.
Yang sering Saya temui, akses akses ini lebih terasa seperti kepingan puzzle yang berserakan, berhambur ka berbagai arah, dan perlu disusun dengan tekun. Kondisi yang sering terjadi, bahwa ternyata akun yang ini, dulu dibikin sama si Y, yang sudah resign dan sudah kerja di tempat lain. Atau akun yang ini, dulu yang pegang si Z, anak magang yang saat ini sudah kembali ke sekolah atau kampusnya.
Jadi, akses aset digital yang tadi katanya ada, nyatanya ya memang bener-bener ada, tapi entah dimana, dengan siapa, semalam berbuat apa. Simpang siur.
Makanya, ini juga bisa jadi petunjuk praktis dalam pengelolaan aset digital di brand masing-masing. Berita acaranya perlu ada. Kalau sekarang belum ada, ya dibikin. Akun yang dipunya apa saja? Pakai email apa? Pakai no HP yang mana? Dan yang paling penting, dicek langsung saat berita acara diserahkan. Ibarat serah terima kunci, maka kunci dites langsung dipakai untuk membuka, apakah “beneran-bisa”, atau justru cuma “katanya-bisa”.
Kapan saja berita acara diperlukan? Banyak kondisi. Saat tim baru mulai dibentuk, dibikin jelas saja, ada aset digital apa saja, dan aksesnya masing-masing. Yang aksesnya ada, ya diserahkan. Yang tidak ada dan tidak jelas, segera dipastikan saja, kalau memang fix raib, ya sekalian diputuskan, membuat akun baru, yang dimasukkan dan ditambahkan dalam berita acara.
Berita acara juga diperlukan, perlu dibuat dan diupdate, saat crew yang mengelola aset digital Kita, pindah divisi karena kena mutasi, atau saat mengundurkan diri dan pindah kerja. Jadi tidak ada lagi cerita, orang sudah pindah kerja kemana, tapi masih dicari-cari, ditelepon-telepon, dan ditanya-tanya sesuatu yang sangat mungkin dia juga sudah lupa dan sudah gak berkepentingan.
Percayalah, rapikan asset digital health, karena kalau aksesnya hilang atau nggak jelas, bisa berdampak serius pada mental health owner. Gejalanya : tantrum. Dan tau kan dampaknya kalau ada owner tantrum? Yang repot satu kantor.
Ditulis dari Pekanbaru