Bayangkan Anda punya pabrik roti. Setiap hari Anda bikin roti yang wangi, kenyal dan lembut, siap dijual. Tapi pertanyaannya, roti itu mau Anda setor ke mana? Tentu ke toko roti, kan? Tidak mungkin Anda kirim ke toko bangunan. Pemilik toko pasti bingung, “Ini roti buat apa di sini?”
Nah, dunia media itu sama saja. Media massa (cetak, elektronik, online) bisa diibaratkan seperti toko roti. Tulisan kita adalah rotinya. Setiap media punya “rasa” dan “selera” yang berbeda. Ada yang suka roti manis, ada yang suka roti tawar, ada juga yang hanya mau roti premium dengan topping mahal. Artinya, tidak semua tulisan bisa cocok dimuat di semua media.
Koran, majalah, atau portal berita punya karakter dan gaya masing-masing. Misalnya, dua media bisa saja membahas topik yang sama, tapi cara mereka mengolahnya berbeda. Ada media yang suka tulisan ringan dan menghibur, ada juga yang lebih suka tulisan analitis dan serius. Jadi, sebelum mengirim tulisan, penting banget buat tahu “toko” mana yang cocok dengan “roti” kita.
Banyak penulis pemula kecewa karena tulisannya ditolak redaksi. Padahal, bukan karena tulisannya jelek. Bisa jadi, tulisannya tidak cocok dengan arah kebijakan media itu. Setiap media punya visi, misi, kecenderungan, kepentingan, tujuan dan nilai yang mereka jaga. Sama seperti toko roti yang cuma mau jual produk sesuai standar mereka, redaksi juga akan memilih tulisan yang sesuai “selera dapur” mereka.
Kenapa bisa beda-beda? Karena di balik setiap media ada kebijakan redaksional yang ditentukan oleh siapa pemiliknya, siapa investornya, bahkan nilai-nilai apa yang mereka pegang. Kalau koran A dimiliki yayasan pendidikan, bisa jadi fokusnya pada isu-isu pendidikan. Kalau portal B dimiliki grup bisnis besar, mungkin mereka lebih suka tulisan ekonomi atau gaya hidup perkotaan.
Contohnya, Jawa Pos, Kompas, dan Media Indonesia. Semuanya koran nasional, tapi punya “rasa” yang berbeda. Jawa Pos berbasis di Jawa Timur, jadi wajar kalau berita dan artikelnya lebih banyak menyorot hal-hal yang dekat dengan wilayah itu. Di dunia jurnalistik, hal ini disebut proximity atau kedekatan.
Artinya, kalau Anda menulis artikel tentang kegiatan sosial di Surabaya, peluang tulisanmu dimuat di Jawa Pos jauh lebih besar dibanding misalnya Pikiran Rakyat di Bandung atau Waspada di Medan. Karena bagi Jawa Pos, cerita dari wilayahnya terasa lebih relevan untuk pembaca mereka.
Setiap media punya sejarah, latar belakang, dan audiensnya masing-masing. Ada media yang condong ke kelompok tertentu, dan itu bukan rahasia. Misalnya, dulu Suara Karya dikenal dekat dengan Partai Golkar. Jadi, jangan harap tulisan yang menjelek-jelekkan partai itu bisa dimuat di sana. Bukan karena redaksinya jahat, tapi karena memang tidak sesuai arah kebijakan medianya.
Lalu, bagaimana caranya tahu kebijakan redaksional sebuah media?
Ada beberapa cara sederhana yang bisa Anda coba. Pertama, lihat siapa yang duduk di posisi redaksi atas (pemimpin umum, CEO, atau pemilik saham terbesar). Biasanya, mereka punya pengaruh besar terhadap arah isi media. Kedua, tanya ke orang yang sudah sering menulis di media itu. Mereka biasanya tahu selera redaksi dan gaya tulisan yang disukai. Ketiga, cara paling mudah amati langsung. Baca artikel-artikel di media tersebut. Perhatikan gaya bahasanya, topik yang sering diangkat, dan tajuk rencananya (editorial). Tajuk rencana ini adalah “suara resmi” redaksi yang bisa menggambarkan sikap dan nilai-nilai yang dipegang media itu. Kalau Anda membandingkan tajuk rencana dari dua media berbeda, Anda akan langsung tahu bedanya — baik dari gaya bahasa, sudut pandang, maupun cara memilih kata.
Dengan begitu, Anda bisa tahu apakah tulisanmu cocok dikirim ke sana atau tidak. Kadang tulisan yang menurut seseorang sudah keren tetap ditolak, bukan karena salah, tapi karena tidak pas dengan karakter medianya. Jadi, kalau sebuah tulisan ditolak, jangan langsung “down”. Bisa jadi Anda cuma salah “toko”.
Menulis untuk media itu bukan sekadar soal isi tulisan, tapi juga soal kecocokan. Sama seperti Anda tidak bisa menjual roti buatan rumah ke toko yang hanya menjual kue premium impor. Sekalipun rotimu enak, kalau tidak sesuai standar toko, ya akan ditolak.
Jadi, sebelum mengirim artikel, kenali dulu karakter medianya. Cocokkan “rasa tulisan Anda dengan “selera redaksi” mereka. Jangan asal setor tulisan ke semua tempat dengan harapan satu pasti diterima. Itu seperti nyetor roti ke toko bangunan. Ujungnya tidak akan laku juga.
Tulisan yang bagus belum tentu bisa dimuat di semua media. Sama seperti roti enak yang belum tentu cocok dijual di semua toko. Kuncinya adalah memahami karakter dan kebijakan redaksional setiap media. Dengan begitu, Anda tahu di mana tulisan itu punya peluang terbesar untuk diterima. Jadi, sebelum kirim artikel, pastikan dulu tidak salah alamat. Mengapa? Karena media memang seperti toko roti. Punya selera, punya standar, dan hanya menerima “roti” yang sesuai raknya.